BANGGA JADI IBU RUMAH TANGGA

istri shalehah 1Oleh : Bahron Ansori, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

“Katanya lulusan kuliah unversitas ternama, kok malah milih jadi ibu rumah tangga saja? Sayang ya, sudah sekolah tinggi-tinggi dengan biaya mahal, tapi memutuskan hanya untuk menjadi ibu rumah tangga. Padahal kan bisa berkarir?” demikian ungkapan sebagian besar orang saat melihat seorang yang sekolah tinggi-tinggi, namun memutuskan hanya untuk menjadi ibu rumah tangga saja.

Sering dijumpai seorang ibu rumah tangga ditanya teman lamanya, “Sekarang kerja di mana?”  Mungkin sebagian wanita berat rasanya untuk menjawab pertanyaan itu dan berusaha mengalihkan pembicaraan karena begitu malunya. Atau dia menjawab dengan lirih, “Ah, aku hanya ibu rumah tangga biasa.”  Terlebih lagi jika teman yang bertanya itu adalah wanita yang “sukses” berkarir pada sebuah perusahaan BUMN ternama.

Atau tak sedikit pula orang tua yang menasihati anak wanitanya yang baru saja lulus dari sebuah universitas ternama, dengan predikat cumlaude, ketika memutuskan untuk berkhidmat di rumah menjadi seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Orang tuanya akan menasihati dengan berkata, “Anakku! Kan kamu sudah jadi sarjana, cumlaude lagi! Sayang sekali kalau kamu hanya diam di rumah mengurus suami dan anak.” Padahal, anak wanita tercintanya ingin sekali berkhidmat dengan sesuatu yang mulia, yaitu sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabnya. Di sanalah tempat ia sesungguhnya mencari .

Seorang suami seharusnya merasa bersyukur dan tak perlu malu saat istrinya memutuskan untuk memilih menjadi ibu rumah tangga. Menjadi seorang ibu rumah tangga berarti menjadi seorang ibu dari anak-anaknya, menjadi istri dari suaminya dan selalu ada untuk suami dan anak-anaknya. Atau masih banyak arti lain dari makna menjadi ibu rumah tangga.

Bukankah dengan menjadi ibu rumah tangga, seorang istri bisa selalu mengantar suaminya pergi menuju dunia kerja, ia selalu bisa merapikan rumah tanpa banyak gangguan, ia juga bisa selalu menyambut suaminya dengan senyuman saat pulang dari lelahnya kerja. Seorang istri juga bisa selalu mendengarkan keluh-kesah suami dengan tenang, dan menyemangati suaminya untuk mencari nafkah yang halal?

Bayangkan jika seorang suami memiliki istri yang bekerja di luar atau biasa disebut wanita karir. Sebelum suaminya pergi pagi si istri sudah bangun karena harus bekerja dan takut terlambat mengejar kereta atau bis yang akan membawa ke tempatnya bekerja. Tidakkah suaminya khawatir saat melihat istrinya harus berdesak-desakan di atas kereta atau bis kota? Tidakkah suaminya merasa sedih karena istrinya harus berlelah-lelah bekerja di luar sana?

Seorang suami harus merasa bahagia melihat istrinya ber’karir’ di rumah. Sebab dengan begitu ada yang memasak untuk dia dan anak-anaknya saat ia bangun pagi dan bersiap-siap menuju tempat kerja. Dengan begitu, seorang istri selalu ada untuk suami dan anak-anaknya dalam suasana susah maupun senang. Bukan sebaliknya menghadapi suami dan anak-anaknya dengan emosi atau kening yang selalu berkerut akibat lelahnya bekerja (pergi pagi pulang sore).

istri shalehah 2Kemulian Jadi Ibu Rumah Tangga

Lalu, apakah seorang wanita () tidak boleh bekerja di luar rumah? Tentu saja dibolehkan selama beberapa syarat berikut dipenuhi antara lain;

Pertama, harus mendapatkan izin dari walinya. Wali adalah kerabat seorang wanita yang mencakup sisi nasab (garis keturunan, seperti dalam Qs. An Nuur: 31), sisi sababiyah (tali pernikahan, yaitu suami), sisi ulul arham (kerabat jauh, yaitu saudara laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu serta keturunan laki-laki dari keduanya), dan sisi pemimpin (yaitu hakim dalam pernikahan atau yang mempunyai wewenang seperti hakim). Jika wanita tersebut sudah menikah, maka harus mendapat izin dari suaminya.

Kedua, tentu saja harus berpakaian sesuai syariat. Syarat  pakaian syar’i yaitu menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan (wajah dan telapak tangan), tebal dan tidak transparan, longgar dan tidak ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak memakai wewangian.

Ketiga, aman dari fitnah. Yang dimaksud aman dari fitnah adalah wanita tersebut sejak menginjakkan kaki keluar rumah sampai kembali lagi ke rumah, terjaga agamanya, kehormatannya, serta kesucian dirinya. Untuk menjaga hal-hal tersebut, Islam memerintahkan wanita yang keluar rumah untuk menghindari khalwat (berduaan dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita), menjaga sikap dan tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan, serta berjalan dengan wajar, tidak berlenggak-lenggok).

Keempat, adanya mahram ketika melakukan safar. Terkait dengan hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seorang wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” [HR. Bukhari dalan Shahihnya (no. 1862), Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “Hajjun Nisaa’”; Muslim (no. 1341).

Jadi wanita (muslimah) tetap saja boleh bekerja selama ia memperhatikan syarat-syarat di atas. Beberapa pekerjaan yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat tadi terpenuhi, antara lain; menjadi seorang dokter, perawat, bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam, apoteker, pekerja laboratorium. Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa.

Tetapi untuk menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan dokter spesialis laki-laki tidak ditemui maka hal ini diperbolehkan karena dalam keadaan darurat.

Di antara dalil yang membolehkannya, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata, “Dahulu, kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta memulangkan jasad (kaum muslimin) yang syahid ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’ al-Jarhaa fil Ghazwi”].

Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata, “Dahulu, apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”].

Imam Nawawi menjelaskan hadis di atas, tentang kebolehan wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.

Tetapi bagaimana pun yang lebih baik tentu jika wanita-wanita itu mau dan bisa bersabar memilih untuk tetap tinggal di rumahnya. Sebab banyak sekali kemuliaan menjadi seorang istri yang siap sedia melayani suaminya. Bahkan menurut hadis riwayat Anas bin Malik, makanan yang disediakan oleh istri kepada suaminya lebih baik dari istri itu mengerjakan haji dan umrah. Tidakkah para muslimah ingin agar menilai ibadah atas apa yang dilakukan?

Seorang ibu melahirkan lalu ia meninggal adalah jihad seorang wanita. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mati syahid ada 7 selain yang terbunuh di jalan Allah: Orang yang mati karena thaun, syahid. Orang yang mati tenggelam, syahid. Orang yang mati karena ada luka parah di dalam perutnya, syahid. Orang yang mati sakit perut, syahid. Orang yang mati terbakar, syahid. Orang yang mati karena tertimpa benda keras, syahid. Dan wanita yang mati, sementara ada janin dalam kandungannya.” (HR. Abu Daud 3111 dan dishahihkan al-Albani).

Seorang wanita yang bangun pada malam hari untuk menyusui anaknya, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya dan ia akan diberi pahala seperti pahala orang yang mengerjakan ibadah selama 12 tahun. Sebaliknya seorang wanita yang tidak mau menyusui anaknya karena alasan yang tidak syar’i maka Allah akan mengazabnya di neraka kelak. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tiba-tiba aku melihat para wanita yang payudara-payudara mereka dicabik-cabik ular yang ganas. Maka aku bertanya: ‘Kenapa mereka?’ Malaikat menjawab: ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i)’.” (HR Al-Hakim) – Asy-Syaikh Muqbil rahimahullaah dalam Al-Jami’ush Shahih berkata: “Ini hadits shahih dari Abu Umamah Al-Bahili”.

Seorang wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga mestinya tidak pernah merasa malu. Sebab menjadi ibu rumah tangga jauh lebih mulia daripada profesi yang lain. Sekilas, memang ia hanya tinggal di rumah bersama anak-anaknya saja. Tapi, tahukah engkau bahwa Allah Ta’ala telah berfirman,

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً

Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan -Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al Ahzab: 33).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa makna dari ayat وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ yaitu menetaplah kalian di rumah kalian, sebab hal itu lebih selamat dan lebih memelihara diri kalian. Sedangkan makna ayat وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى yaitu  janganlah banyak keluar dengan bersolek atau memakai parfum sebagaimana kebiasaan orang-orang  jahiliyah sebelum Islam yang tidak memiliki ilmu dan agama. Perintah tersebut bertujuan untuk mencegah munculnya kejahatan dan sebab-sebabnya. (Taisir Al Karimirrahman surat Al Ahzab 33).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah  menjelaskan bahwa makna ayat di atas artinya tetaplah di rumah-rumah kalian dan janganlah keluar tanpa ada kebutuhan. Termasuk kebutuhan syar’i yang membolehkan wanita keluar rumah adalah untuk shalat di masjid dengan syarat-syarat tertentu, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Janganlah kalian melarang istri-istri dan anak-anak kalian dari masjid Allah. Namun, hendaklah mereka keluar dalam keadaan berjilbab.” Dan dalam riwayat lain disebutkan, “Dan rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (TafsirAl Qur’an Al Adzim tafsir surat Al Ahzab ayat 33).

Yang perlu dipahami bahwa perintah dalam ayat di atas tidak hanya terbatas pada istri-istri nabi saja, tetapi juga berlaku untuk seluruh kaum wanita muslimah. Imam Ibnu Katsir rahimahullahu mengatakan, “Semua ini merupakan adab dan tata krama yang Allah Ta’ala perintahkan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Adapun kaum wanita umat ini seluruhnya sama juga dengan mereka dalam hukum masalah ini.” (Tafsir Al Qur’an Al Adzim surat Al Ahzab 33). (R02/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

 

 

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor:

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0