Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bahaya Menggunjing Aib Sesama Muslim

Ali Farkhan Tsani - Kamis, 10 Maret 2022 - 16:30 WIB

Kamis, 10 Maret 2022 - 16:30 WIB

62 Views

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

Artinya : “Tahukah kalian (wahai para sahabat) apakah yang disebut ghibah (menggunjing) itu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “(Ghibah) yaitu engkau menyebut saudaramu (sesama Muslim) sesuatu yang dibencinya.” (Kemudian) sahabat bertanya, “(Ya Rasul) bagaimana halnya jika apa yang aku katakan itu (memang) terdapat pada saudaraku?” Beliau (pun) menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu (memang) terdapat pada saudaramu, maka (itulah berarti) engkau (memang) telah menggunjingnya (melakukan ghibah). (Namun sebaliknya) jika apa (yang kalian katakan) itu tidak terdapat padanya, maka engkau telah berdusta (membuat fitnah) terhadapnya.” (HR Muslim).

Hadits tersebut berbicara soal ghibah (menggunjing). Kata “ghibah” (غيبة) secara bahasa berasal dari akar kata “ghaba, yaghibu” (غاب يغيب) yang artinya tersembunyi, terbenam, tidak hadir, tidak tampak. Kata “ghaib” artinya tidak hadir atau tidak tampak.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Ghibah secara istilah, dikatakan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, adalah menyebutkan sesuatu atau menggunjing kekurangan yang terdapat pada diri seorang Muslim, sedangkan orang Muslim itu tidak suka bila hal itu disebutkan.

Imam Al-Ghazali menjelaskan, ghibah tidak hanya menggunjing aib seseorang yang dilakukan secara lisan. Tetapi juga termasuk pengungkapan dengan melalui perbuatan, misalnya dengan isyarat tangan, isyarat mata, tulisan, gerakan dan seluruh yang dapat dipahami maksudnya.

Menurut Imam Al-Ghazali, aib seseorang yang diungkapkan itu meliputi berbagai hal, seperti kekurangan pada badannya, pada keturunannya, pada akhlaknya, pada pebuatannya, pada ucapannya, pada agamanya, termasuk pada pakaian, tempat tinggal dan kendaraannya.

Demikian banyak hal yang dapat menjadi obyek pengungkapan tentang kekurangan diri (aib) seorang Muslim. Sehingga seorang Muslim, sadar atau tidak sadar memungkinkan dirinya sangat mudah terjerumus dalam ghibah ini, bila tidak berhati-hati dan tidak pula mewaspadainya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Tentang dosa menggunjing, Allah menyebutkan di dalam firman-Nya :

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مّنَ الظَّنّ، اِنَّ بَعْضَ الظَّنّ اِثْمٌ وَّ لاَ تَجَسَّسُوْا وَ لاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ، وَ اتَّقُوا اللهَ، اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jauhkanlah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging (bangkai) saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat/49 : 12).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, bahwa ayat tersebut merupakan gambaran betapa ghibah bagaikan mencabik-cabik orang dari belakang tanpa sempat orang tersebut membelanya. Karena tak dapat membela itulah maka diibaratkan orang mati, yang hanya bisa diam saja sekalipun dirobek-robek.

Masih menurut Ibnul Qayyim, menikmati ghibah sama seperti makan sekerat daging, memang enak rasanya hingga susah menghentikannya. Namun, mereka tidak mengetahui bahwa daging itu sudah basi alias telah menjadi bangkai.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Ya, seperti makan daging bangkai. Sebab orang yang digunjing tidak mampu menjawabnya, karena tidak ada di tempat gunjingan. Dia benar-benar seperti daging mati, tidak mampu membalasnya, memberikan penjelasan, alasan, dan argumen, yang memungkinkan adanya penjelasan seimbang dengan gunjingannya itu.

Bahaya Menggunjing

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan orang-orang beriman tentang bahaya menggunjing.

Ini seperti disebutkan di dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah, isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Aisyah. Ketika ia berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Cukuplah bagimu Shafiyah (isteri lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam) yang begini dan begitu. (Maksudnya menggunjing Shafiyah adalah pendek). Lantas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkannya:

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

Artinya : “Engkau telah mengucapkan suatu hal, seandainya ucapan itu dicelupkan ke dalam laut niscaya akan mengotorinya”. (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali menjelaskan hadits tersebut, bahwa air laut pun dapat berubah rasa dan aromanya disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras bahaya dari perbuatan tersebut.

Di dalam Kitab Sunan At-Tirmidzi terdapat suatu riwayat yang menyebutkan hadits dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam naik mimbar dan menyeru dengan suara yang lantang :

يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ

Artinya : “Wahai segenap manusia yang masih beriman dengan lisannya. Namun iman itu belum meresap ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin, dan janganlah kalian melecehkan mereka, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan-kesalahan mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa yang sengaja mencari-cari kejelekan saudaranya sesama Muslim maka Allah akan mengorek-ngorek kesalahan-kesalahannya. Dan barang siapa yang dikorek-korek kesalahannya oleh Allah, maka pasti dihinakan, meskipun dia berada di dalam rumahnya.”

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Begitu besar dosa menggunjing, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diperlihatkan balasannya kelak di akhirat.

لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ يَاجِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ

Artinya : “Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.” (HR Abu Dawud dari Anas bin Malik).

Membicarakan Orang Lain yang Dibolehkan

Imam Nawawi di dalam Kitab Syarah Nawawi fi Shahih Muslim menjelaskan bahwa membicarakan orang lain yang dibolehkan adalah karena adanya tujuan yang dibenarkan syariat, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah

Pertama, saat mengadukan kezaliman orang kepada pimpinan (ulil amri), hakim dalam persidangan, atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan diberi kewenangan untuk menanganinya.

Kedua, untuk meminta bantuan orang lain atau mengadukan (seperti ulama, kyai, ustadz,) demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Tujuan di balik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran. Tetapi kalau dia tidak bermaksud demikian, maka hukumnya tetap haram membicarakannya.

Ketiga, untuk meminta fatwa kepada orang ‘alim atau orang shalih atas kelakuan seseorang terhadap dirinya. Penyampaiannya pun, untuk kehati-hatian mengindarkan aib itu menyebar, dengan kalimat santun, seperti, “Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”.

Keempat, untuk memperingatkan kaum Muslimin dari kejahatan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh

Kelima, menyebutkan kejahatan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa, seperti orang yang merampas harta secara paksa, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.

Keenam, untuk memperkenalkan jati diri seseorang, contohnya : “Mohon maaf orangnya yang pincang itu”. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama.

Terapi Ghibah

Begitulah, indahnya ukhuwah Islamiyyah, persaudaraan antar kaum Muslimin, janganlah sampai tercabik-cabik gara-gara dosa lidah ini. Di akhirat pun, akan sangat disayangkan, menambah dosa, sementara pahala kita belum tentu seberapa yang Allah terima.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Ukhuwah islamiyah bisa rusak disebabkan oleh perbuatan lidah dalam bentuk gunjingan. Menggunjing hanya akan menyebabkan ketegangan hubungan, baik dari yang menggunjing maupun pada yang digunjing. Kalau tidak segera ditutup, bisa merembet kepada hal yang lebih besar lagi, yakni permusuhan terselubung atau bahkan permusuhan terang-terangan. Na’udzubillahi min dzalik.

Untuk itu, agar terhindar dari azab kubur karena ghibah, ada beberapa terapi mengatasinya. Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengarahkan agar orang beriman gemar berbicara yang baik atau lebih baik diam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ

Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam”. (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan

Kedua, melakukan klarifikasi (tabayyun) bila ditemukan pembicaraan gunjingan yang dapat merembet ke fitnah memecah belah umat.

Allah Ta’ala memperingatkan kita di dalam Al-Quran :

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةٍ۬ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِينَ

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” ((Al-Quran Surat Al-Hujurat [49] ayat 6).

Ketiga, memberi nasihat bila ditemukan kesalahan orang lain, bukan malah membicarakan di belakang, atau membicarakannya beramai-ramai dengan orang banyak agar kesalahan dan aibnya itu semakin meluas dan menyebar.

Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ.

Artinya : “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Untuk Allah, dan untuk Kitab-Nya, dan untuk Rasul-Nya, dan untuk Imaamul Muslimin atau mukminin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR Muslim dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri Radhiyallahu ‘Anhu).

Begitu inginnya agar saudaranya sesama muslim itu menjadi baik, sampai-sampai kalau ada cela atau kekurangannya, maka nasihatilah ia ketika ia sendirian, tidak di depan orang lain apalagi orang banyak.

Seperti nasihat Imam Abu Muhammad bin Ahmad bin Sa’id Ibnu Hazm yang mengatakan, “Maka wajib bagi seseorang untuk selalu memberikan nasihat kepada saudaranya, baik yang diberi nasihat itu suka maupun benci, tersinggung maupun tidak tersinggung. Akan tetapi, apabila engkau hendak memberikan nasihat, maka sampaikanlah secara rahasia, langsung kepada yang bersangkutan, janganlah di hadapan orang lain. Akan tetapi juga, janganlah memberikan nasihat dengan syarat harus diterima. Sebab, pelaksanaannya kembali kepada orang yang bersangkutan, dan tanggung jawabnya kepada Allah. Tanggung jawab kita memberikan nasihat sudah tunai. Sebab, jika engkau memaksanya, berarti engkau adalah orang yang dzalim, bukan pemberi nasihat, dan engkau adalah orang yang gila untuk ditaati, gila kekuasaan, bukan pelaksana hak ukhuwah Islamiyah. Hal ini bukan untuk mempererat persahabatan, melainkan hanya menegakkan hukum rimba seperti seorang penguasa dengan rakyatnya, dan tuan dengan hamba sahayanya.”

Keempat, memperbanyak istighfar dan dzikrullah. Istighfar dan dzikrullah itu ibarat obat penyakit, sementara ghibah adalah pantangannya.

Kelima, memintakan maaf dan ridhanya terhadap orang yang pernah digunjingnya, dengan bersamalan, saling mengucapkan salam, hilangkan dendam, tumbuhkan ruhamaa, kasih sayang. Sehingga tumbuh persaudaraan dan kekuataan bersama. Itulah hakikat berjama’ah, saling melengkapi. Sebab semua kita punya kelemahan dan kekurangan.

Mengenai terapi ghibah ini, seorang ulama Imam An-Nawawi di dalam Kitab Al-Adzkar mengatakan, “Ketahuilah, hal yang seharusnya dilakukan seseorang yang mendengar seorang Muslim dipergunjingkan, maka hendaklah dia mencegah dan menghentikan pembicaraan itu. Andaikan orang yang menggunjing itu tidak mau berhenti setelah diingatkan dengan kata-kata, maka hendaklah diingatkan dengan tangan. Seandainya orang yang mendengar ghibah tadi tidak mampu mengingatkan dengan tangan maupun dengan lisan, maka hendaklah dia meninggalkan tempat itu”.

Begitulah Allah memerintahkan Muslimin untuk berjama’ah saling bersaudara karena Allah, jauhi persengketaan. Seperti firman-Nya :

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعً۬ا وَلَا تَفَرَّقُواْ‌ۚ وَٱذۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ إِذۡ كُنتُمۡ أَعۡدَآءً۬ فَأَلَّفَ بَيۡنَ قُلُوبِكُمۡ فَأَصۡبَحۡتُم بِنِعۡمَتِهِۦۤ إِخۡوَٲنً۬ا وَكُنتُمۡ عَلَىٰ شَفَا حُفۡرَةٍ۬ مِّنَ ٱلنَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنۡہَا‌ۗ كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَـٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَہۡتَدُونَ

Artinya : “Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian ketika kalian dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian, agar kalian mendapat petunjuk”. (Al-Quran Surat Ali Imran ayat 103).

Di dalam sebuah  hadits shahih dijelaskan :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Artinya : Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bersabda Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Janganlah saling menghasud, janganlah saling mengecuh, janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi, janganlah sebagian kamu menjual atas jualan sebagian yang lain, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Muslim yang satu adalah saudara muslim yang lain, ia tidak boleh menzaliminya juga tidak boleh merendahkannya dan juga tidak boleh menghinanya. Taqwa itu di sini -beliau sambil berisyarat pada dadanya 3 kali-, cukuplah seseorang (dikatakan) berbuat jahat jika ia merendahkan saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain haram (terpelihara) darahnya, hartanya dan kehormatannya. (HR Muslim).

Pertikaian, perselisihan, pertengkaran, saling menjauh akibat gunjingan, hanyalah menyebabkan ketidakbaikan, jarak dalam hati, dan melemahkan perjuangan.

Allah mengingatkan hamba-hamba-Nya yang tha’at kepada-Nya di dalam firman-Nya :

وَأَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَلَا تَنَـٰزَعُواْ فَتَفۡشَلُواْ وَتَذۡهَبَ رِيحُكُمۡ‌ۖ وَٱصۡبِرُوٓاْ‌ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ

Artinya : “Dan tha’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian berbantah-bantahan, yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al-Anfal/8: 46).

Di dalam kehidupan berjama’ah antar kaum Muslimin, kita sangat mendambakan tumbuhnya rahmat, kasih sayang, dan persaudaraan. Sehingga kita merasa di dalam rumah kaum Muslimin. Seperti yang dikehendaki di dalam hadits :

اَلْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَ اْلفُرْقَةُ عَذَابٌ

Artinya : “Berjama’ah itu kasih sayang dan berpecah-belah itu siksa.” (HR Ahmad dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhu).

Harapan

Kepada Allah kita bartaubat memohon petunjuk-Nya, seperti dalam doa:

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِيْنَ آمَنُوْا، رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Artinya : “Wahai Tuhan kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman, dan jangalah Kau tanamkan di dalam hati kami kedengkian terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau Mahakasih dan Maha Penyayang.” (QS Al-Hasyr/59: 10).

Semoga kita dapat tetap menjaga keutuhan ukhuwah Islamiyah, dengan cara memperhatikan dan mewaspadai bahaya ghibah (menggunjing) yang dapat merenggangkan persaudaraan yang dibina karena Allah. Aamiin. (A/RS2/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Khadijah
Kolom