Oleh: Rudi Hendrik, reporter Mi’raj Islamic News Agency
“Seandainya aku diminta untuk merangkum filosofi seluruh ajaran Islam dalam dua kata, maka akan kukatakan: kekokohan akhlak. Seandainya filosof terbesar dunia diminta untuk meringkas solusi bagi seluruh umat manusia dalam dua kata, pastilah ia berkata sama: kekokohan akhlak. Andaikan seluruh ilmuwan Eropa berkumpul untuk mempelajari peradaban Eropa, lalu mengatakan apa yang betul-betul sulit diraih, mereka akan berkata, ‘kekokohan akhlak’,” kata Al-Rafi’i dalam buku Wahy Al-Qalam.
Mostafa Saadeq Al-Rafi’i adalah penyair Mesir asal Libanon (Januari 1880 – Mei 1937).
Sebelum kita berproses menjadi “orang yang paling dicintai”, mari kita belajar akhlak dulu. Karena inilah jalan yang harus dilalui.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Amru Muhammad khalid, penulis buku “Indah Dan Mulia” menyebutkan bahwa ada empat tujuan manusia mempelajari akhlak:
Pertama, akhlak adalah tujuan Nabi diutus
Kita harus mempelajari akhlak karena merupakan tujuan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sebagaimana sabdanya, “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia.” (HR. Imam Malik no. 1723).
Sabda Rasulullah tersebut sejalan dengan Firman Allah Subhana Wa Ta’ala:
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21] ayat 107).
Mari kita renungkan ayat di atas dengan lapang dada!
Jika kecurangan, tipu daya, kedustaan, khianat, iri, dengki, sombong, merendahkan orang lain, serta berbagai macam kejahatan dan keburukan, terdapat dalam sebuah tatanan masyarakat, apakah masyarakat seperti itu akan diliputi rahmat?
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Jika sebuah keluarga diliputi penuh rasa iri, dengki, dan dendam, maka di manakah rahmatnya?
Jadi ada sebuah hubungan yang sangat erat antara akhlak dan rahmat, antara hadits Rasulullah dengan firman Allah.
Kedua, melenyapkan kesenjangan antara akhlak dan ibadah
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Tujuan kita mempelajari akhlak adalah untuk menghilangkan kesenjangan antara akhlak dan ibadah seorang hamba. Dalam kata lain untuk menghilangkan kesenjangan jarak antara agama dan dunia. Sebab, ada orang yang begitu baik saat berada di dalam masjid, tetapi begitu buruk ketika ia berada di luar masjid.
Kesenjangan yang jauh antara akhlak dan ibadah akan menciptakan dua jenis tipe manusia:
- Manusia yang rajib ibadah, tetapi buruk akhlaknya. Untuk manusia tipe ini sangat sering disinggung dalam banyak hadits. Salah satunya adalah ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya merasa tidak aman dari keburukannya.” (HR. Muslim no. 170 dan Ahmad 2/288)
- Manusia yang baik akhlaknya, tapi buruk ibadahnya. Manusia tipe ini bisa digolongkan seperti orang-orang non-Muslim yang baik tapi tidak mengenal cara beribadah kepada Allah. Atau seorang Muslim yang baik akhlaknya kepada sesama manusia tetapi sangat buruk dalam menjalankan kewajiban ibadahnya kepada Allah.
Ketiga, agar kita menjadi orang-orang yang mengamalkannya
Bukan hanya pandai berbicara tentang akhlak, tapi kita juga harus mengamalkannya, itulah tujuan lainnya kita harus belajar akhlak.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Tidak sedikit, orang yang dikenal dengan status “ustadz”, memberikan nasehat agama di berbagai pengajian, namun dalam kehidupan sehari-harinya terjebak dalam akhlak yang buruk. Seperti suka memaki ketika hatinya tidak senang, suka menggoda anak gadis, terlibat permusuhan dengan tetangganya, atau kejam dalam mendidik anak-anak yang belajar kepadanya. Bahkan ustadz yang terjun ke dunia politik, tidak jarang berani berdusta demi keamanan nama baiknya.
Setelah membaca dan mempelajari semua jenis akhlak, kita harus berinteraksi dengannya dan mengamalkannya dengan baik. Dengan demikian, kita akan memperoleh kebaikan.
Keempat, agar kita tidak menjadi sebab yang menyesatkan manusia
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Tujuan terakhir menurut Amru Muhammad Khalid, adalah agar kita tidak menjadi sebab yang menyesatkan manusia. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah jangan sampai kita menjadi contoh yuang buruk jika kita tidak memiliki akhlak. Jangan sampai ibadah kita menakjubkan banyak orang, tetapi akhlak buruk kita justeru menyesatkan. Jangan sampai ada orang yang berkata, “Tanda shalat di wajahnya masya Allah, tapi dia selalu membuat malu orang di depan umum.” Ada banyak contoh yang semacam ini.
Kita ingin setelah membaca dan memahaminya, insya Allah kita akan mengamalkannya. Selain itu, akan kita sajikan kepada masyarakat berbagai contoh yang tidak memisahkan antara dunia dan agama, atara ibadah dan akhlak. Melainkan, kita akan menyajikan berbagai contoh akhlak yang baik, yang benar, yang dipercaya, yang tulus, yang cinta dan peduli kepada orang lain.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Keutamaan akhlak yang baik
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan manusia di hari kiamat daripada akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud no. 2003)
Wahai Muslimin, jangan abaikan hadits di atas. Lalu di mana posisi shalat malam? Di mana posisi puasa di panas terik? Di mana posisi shalat lima waktu?
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud no. 4682)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Atau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang yang paling baik Islamnya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, hadits 5/99)
“Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2018 dan Ahmad hadits 2/217)
“Yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmidzi no.2004 dan Ibnu Majah no.4246)
“Aku menjamin sebuah rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang berakhlak baik.” (HR. Abu Daud no.4800)
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Dan perhatikan dialog ini!
Suatu ketika, seorang utusan datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa hamba yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, hadits 4/278), (HR. Ibnu Majah no.3436)
Dan suatu waktu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kepada para sahabat, “Maukah kalian kuberitahu tentang orang yang paling kucintai?” Mereka menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau kembali bertanya, “Maukah kalian kuberitahu tentang orang yang paling kucintai?” Jawab mereka, “Tentu, wahai Rasulullah.” Lalu beliau menegaskan, “Orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, hadits 2/185 dan hadits 2/217)
وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
“Hendaknya mereka berlomba dalam hal itu.” (QS. Al-Muthaffifin [83] ayat 26)
Jadi, apakah Anda ingin menjadi “orang yang paling dicintai”? Orang yang paling berat timbangannya di akhirat, orang yang paling sempurna imannya, orang yang paling baik Islamnya, orang yang paling dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Orang yang paling baik akhlaknya adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, karena Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman langsung:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Engkau (Muhammad) benar-benar mempunyai akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam [68] ayat 4)
Maka harapan kita adalah menjadi “orang yang paling dicintai” oleh orang yang paling baik akhlaknya dengan berlomba-lomba menjadi orang yang paling baik akhlaknya setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. (P09/EO2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sumber: Buku “Indah Dan Mulia” karya Amru Muhammad Khalid.