Bahaya Sekterianisme, oleh Imam Shamsi Ali

adalah Presiden Nusantara Foundation, tinggal di Amerika Serikat

Dalam sebuah ceramahnya yang sangat menggugah, Sheikh Hamzah Yusuf, salah seorang prominent Imam (Imam Besar) di Amerika Serika mengutip sebuah pernyataan Ali bin Abi Thalib sebagai berikut: “Being with the group with its impurities is better than sectarianism with purifies

Pernyataan ini kira-kira dapat diterjemahkan bahwa “Bersama kelompok yang menyeluruh (besar) dengan segala kekurangannya itu lebih baik dari pada menggabungkan diri dengan kelompok kecil yang (terkadang) merasa lebih suci”.

Pernyataan Ali Karroma Allahu wajhahu (Semoga Allah memuliakannya) ini menjadi sangat krusial dan penting ketika tendensi perpecahan Umat semakin besar. Perpecahan (tafriiq) dan bukan ikhtilaf (perbedaan) tanpa diragukan lagi menjadi penyakit terbesar Umat masa kini.

Perpecahan Umat yang nampak di hadapan mata kita itu menjadi sangat terasa ketika Umat ini bagaikan sepotong daging empuk yang diperebutkan oleh anjing-anjing yang kelaparan. Dan mungkin saja anjing-anjing itu telah berubah menjadi srigala yang berbulu domba atau juga menjelma bagaikan buaya-buaya liar yang terbiasa mengeluarkan airmata (buaya).

Di mana-mana Umat ini menjadi sasaran empuk. Menjadi objek yang menarik untuk diperebutkan. Tidak tanggung-tanggung para buaya dan srigala liar itu rela bekerjasama demi memangsa sepotong daging yang empuk dan lezat itu.

Di sisi lain perpecahan itu menjadikan Umat ini bagaikan onggokan gabus di tengah lautan luas. Terombang-ambing oleh pergerakan ombak seiring arah perjalanan angin. Tidak punya nilai (harga atau kehormatan) dan tidak punya posisi yang jelas.

Realita ini sesungguhnya digambarkan dalam Al-Quran: “Dan taatilah Allah dan rasulNya. Dan janganlah kamu berselisih (berpecah) yang menyebabkan kamu gagal dan kekuatanmu hilang” (Al-Anfal: 46).

Kata “tanaazu’” itu sendiri berasal dari kata “naza’a-yanza’u” yang artinya mencabut atau menarik sesuatu. Artinya kata tanaazu’ di sini bukan sekedar berselisih paham dalam arti berbeda pandangan. Tapi sebuah sikap yang memecah belah akibat perbedaan yang ada.

Dan karenanya Islam tegas bahwa di satu sisi menghormati perbedaan/keragaman, termasuk perbedaan opini dalam banyak hal adalah hal biasa. Tapi tegas melarang tendensi memecah atau berpecah dari kelompok besar keumatan.

Tentu kata “keumatan” ini dapat dipahami pada tingkatan yang berbeda. Ada keumatan pada tingkat global, tingkat nasional, dan juga pada tataran lokal (Komunitas).

Secara global Umat ini dengan segala ragam perbedaan yang ada di dalamnya, termasuk perbedaan nasional kenegaraan (nation state), hendaknya tetap menjaga persatuan keumatan secara global. Semua anggota Umat terikat oleh satu ikatan ukhuwah imaniyah (innamal mu’minuuna ikhwah).

Secara nasional juga demikian. Bangsa Indonesia dengan “Persatuan Indonesia” pada Pancasila sebagai falsafah negara hendaknya menjadi landasan bagi semua tetap berada dalam berisan kesatuan NKRI.

Demikian halnya pada tataran lokal (Komunitas). Komunitas Muslim di mana saja harus memperhatikan kebersamaan besar (umum) ketimbang kecendeungan-kecenderungan kelompok yang menjadi benih-benih perpecahan di antara anggota Komunitas di lokalitas masing-masing.

Dan kalau kita merujuk kembali ke surah Al-Anfal: 46 tadi, ketaatan seharusnya menjaga Umat ini dari perpecahan. Dengan sama-sama membangun ketaatan Umat itu akan tetap bersatu. Walau mungkin saja ada perbedaan-perbedaan penafsiran.

Tapi sangat disayangkan justeru seringkali “atas nama ketaatan” terjadi sikap dan prilaku yang cenderung memecah belah dengan pengelompokan-pengelompokan (tafriiq yang melahirkan firqah).

Biasanya sebagian besar anggota Komunitas yang ikut dalam pengelompokan (firqah) itu “innocent” (korban ketidak tahuan) saja. Mereka tidak tahu jika di balik pengelompokan itu ada pribadi-pribadi egoistik yang berkarakter sektarianis (sectarian).

Penggerak atau motor dari pengelompokan itu seringkali dilakukan oleh pribadi-pribadi yang punya dorongan egoistik. Kelompok-kelompok yang ada biasanya jadi sarang persembunyian dari kekecewaan-kekecewaan karena hal-hal tertentu.

Kalau di masa Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam ketika itu biasanya didorong oleh kemunafikan. Bahkan mereka mendirikan masjid untuk memecah belah Umat. Masjid mereka ini dikenal dengan “masjid Dhiror” atau “masjid yang membawa marabahaya”.

Karenanya masjid yang didirikan karena dorongan kekecewaan dan balas dendam pada waktu itu adalah masjid dhiror yang terbangun oleh jiwa-jiwa kemunafikan.

Semoga kecenderungan seperti ini dijauhkan dari kita semua. Amin! (AK/RE1/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sajadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.