Bahar Smith, Wamenag Yakin Polri Profesional dan Transparan

Jakarta, MINA – Kepolisian sedang memproses kasus Habib Bahar Smith (BS) yang diduga mengandung ucapan ujaran kebencian dan unsur kebohongan publik.

Wakli Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menyakini Polri melakukan penyelidikan kasus Habib Bahas Smith sudah profesional dan transparan.

“Indonesia sebagai negara hukum, maka asas equality before the law, yaitu asas persamaan di depan hukum, harus diterapkan. Siapa pun yang bersalah harus bertanggung jawab di depan hukum. Proses penegakkan hukum (law enforcement) sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilaksanakan demi tegaknya keadilan dan terjaminnya rasa keadilan di tengah masyarakat,” kata Zainut dalam keterangan pers, di Jakarta, Kamis (6/1).

“Untuk itu, saya mendukung langkah penegakan hukum oleh pihak kepolisian dan saya yakin polisi bekerja secara profesional, transparan dan menjunjung tinggi asas keadilan dan praduga tidak bersalah,” ujarnya.

Belajar dari pengalaman BS, ia mengimbau kepada para penceramah agama/pedakwah dan tokoh agama untuk menjadikan mimbar ceramah sebagai ruang edukasi publik yang mencerahkan dan inspiratif.

“Setiap tokoh agama, ulama, habaib dan penceramah agama. mengemban tugas mulia sebagai pewaris para nabi (waratsatul ambiya) untuk melaksanakan tugas mulia amar ma’ruf nahi munkar yakni mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran,” ujarnya.

Menurutnya, ada pemahaman yang salah terhadap tugas dakwah. Orang sering memahami tugas mulia secara keliru, seakan-akan kalau mengajak kebaikan itu dengan cara yang lemah lembut sedangkan kalau mencegah kemungkaran itu harus dengan cara yang keras dan kasar.

“Pemahaman seperi itu adalah keliru dan tidak dibenarkan menurut agama. Baik amar ma’ruf maupun nahi munkar harus dilaksanakan dengan cara yang baik, santun, berakhlak mulia dan tidak melanggar hukum dan norma susila,” ungkapnya.

Ia mengatakan, tidak boleh atas nama mencegah kemungkaran (nahi munkar)  dengan kata-kata yang kasar, menebarkan ujaran kebencian, hoax, fitnah, adu domba dan teror atau ancaman yang membuat ketakutan pihak lain.

“Para penceramah agama hendaknya berdakwah dengan cara-cara yang hikmah yaitu dengan penuh kebijaksanaan, mauidhah hasanah dengan pesan-pesan yang baik, dan mujadalah hasanah yakni berdiskusi atau bertukar pikiran dengan cara yang santun dan bijak,” imbuhnya.

‘Saya kira ketiga hal tersebut bersifat umum atau universal yang semua penceramah agama sudah sangat memahaminya, hanya tinggal penerapannya saja yang dibutuhkan kesadaran dan tanggung jawab,” demikian Wamenag. (L/R4/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)