Oleh: Widi Kusnadi, Redaktur MINA
Sebuah “isu hangat” beberapa hari ini menjadi perbincangan masyarakat terkait penghinaan ulama. Adalah KH Ma’ruf Amin, ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais Aam PBNU saat menjadi saksi dalam persidangan kasus penistaan agama dinilai telah direndahkan oleh kuasa hukum tim Ahok dengan pernyataannya selama persidangan.
Akibatnya, banyak elemen masyarakat merasa tersinggung atas kejadian tersebut, terutama warga Nahdhiyiin (sebutan untuk warga NU). Mereka menyayangkan sikap Ahok dan kuasa hukumnya terhadap Kiai Ma’ruf saat di persidangan dengan mengatakan akan memproses hukum karena memberi keterangan palsu. Bahkan, ketua tanfidziyah PBNU, Prof. Said Agiel Syiraj menyatakan, ucapan Ahok akan merugikan dirinya sendiri. Warga NU Jakarta tidak akan memilihnya pada pilkada 15 Februari 2017 nanti.
Dari fenomena di atas, penulis ingin memberikan ulasan lebih mendalam tentang siapa yang dimaksud ulama, bagaimana seharusnya sikap kita terhadap ulama dan ancaman jika meremehkan ulama agar kita semua memiliki panduan yang jelas untuk mengambil sikap dan tindakan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Pengertian Ulama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam. Kata ulama berasal dari bahasa Arab, bentuk jamak dari kata ‘aalim. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Dengan demikian, pengertian ulama secara harfiyah adalah “orang-orang yang memiliki ilmu”.
Secara terminologi, ulama adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.
Ciri-Ciri Ulama
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Untuk menentukan siapa yang termasuk ulama, rujukannya adalah nas Al-Quran dan Hadits tentang ciri atau sifat ulama, antara lain:
Pertama, mereka yang takut kepada Allah. Hal ini berdasarkan firmanNya: “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (QS. Fathir: 28) karena ia dianugerahu ilmu, tahu rahasia alam, hukum-hukum Allah, paham hak dan batil, kebaikan dan keburukan, dan lain sebagainya.
Ulama yang telah mencapai makrifat, yaitu mengenal Allah, menghayati hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Apabila makrifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang, maka rasa takut kepada-Nya pun bertambah besar.
Kedua, mereka yang berperan sebagai pewaris nabi (waratsatul ambiya’). “Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)”. Seorang ulama menjalankan peran sebagaimana para nabi, yakni memberikan petunjuk kepada umat dengan aturan Islam, seperti mengeluarkan fatwa.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Kedudukan ulama di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan umat merupakan hal yang mulia sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama sehingga ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya.
Ketiga, terdepan dalam mengawal dakwah Islam, menegakkan ‘amar ma’ruf nahyi munkar, menunjukkan kebenaran dan kebatilan sesuai hukum Allah, dan meluruskan penguasa yang menyalahi aturan Allah.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin mengatakan, “Tradisi ulama adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah. Dakwah mengajak kepada agama Allah merupakan tugas para nabi, maka cukuplah sebagai kemuliaan bahwa para ulama menjadi pengawal dalam mengemban tugas para nabi.”
Memuliakan Ulama
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Salah satu ciri dari bangsa yang beradab adalah mereka yang memuliakan para guru dan ulama, apalagi Indonesia yang lekat dengan budaya ketimuran. Para ulama sebagai panutan tentunya harus kita muliakan sebagaimana nenek moyang kita mewariskan budaya itu.
Di antara bentuk memuliakan ulama adalah dengan bertutur kata yang sopan, tidak meninggikan suara kita saat berbicara atau berdiskusi dengan mereka dan yang terpenting mematuhi dan menjalankan arahan-arahannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Demikian juga dalam sebuah persidangan, ada atika yang harus dijunjung tinggi apabila yang kita hadapi adalah seorang ulama. Meski dalam aturan hukum, jaksa atau hakim boleh bertanya apa saja terkait kasus yang mereka tangani kepada saksi, namun etika dan nilai penghormatan kepada ulama harus tetap dijunjung tinggi.
Jika hal itu tidak diindahkan, maka yang terjadi adalah perasaan terluka hati masyarakat atas perbuatan merendahkan ulama tersebut. Terlepas dari ulama tersebut sudah memaafkan atau belum, namun perasaan umat tetap menginginkan hal itu tidak berulang di lain waktu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Dalam pandangan penulis, memang sah-sah saja bagi seorang pengacara menanyakan berbagai hal kepada saksi ahli dalam rangka meringankan kliennya. Meski begitu, etika penghormatan terhadap ulama harus tetap dijunjung tinggi walaupun itu di arena persidangan.
Ancaman kepada Kiai Ma’ruf akan memproses hukum apabila ia memberikan kesaksian palsu jelas merupakan sebuah tindakan yang tidak etis. Maka, wajar jika berbagai kalangan masyarakat menyayangkan aksi tersebut. Tidak hanya umat Islam, pemeluk aga lainnya pun kami kira akan melakukan reaksi serupa apabila tokoh agamanya diperlakukan seperti itu.
Isu yang tidak kalah hangatnya adalah adanya usaha mengkriminalisasi ulama oleh pihak-pihak tertentu melalui institusi kepolisian RI. Adalah Imaam besar FPI, Habib Rizieq Syihab, Ustaz Bachtiar Nasir dan Munarman yang saat ini sedang menghadapi kasus hukum di kepolisian.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Terkait hal itu, Wakil Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Hamid Fahmy Zarkasyi, mengingatkan risiko dari kriminalisasi terhadap ulama. Pasalnya, tindakan itu dinilai malah akan merusak kepercayaan siapapun, terutama pemerintah.
“Kriminalisasi ulama berbahaya untuk ke depan, karena wajah umara malah akan seperti anti umat Islam,” kata pria yang kerap disapa Gus Hamid seperti dikutip Republika.
Hamid melihat, belakangan memang tampak ada ketegangan hubungan di antara ulama-ulama dengan Polri. Dia menilai, ini suatu upaya tidak positif untuk masa depan bangsa. Upaya itu dirasa akan berpengaruh buruk terhadap adanya hubungan yang baik antara ulama dan umara.
Ulama, kata dia, seakan-akan selalu dicari-cari kesalahannya dan itu merupakan salah satu yang paling tidak bisa dimungkiri dari masyarakat. Ia mengingatkan, ulama adalah bagian penting dari umat, dan itu tentu saja berlaku sebaliknya. “Melukai ulama sama saja melukai umat,” ujar Hamid.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Ia menambahkan, salah satu yang jadi pertanyaan apakah pemerintah sendiri atau tangannya seperti Polri, sadar melakukan itu semua. Menurut Hamid, perlu juga diungkap apakah mereka yang berposisi sebagai umara melakukan itu karena terpancing agenda jangka pendek. “Mendukung satu tokoh mungkin, atau mungkin mendukung kepentingan politik,” kata Hamid.
Ulama-Pemerintah Kunci Kemakmuran Umat
Suatu negeri akan baik jika ada nilai kesalehan para ulama dan keadilan umara (penguasa). Sebaliknya, kerusakan suatu negeri bergantung pada kerusakan para ulama dan keculasan penguasanya.
Ulama, sudah sangat gamblang dipaparkan bahwa ulama pewaris para nabi dan penyambung lidah kebenaran mereka. Ulama mewariskan ilmu. Ilmu itulah yang kemudian disampaikan kepada manusia dari masa ke masa oleh ahli ilmu.
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
Ulama yang shaleh, yaitu yang akhlaknya mulia, yang ucapannya sesuai dengan perilakunya. Ulama yang shaleh, dakwahnya mengajak kepada amar makruf dan nahi munkar. Ia tidak canggung memberi nasihat dan peringatan, termasuk kepada penguasa sekalipun.
Sementara itu, umara atau penguasa adalah pemegang amanah Tuhan untuk rakyatnya. Hidup matinya rakyat tergantung pada kebijakan dan keputusannya. Di tangannya pula ditegakkan hukum dan peraturan demi ketenteraman umum.
Kedekatan ulama di sisi umara tidak sertamerta mengamini apa yang dilakukan umara, melainkan menjadi pendukung di saat berada di jalur yang benar, dan menjadi penasehat terbaik di saat berada di jalan yang salah. Menjadi penopang agar semakin kokoh, dan menjadi pelurus bila ada kebengkokan pada umara.
Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo pernah mengatakan, benteng terakhir Indonesia itu umat Islam. Umat Islam yang mana yang dimaksud? Tidak lain adalah ulama.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Sementara itu, politisi PKS, Jazuli Juwaini menuturkan, pihaknya selalu mendengar masukan dari para alim ulama terhadap masalah-masalah kebangsaan.
“Kami menempatkan para alim ulama pada posisi yang terhormat sebagai penjaga umat dan karakter kebangsaan Indonesia, Karenanya, nasihat dan suara mereka harus didengar oleh para pemimpin bangsa dan pengambil kebijakan termasuk DPR,” ungkap Jazuli
Bangsa Indonesia tentu berharap hadirnya sinergitas dengan alim ulama dan pemerintah dalam mewujudkan kebijakan negara yang bermartabat bagi seluruh rakyat.
Jika melihat sejarah, tokoh-tokoh ulama dan kebangsaan memiliki peran dalam upaya pembentukan negara kesatuan Republik Indonesia; antara lain KH. Wahid Hasyim dan KH Maskoer (NU), Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Kahar Muzakir, KH Mas Mansur (Muhammadiyah), KH Agus Salim, Abikusno Cokrosujoso dan Dr. Soekiman (Syarikat Islam) KH Ahmad Sanusi (al-Ittihad al-Islamiyah), KH Abdul Halim (Perserikatan Umat Islam), AR Baswedan (Partai Arab Indonesia) dan KH. A Fatah Hasan (lulusan Al-Azhar Cairo). (P02/RI-1)
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)