Dhaka, MINA – Pemerintah Bangladesh harus mendorong Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) untuk mengajukan pengadilan guna menuntut kejahatan internasional atas upaya pengusiran paksa Muslim Rohingya, lembaga hak asasi Fortify Rights mengatakan, Rabu (9/5).
“Kami sangat mendukung itu dan langkah proaktif lainnya untuk meminta pertanggungjawaban militer Myanmar atas kejahatan internasional terhadap Rohingya,” kata Matthew Smith, Chief Executive Officer Fortify Rights, dalam sebuah keterangan yang diterima MINA.
“Pemerintah Bangladesh harus melakukan segala daya untuk bekerja sama dan mencari keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap Rohingya.”
Pada 7 Mei, Kamar Pra-Pengadilan ( Pre-Trial Chamber) ICC mengundang pihak berwenang Bangladesh untuk mengajukan observasi tentang apakah pengadilan harus melaksanakan yurisdiksi tentang “keadaan di sekitar atas kehadiran komunitas Rohingya dari Myanmar di wilayah Bangladesh dan kemungkinan Pengadilan untuk menjalankan yurisdiksi teritorial untuk kejahatan pengusiran paksa. Bangladesh memiliki waktu hingga 11 Juni untuk memberikan respon.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Pada 9 April, Kepala Jaksa Penunut ICC Fatou Bensouda mengajukan sebuah permintaan mengenai pertanyaan apakah Pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksi atas dugaan pengusiran paksa orang-orang Rohingya dari Myanmar ke Bangladesh sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang mungkin terjadi. Pada 11 April, Presiden Divisi Pra-Pengadilan memasukkan permintaan Jaksa Penuntut ke Kamar Pra-Pengadilan.
Bangldesh berstatus negara anggota pada ICC namun Myanmar tidak.
Menurut Pasal 19 (3) Perjanjian Roma: “Jaksa dapat meminta putusan dari Pengadilan atas bukti yang dapat diajukan ke pengadilan. Dalam bukti yang dapat diajukan ke pengadilan, hal-hal yang merujuk seperti pada pasal 13, yaitu korban, juga dapat mengajukan observasi ke Pengadilan.”
Kantor Jaksa Penuntut Umum mengutip laporan oleh Fortify Rights, Human Rights Watch, dan informasi publik lainnya bahwa kejahatan pengusiran paksa telah dilakukan terhadap Rohingya. Jaksa Penuntut Bensouda juga mengutip Pelapor Khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di Myanmar, Yanghee Lee yang mengatakan situasi Rohingya mengandung ‘tanda-tanda genosida’.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Selain kejahatan pengusiran paksa, Fortify Rights dan Museum Peringatan Holocaust Amerika Serikat menerbitkan sebuah laporan yang menemukan ‘bukti yang sepadan’ dengan kejahatan genosida terhadap Rohingya di Myanmar.
Laporan itu didasarkan pada penyelidikan selama setahun, termasuk ratusan wawancara dengan saksi mata Rohingya dan korban selamat dari pembantaian yang dipimpin oleh Tentara Myanmar, perkosaan massal, dan serangan pembakaran terhadap Rohingya.
Di Myanmar, pemerintah terus membatasi lebih dari 120.000 pengungsi internal Rohingya ke lebih dari 35 kamp darurat di delapan kota kecil Negara Bagian Rakhine, merampas banyak bantuan kemanusiaan dan bantuan penyelamatan yang memadai.
Orang Rohingya di seluruh penjuru Myanmar juga ditolak untuk mendapatkan akses yang sama untuk kewarganegaraan dan menghadapi pembatasan pada hak mereka untuk kebebasan bergerak dan hak-hak dasar lainnya.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Pemerintah Myanmar mengklaim mereka tidak mendeportasi individu dan memperingatkan ICC untuk tidak melampaui “prinsip kedaulatan nasional dan tidak campur tangan dalam urusan internal negara lain.”
Sebagai informasi, Fortify Rights adalah organisasi hak asasi manusia nirlaba yang berbasis di Asia Tenggara dan terdaftar di Swiss dan Amerika Serikat. (T/R11/P2)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu