Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

BAHAYA ANANIYAH (EGOIS)

Admin - Jumat, 21 Maret 2014 - 00:50 WIB

Jumat, 21 Maret 2014 - 00:50 WIB

9904 Views ㅤ

Oleh Bahron Ansori*

Setiap manusia, diciptakan untuk saling bahu-membahu, tolong-menolong satu sama lain. Tak pernah ditemukan di alam fana ini, manusia yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Karena itu, bekerjasama (team work) dalam Islam merupakan sunnatullah yang wajib dibangun agar tidak terjadi kesenjangan antara yang satu dengan lainnya.

Selain itu, team work yang terbangun dengan solid akan memudahkan untuk mewujudkan setiap agenda yang sudah terencana sebelumnya. Itulah sebabnya dalam sebuah team work sangat dihindari sifat ananiyah (egois), sebab sifat itu bisa menghancurkan semua rencana dan agenda-agenda besar yang sedang atau sudah dibangun.

Bila dikaji lebih dalam, ananiyah berasal dari kata ana artinya ‘aku’. Ananiyah juga berarti ‘keakuan’. Sifat ananiyah ini biasa disebut egoistis yaitu sikap hidup yang terlalu mementingkan diri sendiri bahkan jika perlu dengan mengorbankan kepentingan orang banyak/lain. Sikap ini adalah sikap hidup yang tercela, karena cenderung berbuat seenaknya saja sehingga dapat merusak tatanan pergaulan dalam sebuah team work atau masyarakat.

Baca Juga: Keistimewaan Puasa Enam Hari Bulan Syawal Seperti Berpuasa Setahun

Dalam kehidupan sehari-hari, penyakit mental seperti ini dapat diketahui dari sikapnya yang selalu mementingkan dan mengutamakan kepentingan dirinya di atas segala-galanya, tanpa mengindahkan kepentingan orang lain. Dengan kata lain, yang penting “aku tampil dan terus maju”. Apakah demi kepentingan dirinya akan mengorbankan orang lain. Hal ini tidak akan menjadi pertimbangannya.

Bahaya Ananiyah

Sifat Ananiyah akan melahirkan sifat egosentris, artinya mengutamakan kepentingan dirinya di atas kepentingan yang lain. Orang-orang yang terjangkiti penyakit ananiyah ini cenderung melihat orang lain dengan sebelah mata. Ia mengambil tindakan sesuai jalan dan alam pikirannya sendiri tanpa melihat orang lain yang mungkin dari sisi ilmu dan pengalaman jauh lebih banyak darinya. Hal itu terjadi karena orang-orang egois ini dikendalikan oleh nafsunya dalam setiap tindakan. Bahkan standar kebenaran-pun ditentukan oleh kepentingan dirinya. Nafsulah yang menjadi kendali dan mendominasi seluruh tindakannya. Padahal Allah SWT melarang hal tersebut.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Sekiranya kebenaran itu harus mengikuti kemauan hawa nafsu mereka saja, tentulah akan binasa langit dan bumi dan mereka yang ada di dalamnya.” (Qs. Al-Muminun: 71). Peringatan Allah SWT itu bisa dimaknai seperti ini: sekiranya orang-orang yang egois itu menjadikan kebenaran sebuah keputusan berdasarkan hawa nafsunya sendiri, maka tentu agenda-agenda besar dalam sebuah organisasi yang sedang direncanakan akan hancur berantakan.

Baca Juga: Syawalan di Semarang, Potret Harmoni Budaya dan Peningkatan Ekonomi Rakyat

Sifat ananiyah ini sangat berbahaya. Jika pelakunya tak segera muhasabah (introspeksi) dan bertaubat kepada Allah SWT, maka ananiyah itu akan melahirkan sifat-sifat negatif lainnya seperti;   sifat bakhil (pelit bin kikir), tamak (serakah), mau menang sendiri, dhalim (suka menganiaya), meremehkan orang lain dan ifsad (merusak). Lebih sadis lagi, jika ananiyah itu tidak segera ditumpas, akan berkembang menjadi sifat kibir (sombong) yang ciri utamanya adalah bathrul haq (menolak kebenaran) dan ghomtun nas (merendahkan manusia). (HR. Muslim).

Sifat egois sungguh berbahaya. Ananiyah yang melekat pada orang biasa saja (tak kaya dan tak punya kekuasaan) akan berbahaya, apalagi jika sifat busuk itu melekat pada penguasa dan orang kaya, tentu saja dampaknya akan lebih dahsyat lagi bahayanya. Jika ananiyah ini melekat pada penguasa, maka ia akan menjadi penguasa yang diktator, koruptor, tiran dan absolut. Contoh nyata dari penguasa seperti ini sepanjang sejarah Mesir yang mengidap penyakit ananiyah ini adalah Fir’aun dan Namrud. Kedua penguasa itu memerintah manusia dengan hawa nafsunya semata, tanpa memperhatikan kepentingan rakyat/umat yang dipimpinnya. Yang terjadi, justeru para penguasa itu membuat kerusakan di mana-mana.

Allah SWT berfirman yang artinya, “Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (Qs. Al-Baqoroh : 11). Tentang bahaya ananiyah ini, Rasulullah SAW pun bersabda, “Dari Abdulloh ibnu Umar ra., Nabi SAW “Aniaya itu menjadi kegelapan di hari kiamat.” (HR. Bukhari).

Ada banyak dalil baik dari Qur’an dan Hadis yang menyebut betapa bahayanya sifat egois/ananiyah. Dari Abi Hurairah ra., Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang merusak nama baik atau harta benda orang lain maka minta maaflah kepadanya sekarang ini, sebelum datang di mana mata uang tidak laku lagi. Kalau ia mempunyai kebajikan, sebagian amal baiknya itu akan diambil sesuai dengan kadar perbuatan aniayanya. Kalau ia tidak mempunyai amal baik, maka dosa orang lain itu diambil dan ditambahkan pada dosanya.” (HR. Bukhori).

Baca Juga: Sungkeman, Tradisi Penuh Makna dalam Momen Idul Fitri

Sifat ananiyah juga sering menimbulkan sikap permusuhan, padahal sikap permusuhan itu sangat dibenci Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda, “Dari Aisyah ra. dari Nabi SAW bersabda, “Orang yang paling dibenci Allah ialah orang yang paling suka bermusuhan.” (HR. Bukhari).

Tanda Orang Egois

Orang yang terjangkit penyakit ananiyah/egois biasanya selalu merasa sok tahu (merasa sudah cukup pengetahuan dan pengalaman), padahal sebenarnya masih sangat kurang. Yang jadi masalah, orang egois yang sok tahu itu biasanya tak pernah mau menyadari di mana letak kesalahan dan kelemahannya. Agar sadar bahwa kita terjebak dengan sifat ananiyah ini, maka ada baiknya kita lihat beberapa ciri orang egois/ananiyah berikut ini.

Pertama, tak suka membaca. Orang yang egois, biasanya sumber bacaannya sedikit sekali atau bahkan tak pernah membaca. Selain itu, dia tidak pernah mau membaca situasi di lingkungannya. Mengapa? Karena dia selalu yakin dengan sudut pandang pikirannya dalam mengambil satu keputusan dan langkah. Ia tak pernah mau mengikuti masukan dari orang lain, bila masukan itu dirasa tak bisa mewujudkan apa yang sudah menjadi ambisinya.

Baca Juga: Kerasnya Hati Orang Yahudi

Sebaliknya, bila masukan itu sesuai dengan rencana ambisinya, maka dengan senang hati ia akan tampil kedepan. Yang penting, apa yang menjadi keinginannya terwujud tanpa melihat bagaimana akibat panjang yang akan dialami. Dalam sebuah organisasi, hal virus tak suka membaca ini tentu sangat berbahaya sebab bisa meruntuhkan semua visi misi yang sudah dibangun.

Kedua, membanggakan luasnya pengetahuan. Orang egois biasanya selalu membanggakan kepintarannya dan memamerkan kepada orang lain. Ia lebih senang muncul dan menunjukkan pada banyak orang bahwa ia adalah orang yang punya pengetahuan luas. Ia mungkin suka menulis dan berbicara sebanyak-banyaknya dalam berbagai bidang, tetapi kurang sekali memperhitungkan apakah pembicaraannya berkualitas atau tidak. Tak heran bila ia menjadi seorang ulama, maka setiap pertanyaan dijawab sendiri meski diluar keahliannya.

Ketiga, merendahkan orang lain yang tidak sepaham. Muslim yang egois, siapa saja yang bertentangan dengan pendapatnya, segera ia menuduh mereka telah melakukan bid’ah, sesat, meremehkan agama, dan sebagainya. Bahkan, sampai melarang orang-orang lain melakukan amal yang caranya lain walau mereka punya dalil tersendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai “Yang Maha Tahu”, terlalu yakin bahwa pasti pandangan dirinyalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan yang lain pasti salah. Padahal, Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu menganggap diri kamu suci; Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan.” (Qs. an-Najm: 32).

Keempat, suka menyatakan pendapat tanpa dasar yang kuat. Orang egois yang sok tahu senang menyampaikan pendapatnya sendiri mengatasnamakan Islam. Padahal bisa jadi dasar penyampaiannya itu tak bersumber dari Al Qur’an dan Hadis melainkan semata-mata untuk mewujudkan keinginannya. Ia hanya mengemukakan opini pribadinya tanpa disertai dalil yang kuat, baik dalil naqli maupun aqli.

Baca Juga: Wae Rebo: Desa di Atas Awan dengan Rumah Adat Unik

Agar Terhindar dari Ananiyah

Ada beberapa cara untuk menekan sikap ananiyah antara lain sebagai berikut.

Pertama, menyadarkan diri bahwa manusia itu diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama. Kesadaran ini akan melahirkan sikap menghargai orang lain. Menghargai orang lain artinya mengenal, memahami sekaligus mencintai sesama. Sehingga apa yang sudah menjadi rencana dan cita-cita besar bersama akan terwujud.

Kedua, menyadari bahwa manusia hidup membutuhkan orang lain. Dia harus merelakan dirinya karena dirinya merupakan bagian dari satu sistem kehidupan yang saling membutuhkan. Selain itu, ia harus mampu menekan hawa nafsu dan memupuk sikap tasamuh (tenggang rasa).

Baca Juga: 15 Tips Menjadi Ayah yang Baik: Panduan untuk Ayah Milenial

Ketiga, menyadari bahwa hidup adalah pengabdian kepada Allah SWT. Setiap pengabdian diperlukan perjuangan dan setiap perjuangan memerlukan pengorbanan dan teman. Menyadari juga bahwa sikap ananiyah bila dibiarkan akan mengarah pada sikap sombong yang membinasakan dan dibenci oleh Allah SWT dan seluruh manusia.

Keempat, menanamkan dan membiasakan diri dengan sikap tawadhu (rendah hati), syukur, ikhlas dan tasamuh karena sifat-sifat tersebut akan mengikis habis sifat ananiyah. Lalu, menghayati dan mendalami setiap hikmah dibalik perintah ibadah secara universal, seperti ibadah shalat, shaum, zakat dll.

Agar Allah SWT senantiasa menjaga kita dari kejahatan nafsu yang bisa mengundang sifat ananiyah, maka Rasulullah SAW mengajarkan doa ini,اللَّهُمَّ ألْهِمْني رُشْدِي ، وأعِذْنِي مِنْ شَرِّ نَفْسي(“Ya Allah, ilhamkan kepadaku hidayah dan lindungilah aku dari kejahatan diri/nafsuku”). (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits hasan”). Wallahua’lam. (R2/IR).

*Redaktur Mi’raj Islamic News Agency/MINA

Baca Juga: Ahlul Qur’an: Mencintai, Menghafal, dan Mengamalkan

 

Mi’raj Islamic News Agency / MINA

 

 

Baca Juga: Meniti Jalan Ahlul Qur’an: Menggapai Derajat Mulia

Rekomendasi untuk Anda