Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Ghuluw ada dua macam, perkataan dan perbuatan. Ghuluw dalam bentuk perkataan (sanjungan dan pujian) ada tiga macam. Pertama, ghuluw yang bisa membatalkan tauhid lantaran termasuk syirik besar. Misalnya mengatakan bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam mampu menolak mudharat atau bisa mendatangkan manfaat, berdoa kepadanya, meminta bantuan terhadapnya dan sebagainya.
Kedua, ghuluw yang bisa menghilangkan ke-sempurnaan tauhid karena termasuk syirik kecil. Seperti bersumpah dengan menyebut nama-nama orang shalih tersebut atau mengatakan, “Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan.”
Ketiga, ghuluw yang diharamkan. Contohnya memberikan sifat-sifat baik yang orang tersebut tidak memilikinya. Misalnya mengatakan, ia seorang pemberani padahal pengecut dan sebagainya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Sementara, ghuluw dalam perbuatan juga ada tiga macam; pertama, ghuluw yang bisa membatalkan tauhid karena termasuk syirik besar. Seperti ruku’, sujud dan bertawakkal kepada orang shalih atau lainnya.
Kedua, ghuluw yang bisa menghilangkan kesempurnaan tauhid lantaran termasuk syirik kecil. Seperti shalat karena Allah di sisi kubur orang shalih dsb. Ketiga, ghuluw yang diharamkan, namun tidak sampai pada perbuatan syirik besar maupun kecil. Misalnya membangun ku-buran orang shalih atau lainnya, menemboknya, menghiasinya dan sebagainya.
Berlebihan terhadap figur tertentu dengan hanya mendasarkan pada hal-hal yang sifatnya duniawi adalah sikap keliru. Ironisnya, realitas ini banyak terjadi di tengah masyarakat Muslim.
Yang lebih mengenaskan, banyak umat Islam yang ikut terhadap kemauan figur yang dikaguminya, meski harus mengorbankan agama, melanggar ajaran Allah dan menuhankan selain-Nya.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Kita banyak menyaksikan sikap ghuluw (berlebih-lebihan) yang dilakukan orang terhadap figur yang dihormati dan dipujinya tidak sebatas dalam ucapan dan visi. Tetapi secara total ia hibahkan hidupnya untuk membela figur yang dicintainya itu.
Bagaimana agar figurnya menjadi pemimpin (meskipun tidak pantas memimpin). Bagaimana agar figurnya mendapat loyalitas dari masyarakat (meski masyarakat muak dengannya), serta usaha-usaha lain dengan segala macam cara; uang, kekuasaan, kekerasan, teror, intimidasi dan sebagainya untuk menggolkan keinginannya.
Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Jauhilah sikap berlebihan, karena sesungguhnya sikap berlebihan itulah yang telah menghancurkan umat-umat sebelum kamu.” (HR. Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah).
Maka sikap yang benar dalam memperlakukan orang-orang shalih adalah dengan mencintai, menghormati dan meneladani mereka dalam hal kebaikan-kebaikan yang mereka miliki.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Juga dengan membantah orang yang menjelek-jelekkan mereka, tetapi dengan tetap meyakini bahwa mereka tidaklah maksum (terpelihara dari dosa dan kesalahan).
Jika menghormati orang-orang shalih secara berlebihan seperti yang dilakukan kaum Nuh AS berimplikasi pada pemberhalaan orang-orang shalih tersebut (Qs. At-Taubah: 31), maka bagaimana dengan penghormatan berlebihan kepada obyek yang salah dan dengan cara dan sarana yang salah pula?(R02/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah