Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahaya Hedonisme dan Solusinya Menurut Islam

Bahron Ansori - Senin, 27 Mei 2024 - 13:51 WIB

Senin, 27 Mei 2024 - 13:51 WIB

6 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan Kantor Berita MINA

Hedonisme, yang sering kali digambarkan sebagai upaya mengejar kesenangan, mungkin tampak menarik di permukaan. Namun, jika digali lebih dalam, kita akan menemukan bahaya tersembunyi yang mengintai di balik gaya hidup ini.

Pada intinya, hedonisme adalah keyakinan bahwa kesenangan adalah tujuan akhir hidup. Orang yang menganut keyakinan hedonistik memprioritaskan kepuasan langsung dan pemanjaan diri daripada kesejahteraan dan kepuasan jangka panjang.

Hedonisme menjanjikan kebahagiaan melalui pencarian kesenangan terus-menerus, namun kenyataannya, hal itu dapat mengarah pada siklus kekosongan dan ketidakpuasan. Mengejar kesenangan sekilas mungkin memberikan kelegaan sementara, namun sering kali membuat individu merasa tidak puas dan menginginkan lebih. (Baca juga: hedonisme/">https://minanews.net/fenomena-hedonisme/)

Baca Juga: Palestina Pasca “Deklarasi Beijing”

Dampak hedonisme

Pertama, terhadap kesehatan mental. Terlibat dalam perilaku hedonistik dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Terus-menerus mencari kesenangan tanpa memerhatikan konsekuensinya dapat meningkatkan stres, kecemasan, dan perasaan bersalah atau malu. Seiring waktu, hal ini dapat berdampak buruk pada kesejahteraan dan stabilitas emosional secara keseluruhan.

Kedua, hubungan sosial. Hedonisme juga dapat membebani hubungan sosial. Memprioritaskan kepuasan pribadi di atas segalanya dapat menyebabkan pengabaian kebutuhan dan perasaan orang lain, yang pada akhirnya merusak persahabatan dan hubungan intim.

Untuk melepaskan diri dari daya pikat hedonisme, diperlukan perubahan pola pikir. Dengan berfokus pada pengalaman yang bermakna, pertumbuhan pribadi, dan tujuan jangka panjang, individu dapat menemukan kepuasan sejati dan kebahagiaan abadi di luar pencapaian hedonistik yang bersifat sementara.

Baca Juga: Nobar Film Hayya, Solidaritas dari Ponpes Al-Fatah Lampung untuk Palestina

Meskipun hedonisme mungkin memberikan kepuasan langsung, konsekuensi jangka panjangnya dapat merugikan kesehatan mental, hubungan, dan kesejahteraan secara keseluruhan. Dengan menyadari bahaya hedonisme dan menerapkan pendekatan hidup yang lebih seimbang, individu dapat memupuk kebahagiaan dan kepuasan sejati yang bertahan seumur hidup.

Mengobati penyakit hedonisme

Bila hedonisme itu ibarat sebuah penyakit yang mewabah di tengah-tengah masyarakat, lantas bagaimana seorang Muslim bisa menjadi imun terhadap penyakit tersebut dan masyarakat menjadi terobati dari wabah tersebut?

Di antara langkah-langkah yang perlu dilakukan agar imun dari wabah penyakit hedonisme dan bisa menghambat penyebarannya di tengah masyrakat adalah sebagai berikut:

Baca Juga: Selamat atas Rekonsilisasi Antar Faksi Palestina

Pertama, menjalankan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk banyak ingat mati. Ini obat paling mujarab terhadap penyakit hedonisme. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam hadits riwayat Ath Thabrani dan Al Hakim, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ : الْمَوْتَ , فَإِنَّهُ لَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ فِيْ ضِيْقٍ مِنَ الْعَيْشِ إِلاَّ وَسَّعَهُ عَلَيْهِ , وَلاَ ذَكَرَهُ فِيْ سَعَةٍ إِلاَّ ضَيَّقَهَا عَلَيْهِ

Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan, yaitu kematian. Karena tidaklah seseorang mengingatnya di waktu sempit kehidupannya, kecuali hal itu akan melonggarkan kesempitan tersebut pada dirinya. Dan tidaklah seseorang mengingatnya di waktu lapang (kehidupannya), kecuali hal itu akan menyempitkan keluasan hidup pada dirinya.” [Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 1.222; Shahih At Targhib, no. 3.333.

Kedua, banyak merenung tentang hakikat dunia yang fana, hina dan kesenangannya bersifat semu dan terbatas agar tidak tertipu dengannya.  Allah Ta’ala berfirman,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Qs. Al-Hadid: 20]

Baca Juga: Pengaruh Amal Saleh 

Ketiga, banyak mengkaji ayat dan hadis yang mencela orang-orang yang melampaui batas, mencintai dunia dan mengikuti hawa nafsu dan memuji orang-orang yang cinta kepada Allah dan akhirat. Sebagaimana dalam firman Allah berikut.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ ﴿١٥﴾ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Siapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan perkerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali Neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Qs. Hud:15-16]

Kelima, memegang teguh pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam agar hidup zuhud di dunia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».

Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah saya suatu amalan yang bila saya kerjakan, maka Allah akan mencintai saya dan manusia juga mencintai saya.”

Baca Juga: Deklarasi Beijing Untuk Rekonsiliasi Nasional Palestina

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, Allah akan mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki orang lain, mereka akan mencintaimu.” [HR. Ibnu Majah dan selainnya. An-Nawawi mengatakan bahwa hadits ini dikeluarkan dengan sanad yang hasan]

Kelima, memegang teguh pesan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam agar melihat kepada orang yang lebih rendah kondisi keduniaannya. Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَمَرَنِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسَبْعٍ أَمَرَنِي بِحُبِّ الْمَسَاكِينِ وَالدُّنُوِّ مِنْهُمْ وَأَمَرَنِي أَنْ أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ دُونِي وَلَا أَنْظُرَ إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقِي

Kekasihku yakni Nabi  Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintah tujuh perkara padaku. Beliau menyuruhku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka. Dan beliau menyuruhku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), dan tidak melihat orang yang berada di atasku. …” [HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih]

Keenam, menjauhi komunitas yang bergaya hidup hedonis dan tidak berteman akrab dengan mereka. Hal ini karena kualitas beragama seseorang itu sangat dipengaruhi oleh teman dekatnya atau komunitas terdekat dalam hidupnya. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

Baca Juga: Memahami Konsep Hijrah Zaman Now

الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

Seseorang itu tergantung pada agama teman dekatnya. Maka, kalian hendaknya memperhatikan dengan siapa kalian berteman dekat.” [Hadits riwayat Abu Dâwud no. 4833 dan at-Tirmidzi no. 2378. (ash-Shahîhah no. 927)]

Ketujuh, bergaul dengan orang-orang miskin yang shalih dan berakhlak mulia agar lebih bisa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan kepada dirinya. Hal ini sebagaimana tadi disebutkan dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu.

Kedelapan, bagi para dai, khatib dan para ulama agar senantiasa mengingatkan masyarakat muslim dari bahaya gaya hidup hedonis di dunia dan akhirat melalui berbagai sarana yang memungkinkan dan efektif pengaruhnya. Sampaikan walaupun satu ayat dan meski sakit sekalipun.

Kesembilan, bagi para pemegang amanah kepemimpinan agar sebisa mungkin menegakkan amar makruf nahyi mungkar dengan kekuasaan yang mereka miliki agar hedonisme tidak semakin membudaya. Jika sebuah masyarakat sudah terjerat gaya hidup hedonis, tentu saja para pemimpin juga yang akan kewalahan mengatasi penyak tersebut.

Baca Juga: Perlindungan Anak dalam Perspektif Agama Islam

Hedonisme tidak akan muncul ketika pemahaman seseorang terhadap syariat agamanya baik dan benar. Semoga Allah Ta’ala melindungi setiap muslim dari buruknya kehidupan hedonis.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Islam Mengatur Peperangan, Membangun Perdamaian

Rekomendasi untuk Anda

Ilustrasi (Foto: Freepik @freepik)
Kolom
Khadijah
Khadijah
Kolom
Sosok