Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

BAGAIMANA MUSLIMAH MENJALANKAN RAMADHAN

Septia Eka Putri - Selasa, 17 Juni 2014 - 19:27 WIB

Selasa, 17 Juni 2014 - 19:27 WIB

1220 Views ㅤ

Foto : Islami
Foto : Islami

Foto : Islami

Oleh : Septia Eka Putri/ Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Kehadiran bulan Ramadhan merupakan moment yang tepat bagi setiap muslimah untuk memperbaiki kesalahan dan meraup pahala sebanyak-banyaknya. Bulan yang penuh keistimewaan ini tentunya tidak selayaknya disia-siakan.

Masih banyak diantara muslimah yang masih awam tentang perkara-perkara apa yang harus ia lakukan dan perkara-perkara apa yang harus ia tinggalkan pada bulan Ramadhan. Sering kali kita bingung ketika dihadapkan dengan masalah-masalah muslimah berkaitan dengan bulan Ramadhan.

Puasa memang hal yang baik dilakukan oleh siapa saja, khusus muslimah, memang ada hal yang harus dipenuhi dan ditinggalkan,

Baca Juga: Enam Kiat Menjadi Muslimah Tangguh di Era Modern

Puasa Ramadhan merupakan amalan yang Allah Ta’ala wajibkan bagi umat Islam dalam firmanNya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Al Baqarah: 183)

Lebih khusus lagi, puasa Ramadhan diwajibkan kepada muslim yang baligh, berakal, dan mukim (tidak sedang bepergian) sebagaimana sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam:

Baca Juga: Teladan Nabi dalam Memperlakukan Istri-Istrinya

“Pena (pencatatan amal) diangkat dari tiga jenis manusia (yakni) orang yang gila hingga sadar kembali, orang yang tidur hingga bangun kembali, dan anak-anak hingga dia dewasa” (Shohih, riwayat Ahmad dan Nasa’i) dan dalam firman Allah Ta’ala,

“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Al Baqarah: 184)

Bagi seorang wanita yang akan berpuasa, ditambahkan syaratnya adalah suci dari haid dan nifas, disimpulkan dari sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam saat beliau menjelaskan mengenai puasa bagi seorang wanita.

Seorang wanita memiliki alasan-alasan khusus yang membolehkannya untuk tidak berpuasa wajib, antara lain:

Baca Juga: Indahnya Taat Bagi Seorang Muslimah

Pertama, Haid

Seorang wanita yang haid dan nifas dilarang untuk melakukan puasa berdalil dengan hadits Abu Sa’id al Khudriy -radhiyallaahu’anhu-, bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda:

“Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” (Shohih, Riwayat Bukhori)

Di balik segala sesuatu pasti ada hikmahnya, meskipun kita tidak mampu membuka tabir hikmah tersebut. Lalu, apa hikmah dilarangnya seorang wanita yang mengalami haid untuk tidak berpuasa?

Baca Juga: Tujuh Ciri Wanita Modern yang Jauh dari Syari’at

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah berkata dalam Majmu’ Fatawa-nya

Haid menyebabkan keluarnya darah. Wanita yang sudah mendapat haid dapat berpuasa di selain saat-saat merahnya yaitu dalam kondisi tidak keluar darah (tidak haid). Karena puasa pada waktu itu adalah puasa dalam kondisi fisik yang seimbang dimana darah, yang merupakan inti kekuatan tubuh, tidak keluar.

Puasanya di saat haid akan menguras darah sehingga berdampak pada menurun dan melemahnya tubuh dan puasanya pun tidak pada kondisi fisik yang seimbang. Oleh karena itu, wanita diperintahkan untuk berpuasa di luar waktu-waktu haidnya.”

Wanita haid tersebut wajib meng-qadha’ (mengganti) puasa yang ditinggalkannya pada hari yang lain di luar bulan Ramadhan, berdasarkan hadits dari ‘Aisyah –radhiyallaahu’anha

Baca Juga: Wahai Muslimah, Inilah Keistimewaanmu dalam Islam

“Kami mengalami haid di masa Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, maka kami diperintahkan untuk meng-qadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ sholat.” (Shohih, dalam Shohih Jami’ no. 3514)

Qadha’ boleh ditunda karena adanya udzur (alasan). Akan tetapi, hendaknya tidak menunda qadha’ tanpa udzur hingga masuk bulan Sya’ban atau justru beberapa hari sebelum Ramadhan tiba karena hal tersebut justru akan memberatkan fisik kita dalam persiapan bulan Ramadhan. Apalagi lingkungan kita yang umumnya penuh godaan, seperti banyaknya warung makan yang buka.

Sebagaimana keadaan orang yang junub, seorang wanita yang suci dari haid sebelum fajar namun baru mandi setelah terbit fajar maka sah puasanya. Sah juga jika wanita tersebut mendapatkan haid setelah tenggelamnya matahari meskipun ia belum sempat untuk berbuka puasa.

Jika seorang wanita suci di tengah hari bulan Ramadhan, maka diperbolehkan untuk makan dan minum. Namun, untuk menghormati orang lain yang sedang berpuasa hendaknya ia tidak makan dan minum secara terang-terangan di antara orang yang berpuasa.

Baca Juga: Kekuatan Dalam Kelembutan, Potret Muslimah Penggerak Perubahan

Terkadang, seorang wanita dapat mengeluarkan darah, namun bukan darah yang menjadi kebiasaan wanita tersebut. Keadaan tersebut dinamakan dengan darah istihadhoh. Pada keadaan ini, wanita tersebut tidak memiliki alasan untuk tidak berpuasa sebagaimana wanita haid. Artinya, ia tetap harus melaksanakan sholat dan puasa.

Hukum istihadhoh seperti halnya keadaan wanita dalam keadaan suci kecuali pada beberapa masalah saja.

Wanita Hamil dan Menyusui

Bagi wanita yang hamil, jika khawatir akan membahayakan dirinya atau bayinya, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Begitu juga dengan wanita yang sedang menyusui, apalagi jika tidak dapat mencari pengganti wanita lain yang dapat menyusui bayinya.

Baca Juga: Wanita Salihah, Sebaik-baik Perhiasan Dunia

Maka, wanita yang mengalami dua keadaan tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat, adalah wajib baginya untuk membayar fidyah yaitu memberi makan orang miskin sebanyak hari yang dia tinggalkan, tanpa perlu meng-qadha’ puasanya, sebagaimana fidyah bagi orang yang telah renta (Al Wajiz, hal. 199)

Fidyah yang harus diberikan berupa makanan pokok negeri tersebut, misalnya beras atau roti, sebanyak 0,5 sha’ (500 gram) makanan untuk selain burr jayyid (tepung yang sangat halus). Adapun burr jayyid, ditentukan sebesar 0,25 sha’ (510 gram).

Bisa juga diberikan bersama lauk pauknya. Fidyah tersebut bisa diberikan dengan cara mengumpulkan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan atau memberikannya secara terpisah (sendiri-sendiri), yaitu setiap satu orang miskin hanya berhak mendapat jatah satu kali fidyah. (Fushul fi Ash Shiyam, hal. 9).

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini, fidyah tidak bisa digantikan dengan dengan uang senilai 0,5 sha’ makanan pokok, sebagaimana yang lazim dipahami oleh sebagian orang, karena lafadz dalil adalah “memberi makanan”, bukan “memberi uang”.

Baca Juga: Perempuan ICMI: Hati-Hati Dalam Membuat Aturan Terkait Hak Muslimah

Yang perlu menjadi perhatian dari seluruh penjelasan di atas bahwa jika seseorang yang masih memiliki hutang puasa namun ia belum meng-qadha’ puasa pada Ramadhan yang lalu hingga datang bulan Ramadhan berikutnya, maka ia harus meng-qadha’ puasanya tersebut dan membayar fidyah sebanyak hari yang ia tinggalkan. Hal ini sebagaimana difatwakan oleh beberapa shahabat seperti Abu Hurairah dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu’anhuma.

Selain itu, seorang wanita tidak diperbolehkan untuk berpuasa sunnah kecuali dengan seijin suaminya. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata.

bahwasanya Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal seorang wanita berpuasa sedang suaminya berada di rumahnya kecuali dengan seizinnya.” (Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim). Pada riwayat lain: “kecuali Ramadhan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan Abu Daud). Allahu a’lam bi showwab.

Berpuasa Setelah Suci dari Nifas

Baca Juga: Muslimat dan Dakwah, Menyebarkan Kebaikan Melalui Akhlak Mulia

“Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas dalam satu pekan, kemudian ia berpuasa bersama kaum muslimin di bulan Ramadhan selama beberapa hari. Kemudian (ternyata) darah itu keluar lagi. Apakah ia harus meninggalkan puasa dalam situasi seperti ini? Dan apakah ia harus mengqadha hari-hari puasa yang ia jalani selama beberapa hari tersebut dan hari-hari puasa yang ia tinggalkan?

Jawaban dari ini semua adalah, Jika seorang wanita mendapat kesuciannya dari nifas sebelum 40 hari lalu ia puasa beberapa hari, kemudian darah itu keluar lagi sebelum 40 hari, maka puasanya sah. Dan hendaknya ia meninggalkan shalat dan puasa pada hari-hari ketika darah itu keluar lagi karena darah itu dianggap darah nifas hingga ia suci atau hingga sempurna 40 hari.

Dan jika telah mencapai 40 hari, maka wajib baginya untuk mandi walaupun darah itu masih tetap keluar, karena 40 hari adalah akhir masa nifas menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama.

Dan setelah itu, hendaknya ia berwudhu untuk setiap waktu shalat hingga darah itu berhenti mengalir darinya, sebagaimana yang diperintahkan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada wanita yang mustahadhah (mengeluarkan darah istihadhah) dan boleh bagi suaminya untuk mencampurinya setelah 40 hari walaupun ia masih mengeluarkan darah.

Baca Juga: Pendidikan Muslimat: Fondasi Kuat bagi Generasi Qur’ani

Karena darah dan kondisi yang demikian adalah darah rusak (darah istihadhah) yang tidak menghalangi seorang wanita untuk shalat dan puasa serta tidak menghalangi suaminya untuk menggauli istrinya pada saat itu. Akan tetapi jika keluarnya darah itu sesuai dengan masa haidhnya, maka ia harus meninggalkan shalat dan puasa karena ia dianggap darah haidh.

Tetap selalu istiqomah, Allah selalu ada bersama kita. Marhaban ya Ramadhan, menjalankan bulan yang suci ini marilah kita semua khusyuk dan tetap menjaga kodrat kita sebagai muslimah. Walahu’alam bi Showab.(Putri/P04)

Sumber

  1. Al Wajiz fi Fiqhi as Sunnah wal Kitaabi al’Aziis, Dr. ‘Abdul ‘Adhim Badawi
  2. Fushul fi ash Shiyam wa at Tarawihwa az Zakat, Syaikh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin
  3. Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir al Jazairy
  4. Tanbihat ‘ala Ahkami Takhtashu bil Mu’minaat (Terj. Sentuhan Nilai Kefikihan untuk Wanita Beriman), Syaikh Sholih bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan
  5. ‘Umdatul Ahkam, rekaman dauroh, Ustadz Abu Ukasyah
  1. Kitab ad Da’wah, Syaikh ibn Baz
  2. Kitab ad Da’wah, Syaikh ibn Baz

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Indonesia
Indonesia
Internasional
MINA Sport
MINA Sport