Oleh: Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency),
Ribuan warga di Jalur Gaza kembali melakukan aksi Jumat (1/11/2019) untuk pengembalian warga dan pembukaan blokade.
Salah satu tuntutannya seperti disampaikan Maher Mezher adalah meminta Inggris untuk mengakui kesalahannya terhadap jutaan pengungsi sebagai akibat dari janji menteri luar negerinya Balfour dan permintaan maaf secara resmi kepada rakyat Palestina atas keputusan tersebut.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Deklarasi Balfour telah menghancurkan masa depan seluruh rakyat Palestina,” ujarnya.
Dia menekankan bahwa “hak untuk kembali akan tetap menjadi salah satu hak yang melekat pada rakyat Palestina sampai kapanpun.”
Ya, Balfour, lengkapnya Arthur James Balfour, adalah Menteri Luar Negeri Britania Raya (Inggris), saat menulis secarik kertas tertanggal 2 November 1917, 102 tahun lalu.
Surat kontroversial itulah yang kemudian dijadikan dalih bagi Yahudi-Diaspora untuk berbondong-bondong menyerbu, menjajah dan mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya sendiri.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Surat itu memang sudah diatur sebelumnya oleh Chaim Azriel Weizmann, presiden pertama Organisasi Zionis Dunia. Agar surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild (Walter Rothschild dan Baron Rothschild) pemimpin komunitas Yahudi-Inggris, untuk dikirimkan kepada Federasi Zionis Internasional.
Surat itu menyatakan dukungan rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917, bahwa pemerintah Inggris mendukung rencana-rencana Zionis untuk membuat ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana.
Isi surat yang berupa surat ketikan yang ditandatangani dengan tinta oleh Balfour, sebagai berikut dari sumber Wikipedia.
Departemen Luar Negeri 2 November 1917
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Lord Rothschild yang terhormat,
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet.
Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina, tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.”
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.Salam,
Arthur James Balfour.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Inggris di bawah pimpinan Jenderal Allenby kemudian masuk ke tanah Palestina, setelah memulai serangkaian serangan. Ribuan sukarelawan Yahudi bergabung dalam pasukan Allenby itu. Pasukan Allenby pun kemudian berhasil menduduki Palestina pada Desember 1917.
Dua tahun kemudian, pada tahun 1919, Kota Al-Quds (Yerusalem) yang di dalamnya terdapat Masjid Al-Aqsha dan seluruh wilayah Palestina diduduki Inggris.
Setelah Deklarasi Balfour dan masuknya pasukan Allenby bersama sukarelawan Yahudi ke Al-Quds, gerakan Zionisme mulai mendorong migrasi kaum Yahudi dari berbagai negara untuk pindah ke Palestina. Maka, dimulailah perpindahan secara besar-besaran bangsa Yahudi ke Palestina di bawah naungan Inggris dari tahun 1918-1947.
Ironisnya, Liga Bangsa-Bangsa (selanjutnya PBB), justru ikut menyetujui Mandat Britania atas Palestina itu sebagai “negara orang Yahudi”.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Pada tahun 1947, PBB pun menyetujui pembagian Palestina menjadi dua negara, yaitu satu negara Yahudi dan satu negara Arab (Palestina).
Hingga akhirnya pada 14 Mei 1948, merasa mendapatkan angin, Zionis Israel memproklamasikan kemerdekaan Israel secara sepihak, dan ini segera diikuti oleh peperangan dengan negara-negara Arab di sekitarnya yang menolak rencana pembagian tersebut. Namun Israel sudah mempersiapkan segala sesuatunya dibantu Barat, yang kemudian memenangkan perang dan mengukuhkan ‘kemerdekaannya’.
Pembebasan Palestina
Seratus dua tahun telah berlalu, penindasan penjajahan itu masih terus berlangsung, dipertontonkan di hadapan Inggris, AS, Prancis dan PBB, juga lembaga-lembaga HAM dunia.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Deklarasi Balfour telah memberi dampak dan terus-menerus dari sebuah kolonialisme abad modern.
Namun terlepas dari semua itu, perjuangan orang-orang Palestina akan tetap teguh. Bara “Global March Return” semakin membara. Sokongan dunia Timur dan Barat, Utara hingga ke selatan, pun semakin tampak.
Wabil khusus dari bumi tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Doa, support dan dukungan itu terus mengalir bak gelombang yang silih berganti tak akan pernah berhenti.
Bukan hanya karena di bumi penuh berkah itu ada saudara-saudara Muslim yang teraniaya, juga manusia lainnya yang tertindas. Lebih khusus lagin karena ada Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama Muslim dan tanah Isra Mi’raj Nabi Muhammad.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Penulis dalam buku terbaru “Membaca Kebangkitan Khilafah dalam Pembebasan Palestina” (Cetakan Pertama Oktober 2019) menekankan bahwa pembebasan Palestina dan Al-Aqsha itu merupakan janji Allah yang pasti terlaksana.
Tinggal bagaimana konsistensi, keistiqamahan, kesungguhan dan daya juang yang terus-menerus dari segala lini dan segala penjuru. Serta yang paling pokok adalah terwujudnya persatuan dan kesatuan umat Islam dalam satu Jama’ah Muslimin beserta Imaamnya.
Insya-Allah. “Al-Aqsha haqquna…..!!!”. (A/RS2/RS1)
Mi’raj News Agency (MNA)
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati