DALAMsetiap rumah, selalu ada sosok yang jarang mengeluh, meski beban hidup bertumpuk di pundaknya. Sosok itu bukan malaikat, bukan pula pahlawan super. Ia hanya manusia biasa yang belajar menjadi luar biasa demi orang-orang yang dicintainya. Ia adalah ayah—seseorang yang mungkin tidak sempurna dalam banyak hal, tetapi selalu berusaha memberi yang terbaik dengan caranya sendiri.
Seorang ayah tidak selalu pandai mengungkapkan kasih sayang dengan kata-kata lembut. Ia mungkin canggung memeluk, jarang berkata sayang, atau tidak pernah menunjukkan kelemahannya. Namun di balik diamnya, ada doa yang ia panjatkan setiap malam tanpa diketahui anak-anaknya. Ada kekhawatiran yang ia simpan rapat agar keluarganya tidak khawatir. Ada harapan yang ia perjuangkan sampai tubuhnya letih. Dan semua itu dilakukan bukan untuk disanjung—melainkan karena cinta yang tak pernah ingin diperlihatkan secara berlebihan.
Ayah bukanlah manusia tanpa salah. Ia mungkin pernah marah ketika lelah. Ia mungkin tidak selalu hadir dalam setiap momen, karena tuntutan hidup memaksanya keluar rumah sejak pagi dan pulang ketika semua sudah terlelap. Ia mungkin tidak bisa memenuhi semua keinginan anaknya. Tetapi satu hal yang tidak pernah hilang darinya: niat tulus untuk membuat keluarganya bahagia.
Ada ayah yang tidak pandai berbicara, tapi pandai bekerja. Ada yang tidak bisa membelikan hadiah mewah, tapi bisa memastikan anaknya makan dan sekolah. Ada yang tidak sempat menemani anaknya bermain, tetapi setiap hari ia berjuang agar anaknya tidak kekurangan. Banyak ayah merasa dirinya gagal hanya karena tidak bisa memberikan kehidupan yang sempurna. Padahal, bagi seorang anak, kehadiran ayah yang terus berusaha jauh lebih berarti dibanding semua kemewahan dunia.
Baca Juga: Menetapi Jama’ah, Menjaga Diri dari Zaman Penuh Luka
Ayah sering kali memikul beban yang tidak pernah ia bocorkan kepada siapa pun. Ia menahan rasa takut tentang masa depan keluarga. Ia menelan kekecewaan ketika mimpinya sendiri harus ia korbankan demi kebutuhan anak-anaknya. Ia mengubur lelah, memeluk harapan, dan melangkah lagi. Dan meski ia terjatuh berkali-kali, ia berdiri kembali seperti tidak terjadi apa-apa. Karena dalam pikirannya, seorang ayah tidak boleh berhenti.
Namun sering kali, sosok ayah terlihat jauh. Seolah-olah ia tidak merasakan sedih, tidak punya masalah, atau tidak perlu dimengerti. Padahal ia sama rapuhnya dengan siapa pun. Ia juga manusia yang bisa lelah, kecewa, dan menangis. Bedanya, ia memilih menyimpan semua itu karena tidak ingin keluarganya ikut menanggungnya. Ia memilih menjadi batu karang meski air matanya sendiri sering jatuh dalam sunyi.
Banyak anak baru menyadari perjuangan ayah ketika mereka tumbuh dewasa. Ketika mereka merasakan pahitnya mencari nafkah, beratnya menjaga emosi, atau sulitnya menahan diri untuk selalu kuat. Baru setelah itu, mereka paham bahwa ayah selama ini bukan tidak peduli—ia hanya tidak ingin terlihat lemah. Ia bukan tidak sayang—ia hanya tidak pandai mengatakannya. Ia bukan jarang hadir—ia sedang memastikan masa depan anak-anaknya aman.
Seorang ayah tidak meminta balasan. Ia hanya ingin dihormati, dimengerti, dan tidak dilupakan. Ia hanya ingin anaknya tumbuh menjadi pribadi yang baik, sukses, dan bahagia. Itu saja sudah cukup baginya. Bahkan ketika anak-anaknya dewasa dan sibuk dengan kehidupan masing-masing, ayah tetap menjadi orang pertama yang mendoakan dari kejauhan.
Baca Juga: Dialog dan Experiential Learning Pada Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr
Karena itu, penting bagi kita untuk memandang ayah bukan dari ketidaksempurnaannya, tetapi dari perjuangan yang ia lakukan setiap hari. Mengucapkan terima kasih bukan berarti berlebihan. Menanyakan keadaannya bukan berarti repot. Mendengarkan ceritanya bukan sebuah pengorbanan. Sebab selama ini, ia telah berkorban jauh lebih banyak tanpa pernah menagih apa pun.
Ayah yang tidak sempurna bukanlah kekurangan. Justru di balik ketidaksempurnaan itulah kita belajar tentang keteguhan, kesabaran, dan ketulusan. Ia menunjukkan bahwa cinta tidak harus selalu sempurna untuk menjadi berarti. Yang penting adalah usaha yang tidak pernah berhenti, meski dunia terus berubah dan tantangan semakin berat.
Jika hari ini ayahmu masih ada, peluklah dia meski ia mungkin kaku. Katakan terima kasih meski ia mungkin hanya tersenyum kecil. Kalau ia sedang lelah, dampingilah. Kalau ia menua, jagalah seperti dulu ia menjagamu. Dan jika ayahmu telah tiada, kirimkan doa agar Allah melapangkan kuburnya dan mengangkat semua jasanya sebagai amal jariyah.
Ayah mungkin tidak sempurna. Tapi ia selalu berusaha. Dan sering kali, usaha itulah yang membuat hidup kita lebih mudah, lebih hangat, dan lebih bermakna. Sebab dalam hati seorang ayah, selalu ada cinta yang tidak pernah selesai.[]
Baca Juga: 14 Poin Krusial KUHAP Baru, Publik Soroti Risiko Pelemahan Hak Asasi
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Indonesia dan Masa Depan Hutan Tropis Dunia, Langkah Baru Memimpin Konservasi
















Mina Indonesia
Mina Arabic