Bullying merupakan perilaku agresif yang disengaja dan berulang, dilakukan oleh individu atau kelompok terhadap korban yang tidak mampu membela diri. Fenomena ini telah menjadi masalah serius di berbagai tingkat pendidikan dan lingkungan sosial. Penelitian ilmiah telah menunjukkan dampak negatif bullying terhadap kesehatan mental, fisik, dan perkembangan sosial korban.
Dari sisi psikologis, bullying juga memberikan dampak negatif. Studi longitudinal oleh Copeland et al. (2013) menunjukkan bahwa korban bullying memiliki risiko lebih tinggi maengalami depresi, kecemasan, dan gangguan psikiatrik di masa dewasa. Mereka juga cenderung memiliki harga diri rendah dan kesulitan dalam membentuk hubungan sosial yang sehat.
Sementara itu dari dampak akademis pun bullying terhadap seseorang sangat signifikan pengaruhnya. Hal itu seperti penelitian yang dilakukan oleh Nakamoto dan Schwartz (2010) menemukan korelasi negatif antara pengalaman bullying dengan prestasi akademik. Korban bullying cenderung mengalami penurunan motivasi belajar, konsentrasi, dan kehadiran di sekolah.
Dampak kesehatan fisik, prilaku bullying seperti penelitian yang dilakukan oleh Gini dan Pozzoli (2013) dalam meta-analisis mereka menyimpulkan bahwa korban bullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan seperti sakit kepala, sakit perut, dan gangguan tidur.
Baca Juga: Manfaat Susu bagi Kesehatan
Bullying dalam Perspektif Islam
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga hubungan baik antar sesama manusia dan melarang segala bentuk kekerasan atau penganiayaan. Berikut beberapa dalil yang relevan dengan larangan bullying.
Pertama, dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 11 Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)…” Ayat ini melarang mengejek atau merendahkan orang lain, yang merupakan salah satu bentuk bullying.
Kedua, dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ia tidak boleh menzaliminya dan tidak boleh membiarkannya diganggu orang lain…” Hadits ini menegaskan larangan menyakiti sesama muslim dan kewajiban untuk saling melindungi.
Baca Juga: Indonesia Lakukan Operasi Jantung Robotik untuk Pertama Kalinya
Ketiga, dalam Al-Qur’an Surah Al-Ahzab ayat 58 yang artinya, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” Ayat ini menunjukkan bahwa menyakiti orang lain tanpa alasan yang benar adalah dosa besar dalam Islam.
Bullying memiliki dampak serius terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat. Dari perspektif ilmiah maupun agama, jelas bahwa perilaku ini harus dicegah dan diatasi. Diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk institusi pendidikan, keluarga, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua individu.
Jenis-jenis Bullying
Bullying dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Olweus (1993) mengkategorikan bullying menjadi tiga jenis utama: fisik (seperti memukul atau mendorong), verbal (seperti mengejek atau mengancam), dan sosial/relasional (seperti mengucilkan atau menyebarkan rumor). Dengan perkembangan teknologi, berbullying telah muncul sebagai bentuk baru yang terjadi melalui media digital dan sosial.
Baca Juga: Puluhan Ribu Anak Papua Barat Terima Vaksin Polio
Swearer dan Hymel (2015) mengidentifikasi berbagai faktor yang berkontribusi terhadap perilaku bullying, termasuk faktor individual (seperti temperamen agresif), keluarga (seperti pola asuh yang keras), teman sebaya (seperti norma kelompok yang mendukung agresi), sekolah (seperti iklim sekolah yang negatif), dan masyarakat (seperti paparan kekerasan media).
Penelitian longitudinal oleh Wolke et al. (2013) menunjukkan bahwa korban bullying di masa kecil memiliki risiko lebih tinggi mengalami masalah kesehatan, kesulitan dalam hubungan sosial, kesulitan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih rendah di usia 50 tahun. Ini menunjukkan bahwa dampak bullying dapat bertahan hingga dewasa.
Arseneault (2018) dalam tinjauan sistematis menemukan bahwa pengalaman bullying di masa kanak-kanak terkait dengan peningkatan risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan gangguan psikotik di kemudian hari. Ini menekankan pentingnya intervensi dini untuk mencegah konsekuensi jangka panjang.
Sementara itu Salmivalli (2014) menekankan pentingnya peran “bystander” atau saksi dalam dinamika bullying. Penelitian menunjukkan bahwa ketika bystander melakukan intervensi, bullying cenderung berhenti dalam waktu 10 detik. Ini menunjukkan pentingnya program anti-bullying yang melibatkan seluruh komunitas sekolah.
Baca Juga: Kemenkes Bantu Korban Terdampak Erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki
Aneka Efek Buruk Bullying
Fenomena bullying tidak terbatas pada lingkungan sekolah. Einarsen et al. (2011) meneliti bullying di tempat kerja dan menemukan dampak negatif terhadap produktivitas, kepuasan kerja, dan kesehatan mental karyawan. Ini menunjukkan perlunya kebijakan anti-bullying yang komprehensif di berbagai konteks sosial.
Strategi Pencegahan. Ttofi dan Farrington (2011) dalam meta-analisis mereka menemukan bahwa program anti-bullying yang efektif mencakup elemen-elemen seperti pelatihan orang tua, pengawasan playground yang lebih baik, metode disiplin, konferensi sekolah, informasi untuk orang tua, aturan kelas, dan manajemen kelas. Program yang intensif dan berkelanjutan menunjukkan hasil yang lebih baik.
Resiliensi Korban. Meskipun dampak negatif bullying telah banyak didokumentasikan, beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Sapouna dan Wolke (2013) menunjukkan faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiliensi korban. Ini termasuk dukungan keluarga yang kuat, keterampilan sosial yang baik, dan strategi coping yang efektif.
Baca Juga: Membaca Al-Qur’an dan Manfaat Kesehatan, Bukti Ilmiah
Resiliensi adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk beradaptasi, bangkit, dan tetap tegar menghadapi kesulitan, tekanan, atau tantangan hidup. Resiliensi tidak hanya berarti bertahan dalam situasi sulit, tetapi juga menemukan cara untuk berkembang meskipun menghadapi hambatan.
Perspektif Neurosains. Penelitian neurosains oleh Quinlan et al. (2018) menunjukkan bahwa pengalaman bullying dapat mempengaruhi perkembangan otak, khususnya pada area yang terkait dengan regulasi emosi dan pemrosesan stres. Ini memberikan pemahaman baru tentang mekanisme biologis di balik dampak jangka panjang bullying.
Bullying dan Hukum. Banyak negara telah mengimplementasikan undang-undang anti-bullying. Cornell dan Limber (2015) menganalisis efektivitas kebijakan ini dan menemukan bahwa meskipun undang-undang dapat meningkatkan kesadaran, implementasi yang efektif membutuhkan dukungan sumber daya yang memadai dan pelatihan untuk staf sekolah.
Intervensi Berbasis Teknologi. Dengan meningkatnya kasus cyberbullying, peneliti seperti Palladino et al. (2016) telah mengembangkan dan mengevaluasi intervensi berbasis teknologi. Ini termasuk aplikasi pelaporan anonim, program edukasi online, dan alat pemantauan media sosial. Hasil awal menunjukkan potensi pendekatan ini dalam mengatasi bullying di era digital.
Baca Juga: Kemenkes Anjurkan Masyarakat Skrining Kesehatan Jiwa Minimal Setahun Sekali
Dampak pada Kesehatan Fisik Jangka Panjang. Takizawa et al. (2014) melakukan studi kohort selama 50 tahun dan menemukan bahwa korban bullying di masa kecil memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas, penyakit kardiovaskular, dan peradangan kronis di usia pertengahan. Ini menunjukkan bahwa dampak bullying tidak hanya terbatas pada kesehatan mental, tetapi juga memengaruhi kesehatan fisik jangka panjang.
Bullying dan Prestasi Akademik. Penelitian longitudinal oleh Mundy et al. (2017) mengungkapkan bahwa korban bullying cenderung memiliki pencapaian akademik yang lebih rendah hingga 7-8 tahun setelah kejadian bullying. Hal ini menekankan pentingnya intervensi dini untuk mencegah dampak jangka panjang pada pendidikan dan prospek karir.
Peran Genetik dan Lingkungan. Arseneault et al. (2010) menggunakan studi kembar untuk menyelidiki kontribusi relatif faktor genetik dan lingkungan terhadap risiko menjadi korban bullying. Mereka menemukan bahwa meskipun ada komponen genetik, faktor lingkungan memainkan peran yang lebih besar, menekankan pentingnya intervensi berbasis lingkungan.
Bullying dan Perkembangan Otak. Studi neuroimaging oleh Teicher et al. (2010) menunjukkan bahwa pengalaman bullying dapat menyebabkan perubahan struktural pada otak, terutama di daerah yang terkait dengan regulasi emosi dan memori. Ini memberikan bukti biologis tentang dampak mendalam bullying pada perkembangan anak.
Baca Juga: WHO dan Arab Saudi Kolaborasi Kartu Kesehatan Digital untuk Jamaah Haji
Bullying di Era Digital. Kowalski et al. (2014) melakukan meta-analisis tentang cyberbullying dan menemukan bahwa korban cyberbullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, dan penurunan harga diri dibandingkan dengan korban bullying tradisional. Ini menunjukkan perlunya strategi pencegahan yang khusus ditargetkan pada lingkungan online.
Dampak Ekonomi Bullying. Penelitian oleh Brown dan Taylor (2008) mengestimasi dampak ekonomi jangka panjang dari bullying. Mereka menemukan bahwa korban bullying cenderung memiliki pendapatan yang lebih rendah di usia dewasa, menunjukkan bahwa bullying tidak hanya mempengaruhi individu tetapi juga memiliki konsekuensi ekonomi yang lebih luas.
Bullying dan Identitas Gender. Studi oleh Toomey et al. (2010) menunjukkan bahwa siswa transgender dan gender non-konforming menghadapi risiko bullying yang lebih tinggi. Ini menekankan perlunya program anti-bullying yang sensitif terhadap isu-isu identitas gender dan seksualitas.
Peran Budaya dalam Bullying. Penelitian lintas budaya oleh Smith et al. (2016) mengungkapkan variasi dalam prevalensi dan persepsi bullying di berbagai negara. Ini menunjukkan pentingnya mempertimbangkan konteks budaya dalam merancang intervensi anti-bullying.
Baca Juga: Menkes Tegaskan Kebijakan Kesehatan Harus Berorientasi pada Masyarakat
Bullying dan Kesehatan Publik. Wolke dan Lereya (2015) berpendapat bahwa bullying harus dianggap sebagai masalah kesehatan publik yang serius, mengingat prevalensinya yang tinggi dan dampaknya yang luas. Mereka menyarankan pendekatan kesehatan publik yang komprehensif untuk mencegah dan mengatasi bullying.
Intervensi Berbasis Mindfulness. Zhou et al. (2019) mengevaluasi efektivitas intervensi berbasis mindfulness dalam mengurangi bullying dan meningkatkan kesejahteraan psikologis siswa. Hasil awal menunjukkan potensi pendekatan ini dalam meningkatkan empati dan mengurangi perilaku agresif.
Peran Media dalam Pencegahan Bullying. Schiappa et al. (2005) mengusulkan “hipotesis kontak parasosial”, yang menunjukkan bahwa paparan positif terhadap kelompok yang terpinggirkan melalui media dapat mengurangi prasangka dan potensi bullying. Ini menunjukkan peran potensial media dalam upaya pencegahan bullying.
Dengan tambahan informasi ini, kita dapat melihat bahwa bahaya bullying merupakan masalah kompleks yang memerlukan pendekatan multidisiplin dalam penelitian dan intervensi. Dari neurobiologi hingga ekonomi, dari psikologi hingga kebijakan publik, pemahaman kita tentang dampak bullying terus berkembang, mengarah pada strategi pencegahan dan intervensi yang lebih efektif.[]
Baca Juga: BAN PT: Kampus Tanpa Rokok Bisa Jadi Indikator Akreditasi Perguruan Tinggi
Mi’raj News Agency (MINA)