Oleh: Rana Setiawan, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Gerakan Hamas bersiap untuk mengumumkan piagam politik barunya dalam beberapa hari mendatang. Dokumen politik baru ini dapat mengubah ciri identitas politik dan ideologis gerakan tersebut. Ini bertepatan dengan selesainya pemilihan pimpinan komite. Mantan Perdana Menteri Palestina Ismail Haniyah ditunjuk menjadi Kepala Biro Politik Hamas periode selanjutnya.
Setelah salinan piagam tersebut bocor pada awal bulan April ini, sumber-sumber Hamas mengatakan kepada Ma’an News Agency, hari Rabu (26/4/2017), mereka akan mengumumkan secara resmi piagam politik baru di ibukota Qatar, Doha, pekan depan, sementara pengganti Misy’al akan diumumkan pada pekan berikutnya.
Sebuah pernyataan resmi di laman Hamas mengonfirmasi bahwa Misy’al dijadwalkan mengadakan sebuah konferensi pada tanggal 1 Mei 2017 di Doha, di mana pemimpin yang diasingkan itu tinggal, untuk secara resmi akan mengumumkan piagam politik baru tersebut.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Konferensi itu, kata pernyataan tersebut, akan dihadiri oleh “kelompok elit tokoh politik, penulis, peneliti, dan jurnalis.”
Sementara sumber anonim menambahkan saat pemimpin baru gerakan tersebut belum terpilih, pemilihan internal Hamas untuk semua posisi kepemimpinan lainnya di Jalur Gaza, Tepi Barat yang diduduki, di dalam penjara Israel, dan di luar negeri telah selesai.
Para pemimpin Hamas menyetujui bahwa Wakil Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyah, harus mengambil alih jabatan dari Misy’al sebagai pemimpin gerakan tersebut.
Hamas biasanya melakukan pemilihan internal setiap empat tahun, untuk menentukan komite kepemimpinan dan administrasi di semua tingkat, termasuk memilih anggota kepala biro politik gerakan tersebut. Yahya Sinwar utamanya sudah terpilih sebagai Kepala Biro Politik Hamas di Jalur Gaza pada bulan Februari ini.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Dengan terpilihnya Haniyah sebagai penerus Khalid Misy’al, Hamas akan memindahkan kekuatan politik terakhirnya, yang diwakili oleh kepala gerakan tersebut, di dalam wilayah negara yang diduduki. Dengan demikian, keputusan ini mengikuti jejak gerakan-gerakan sentral Palestina lainnya, seperti Fatah, PFLP, dan lain-lain, yang memindahkan pemimpin mereka ke dalam negeri sehubungan dengan memenuhi persyaratan menuju pekerjaan nasional utama di dalam wilayah, dibandingkan di luar wilayah, perbatasan dari Palestina.
Kondisi dan Perkembangan Terkini
Langkah seperti itu pada dasarnya harus dipaksakan kepada Hamas, karena mengingat berbagai keterbatasan dan kondisi terkini yang semakin memburuk di berbagai wilayah di Palestina terutama di Jalur Gaza.
Laporan terbaru PBB memprediksi, Jalur Gaza akan tidak layak huni kurang dari lima tahun lagi, jika tren ekonomi di daerah terblokade itu tidak berubah. Laporan yang dirilis Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan di Hanoi, Vietnam, akhir tahun lalu menunjukkan akibat parah blokade ekonomi 10 tahun terakhir serta tiga agresi militer yang dilakukan Israel di sana selama enam tahun terakhir.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Agresi militer Israel tahun lalu di Gaza mengakibatkan terjadinya gelombang pengungsi hampir setengah juta orang dan menghancurkan sebagian besar daerah kantong Palestina tersebut. Belum lagi, kerusakan lingkungan yang sangat parah, terutama kontaminasi pada air minum. Penggunaan senjata-senjata yang dilarang secara internasional, dalam jumlah yang sangat banyak digunakan Israel dalam tiga agresinya untuk mengebom sumur-sumur air dan jaringan-jaringan pembuangan kotoran, membuat air buangan itu tercampur dengan air minum, dan ini jelas-jelas sangat membahayakan kesehatan. Cap wilayah “Tidak Layak Huni” pada 2020 itu bukan isapan jempol semata.
Sementara itu, tidak semua negara Arab adalah pilihan sebagai mitra strategis untuk menyelesaikan berbagai permasalahan Palestina, terutama pasca Revolusi Arab, dengan beberapa rezim yang digulingkan dan rezim lainnya terguncang, memicu perselisihan lokal dan regional. Meski Hamas adalah gerakan perlawanan Palestina, namun Hamas tidak berhasil memisahkan diri dari perselisihan tersebut karena keterlibatan moral dan ideologisnya dengan beberapa pihak yang bersengketa, terutama di Mesir dan Suriah.
Situasi regional yang berkembang, meski berubah dan sementara, merupakan pembuka peluang bagi Israel melancarkan impian kolonial guna melegitimasi pendudukannya terhadap seluruh wilayah Palestina yang bersejarah. Ini telah menetralisir negara-negara Arab yang peduli dengan permasalahan Palestina, mengeksploitasi kontradiksi Arab untuk mengabadikan kesenjangan geografis dan politik di Palestina, serta menggunakan perpecahan agar terus mengisolasi Jalur Gaza dan menguasai Tepi Barat.
Israel telah berinvestasi dalam isolasi regional Hamas, mengingat hubungannya yang tidak stabil di Damaskus dan Beirut karena situasi di Suriah. Memburuknya hubungannya dengan rezim Mesir yang dipimpin oleh Abdul Fattah Al-Sisi. Dan perebutan kekuasaan dilancarkan dengan Fatah dan Otoritas Palestina (PA) di Ramallah. Negara sepihak entitas Zionis itu telah menggunakan situasi ini untuk memberlakukan blokade terhadap Hamas dan Jalur Gaza. Israel juga telah menggunakan situasi ini untuk melemahkan PA yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas dan memperdalam ketergantungan, dengan mengoordinasikan rezim Al-Sisi secara terbuka untuk mengepung Hamas, sementara Kairo berkoordinasi dengan Muhammad Dahlan untuk melemahkan otoritas Abbas. Pada akhirnya akan berarti marginalisasi faktor Palestina dan pengucilannya dari persamaan konflik di wilayah tersebut.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Babak Baru
Dokumen politik yang disetujui komite Hamas bulan ini berisi mendukung pembentukan sebuah negara Palestina merdeka di perbatasan tahun 1967, namun tanpa pengakuan Israel. Gerakan tersebut juga akan menyatakan bahwa gerakan itu sepenuhnya terpisah dari gerakan Ikhwanul Muslimin (sikap ini sudah disampaikan pada Presiden Mesir yang langsung menyambut dengan antusias karena ia menyatakan IM sebagai terlarang di sana).
Hamas akan mencoba, melalui dokumen – yang telah didiskusikan selama hampir dua tahun – untuk mendefinisikan ulang dirinya (bentuk organisasi) dengan cara yang selaras dengan perkembangan dan tantangan terakhir yang dihadapi. Dengan demikian, gerakan tersebut berusaha menemukan jalan keluar dari krisis dalam hubungannya dengan negara-negara regional dan Barat, dan mengakhiri isolasi Arab dan internasional.
Meskipun Hamas menolak menganggap dokumen tersebut sebagai pengganti piagam pendiriannya yang diterbitkan 29 tahun lalu – Hamas menegaskan bahwa hal tersebut justru sebagai pelengkap piagam -. Pengalaman gerakan Palestina lainnya, seperti Fatah dan PLO, menceritakan banyak kontroversi mengenai hal tersebut.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
“Dokumen tersebut akan memberikan identitas bagi Hamas,” jelas sumber lokal dari gerakan tersebut, “karena ditulis dengan tujuan untuk membuat amandemen piagam sambil mempertimbangkan situasi saat ini dari gerakan ini, yang telah menjadi besar, meluas, yang memerintah Gaza, memiliki sejumlah cabang di wilayah tersebut, dan memiliki hubungan dan persaingan, yang sama sekali berbeda dengan situasinya sebagai gerakan yang muncul 30 tahun lalu.”
Dokumen tersebut akan memperluas jembatan antara Hamas, negara-negara Barat, PA dan Israel dengan menyetujui pembentukan sebuah negara di perbatasan tahun 1967, “tanpa mengakui Israel atau mengakui tanah tersebut.” Ini juga akan menekankan hak-hak pengungsi Palestina, yaitu Sebuah isu yang disepakati Hamas dengan Fatah selama pembicaraan rekonsiliasi.
Selanjutnya, dokumen tersebut akan menggunakan kata “penjajah” dan bukan “Yahudi” untuk menangkis tuduhan anti-Semitisme yang ditujukan terhadap Hamas. Ini akan menentukan bahwa konflik itu adalah dengan otoritas pendudukan, dan tidak akan menyebut “orang-orang Yahudi” sebagai musuh.
Dalam isi piagam baru tersebut sebagaimana dikutip Al-Mayadeen berisi “memungkinkan untuk menyetujui sebuah negara di dalam perbatasan tahun 1967, namun tidak termasuk pengakuan terhadap Israel dan tidak berarti bahwa ada pelepasan hak bersejarah Palestina. Pembebasan Palestina adalah tugas rakyat Palestina, dan perlawanan terhadap penjajahan adalah hak yang sah, dan perlawanan bersenjata adalah pilihan strategis. Hak kita untuk mengembangkan dan mengelola sarana perlawanan termasuk dalam kerangka pengelolaan konflik dan bukan dengan mengorbankan prinsip perlawanan.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Pemutusan hubungan organisasi antara gerakan dan pihak ketiga atau kelompok manapun adalah rujukan khusus bagi gerakan Ikhwanul Muslimin. Hamas, dokumen tersebut menyatakan, adalah sebuah organisasi independen Palestina, Muslim dan nasional dengan pengambilan keputusan sendiri, dan hubungannya dengan semua pihak lainnya didasarkan pada kedekatan mereka dengan Palestina.
Gerakan tersebut memperjelas bahwa hal itu tidak akan mengganggu urusan dalam negeri apa pun yang berkaitan dengan negara, partai atau kelompok mana pun, dan perlawanannya semata-mata ditujukan pada penyebab konflik; yaitu penjajahan Israel.
“Mengabaikan” Ikhwanul Muslimin tidak hanya bertujuan untuk mengatasi tuduhan terorisme internasional yang ditujukan terhadap Hamas dan penghapusan namanya dari daftar terorisme internasional, namun juga untuk membangun jembatan dan memulihkan hubungannya dengan pemerintah Mesir. Kairo, bagaimanapun, mengendalikan salah satu dari dua gerbang Jalur Gaza ke seluruh dunia – Perbatasan Perlintasa Rafah – sementara Israel mengendalikan gerbang lainnya.
Dokumen yang dimaksud, bersamaan dengan pergeseran kualitatif dalam pendekatan ideologis dan politik Hamas, akan disertai oleh perubahan dalam struktur kepemimpinannya dan kepindahan pusat politiknya di dalam negeri.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Rekonsiliasi Tercapai
Selain itu, langkah ini akan menjadi dasar yang kuat untuk mengakhiri perpecahan dan mempersatukan Palestina di seputar isu-isu nasional. langkah ini juga akan menjadi sinyal yang mengizinkan Hamas untuk dapat melewati penyeberangan regional dan internasional jika ingin mengonsolidasikan dan membangun kewenangannya di Jalur Gaza.
Sejumlah upaya telah dilakukan di masa lalu untuk mendamaikan Hamas dan Fatah sejak mereka memasuki konflik pada tahun 2007, tak lama setelah kemenangan Hamas dalam pemilihan umum 2006 yang diadakan di Jalur Gaza.
Pada tahun 2014, Hamas dan Fatah sepakat untuk membentuk ‘pemerintah persatuan’. Namun, sejauh ini mereka gagal mengambil peran di pemerintahan karena perbedaan yang luar biasa antara kedua faksi tersebut. Pemimpin Palestina telah berulang kali gagal menindaklanjuti janji rekonsiliasi, karena kedua gerakan tersebut sering saling menyalahkan akibat banyaknya kegagalan politik.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina yang diadakan di Jakarta juga telah mengimbau semua fihak untuk mengadakan rekosiliasi. Seruan serupa disampaikan Presiden Indonesia, Djoko Widodo.
Langkah-langkah baru Hamas menunjukkan langkah positif ditandai dengan adanya komunikasi langsung dan tidak langsung yang sedang berlangsung sejak awal April ini antara pemimpin Fatah dan Hamas. Kedua gerakan tersebut mengambil “langkah-langkah praktis untuk mengakhiri konflik” antara dua gerakan paling berpengaruh di Palestina ini.
Pada hari Rabu (12/4/2017), Hamas bertemu dengan berbagai gerakan dan faksi politik di Gaza untuk mendiskusikan pertemuan masa lalu dan masa depan dengan Fatah, dan mempersiapkan kedatangan delegasi Fatah di daerah kantong pantai yang terblokade itu.
Setelah pertemuan delegasi Hamas dan Fatah digelar pada pertengahan April 2017, Hamas menyuarakan kesiapannya untuk menyerahkan otoritas di Jalur Gaza kepada pemerintah persatuan yang berpusat di Ramallah Tepi Barat.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Pernyataan tersebut disampaikan pemimpin Hamas Salah Al-Bardawil dalam konferensi pers pada Selasa (25/4). Ia mengatakan, fihaknya siap untuk meleburkan komite administratif yang didirikan bulan lalu untuk mengoordinasikan antar institusi publik Palestina.
Anggota delegasi Fatah berjanji untuk menyampaikan tuntutan Hamas kepada Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Yang terpenting adalah penghapusan pajak yang dikenakan pada bahan bakar yang dibutuhkan untuk pembangkit listrik Gaza
“Kami menyetujui usulan Qatar untuk mengakhiri perpecahan internal Palestina, tanggapan Fatah dan Hamas terhadap proposal tersebut telah dikirim ke Menteri Luar Negeri Qatar dan kami menunggu posisi Qatar dalam tanggapan ini,” katanya kepada IINA.
Juru bicara Hamas Hazem Qassem, mengatakan, Qatar baru-baru ini mengajukan proposal yang ditujukan untuk mengakhiri penderitaan dan perpecahan antara faksi Palestina yang bersaing (Hamas dan Fatah).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Sementara Presiden Palestina Mahmoud Abbas belum menjelaskan mengenai langkah-langkah apa yang akan diambil. Keputusan Hamas ini juga disambut positif oleh pemimpin Fatah. Anggota Komite Pusat Fatah Hussein Al-Sheikh mengatakan pada hari Kamis (28/4), salah satu gerakan Palestina paling berpengaruh tersebut serius untuk mengakhiri perpecahan antara Tepi Barat dan Gaza. Dia menekankan bahwa Fatah mengambil keputusan strategis untuk menggunakan segala cara guna mengakhiri perpecahan dan menyingkirkan berbagai konflik yang dapat menghancurkan proyek nasional Palestina.
Memang terlalu dini untuk menyimpulkan rekonsiliasi kembali tercapai dengan pemerintahan persatuan hadir untuk mengakhiri perpecahan sebagai kehendak dan keputusan publik. Setidaknya babak baru Hamas telah membuktikan hasil pemikiran panjang gerakan tersebut adalah terwujudnya negara Palestina yang merdeka dengan mengakomodir setiap hak-hak rakyat Palestina yang sah. (R01/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)