DALAM kehidupan, setiap manusia membawa dua wajah dalam dirinya: wajah kebaikan yang Allah karuniakan, dan wajah kelemahan yang menjadi bagian dari sifat kemanusiaannya. Tidak ada manusia yang sempurna tanpa aib. Namun, sebagian orang memilih untuk menutup mata dari kekurangannya sendiri. Mereka hidup seakan-akan tidak pernah salah, tidak pernah keliru, dan tidak pernah memiliki kelemahan. Inilah yang disebut oleh para ulama sebagai awal kebinasaan.
Al-Basyir al-Ibrahimi rahimahullah mengingatkan kita dengan kata-kata yang begitu dalam: “Berpura-pura tidak tahu terhadap aib diri sendiri adalah salah satu bentuk tertipu oleh diri sendiri.” Betapa banyak manusia yang terlihat gagah di hadapan orang lain, namun rapuh di hadapan dirinya sendiri karena enggan mengakui kelemahannya.
Sikap merasa tanpa cacat membuat seseorang terjebak dalam jebakan paling berbahaya: ghurur (tertipu oleh diri sendiri). Ketika seseorang merasa dirinya sudah sempurna, maka ia berhenti memperbaiki diri. Ia tidak lagi bercermin pada kekurangannya, tidak lagi mau mendengar nasihat, bahkan menutup diri dari kebenaran yang datang kepadanya.
Padahal, Islam mengajarkan setiap hamba untuk selalu muhasabah—mengoreksi diri setiap hari. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang cerdas adalah yang menundukkan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang yang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya lalu berangan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Baca Juga: Pascaserangan Israel ke Qatar, Akankah Kantor Hamas Ditutup?
Ketika seseorang abai terhadap aibnya, ia bukan hanya berhenti memperbaiki diri, tapi juga terus-menerus berjalan dalam kesalahan yang sama. Ia akan merasa setiap langkahnya benar, padahal sesungguhnya ia semakin jauh dari cahaya hidayah. Inilah yang dimaksud: “Tertipu oleh diri sendiri merupakan penyebab seseorang terus-menerus tenggelam dalam kesesatan.”
Kesalahan yang tidak disadari akan menumpuk, dan dosa yang dianggap sepele akan membesar. Hingga akhirnya hati menjadi keras, tidak lagi peka terhadap peringatan. Inilah yang dimaksud Al-Ibrahimi: “Dan terus-menerus dalam kesesatan adalah salah satu jalan menuju kebinasaan.”
Kebinasaan hati bukanlah perkara kecil. Ia lebih dahsyat daripada sakit jasmani. Sebab, jika tubuh sakit, masih ada harapan sembuh dengan obat. Namun jika hati telah mati, hilanglah rasa takut kepada Allah, hilanglah kepekaan terhadap dosa, dan hilanglah cahaya iman. Inilah musibah terbesar yang menimpa seorang hamba.
Karena itu, ulama salaf sering menangis bukan karena dosa yang besar saja, tetapi karena takut dosanya tidak terasa lagi sebagai dosa. Rasa peka terhadap aib diri adalah tanda hati yang hidup. Sebaliknya, merasa diri bersih adalah tanda hati yang tertutup.
Baca Juga: Dari Gaza ke Qatar, Watak Asli Penjajah Zionis Terbongkar
Di zaman modern, penyakit ini semakin berbahaya. Media sosial membuat banyak orang berlomba menampilkan kesempurnaan palsu. Mereka ingin terlihat suci, tanpa cela, tanpa kekurangan. Padahal di balik layar, penuh aib yang enggan diakui. Inilah wajah ghurur dalam versi zaman ini.
Kita harus menyadari bahwa setiap manusia pasti punya kekurangan. Yang membedakan hanyalah sikapnya: apakah ia mengakui lalu memperbaiki, ataukah menutup mata lalu berpura-pura sempurna? Orang yang mengakui aib dirinya akan ditinggikan Allah, karena kerendahan hati adalah pintu kebaikan.
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Seorang mukmin selalu sibuk mengoreksi dirinya. Ia bertanya: ‘Apa yang aku maksud dengan perkataan ini? Apa yang aku inginkan dengan makanan ini? Apa yang aku harapkan dengan langkah ini?’ Adapun orang munafik, ia terus maju tanpa pernah muhasabah.”
Maka, jalan keselamatan adalah dengan selalu memeriksa hati, mencari kelemahan diri, lalu berusaha memperbaikinya dengan taubat dan amal saleh. Kesadaran terhadap aib diri adalah nikmat yang besar, karena itu berarti Allah masih menjaga hati kita tetap hidup.
Baca Juga: Akankah Qatar Lakukan Serangan Balik ke Israel?
Sementara kebinasaan dimulai dari satu hal sederhana: hilangnya rasa peka terhadap kekurangan. Jika hati sudah mati rasa, maka dosa yang besar pun dianggap remeh, dan kesalahan yang nyata dianggap benar. Inilah musibah yang paling besar, sebagaimana diingatkan: “Adakah musibah yang lebih besar daripada hilangnya rasa kepekaan hati?”
Mari kita jadikan peringatan Al-Ibrahimi ini sebagai cambuk. Jangan biarkan diri tertipu dengan perasaan “aku baik-baik saja.” Sebab, merasa tanpa cacat bukan tanda kesucian, melainkan awal kehancuran. Justru dengan mengakui kelemahan, kita bisa memperbaiki diri, mendekat kepada Allah, dan selamat dari kebinasaan.
Keselamatan ada pada hati yang jujur melihat aib diri, bukan pada hati yang buta menolak kelemahan. Maka, jangan takut mengakui kekurangan. Takutlah jika suatu hari kita tidak lagi mampu melihatnya. Karena pada saat itulah, kebinasaan telah dimulai.[]
Mi’raj News Agency (MINA)