Oleh Dr Hayu Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Ketua Komunitas Iklim Sungai Cikeas, Sentul, Bogor
BANJIR besar kembali melanda Kota Bekasi pada awal Maret 2025, menenggelamkan permukiman, jalanan, dan fasilitas publik. Dari 12 kecamatan di Kota Bekasi, 10 kecamatan di antaranya terendam banjir, menunjukkan skala bencana yang lebih besar daripada banjir-banjir sebelumnya.
Kejadian ini bukanlah yang pertama kali terjadi, namun intensitas dan dampaknya semakin parah dari tahun ke tahun. Banjir ini tidak hanya disebabkan oleh faktor alam seperti curah hujan tinggi, tetapi juga oleh ulah manusia yang merusak keseimbangan lingkungan.
Sungai Cileungsi dan Sungai Cikeas adalah dua sungai penting yang mengalir di wilayah Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi, Jawa Barat. Kedua sungai ini merupakan bagian dari sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) yang lebih besar, yaitu DAS Kali Bekasi. Aliran kedua sungai ini akhirnya menyatu dan membentuk Sungai Bekasi, yang kemudian mengalir ke Laut Jawa.
Baca Juga: Ramadhan Kesempatan Emas Meraih Berkah Ilahi yang Tak Boleh Anda Lewatkan!
Sungai Bekasi sendiri memiliki peran penting dalam mengalirkan air dari wilayah hulu (Bogor) ke hilir (Bekasi dan Jakarta). Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banjir yang terjadi di Bekasi seringkali dikaitkan dengan masalah di aliran sungai ini, termasuk penyempitan aliran, sedimentasi, dan alih fungsi lahan di daerah hulu.
Pembangunan permukiman dan infrastruktur di bantaran sungai telah menyebabkan penyempitan aliran Sungai Cileungsi, Cikeas, dan Bekasi. Hal ini mengurangi kapasitas tampung sungai dan meningkatkan risiko banjir. Selain itu, sedimentasi dan penumpukan sampah di aliran sungai telah mengurangi kedalaman sungai dan menghambat aliran air. Hal ini semakin memperparah banjir saat curah hujan tinggi.
Alih fungsi lahan di daerah hulu, seperti di Kawasan Puncak, telah mengurangi daya serap air tanah. Akibatnya, air hujan langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan banjir di wilayah hilir. Berbagai masalah ini telah menyebabkan banjir yang semakin parah di Bekasi, terutama saat curah hujan tinggi.
Kawasan Puncak dan Dampaknya terhadap Banjir Bekasi
Baca Juga: Sejarah Palestina, Dari Masa Kejayaan Hingga Konflik Berkepanjangan
Kawasan Puncak, yang terletak di Kabupaten Bogor, memegang peranan penting dalam siklus hidrologi di wilayah Jabodetabek. Sebagai daerah resapan air, kawasan ini seharusnya berfungsi sebagai penahan air hujan sebelum mengalir ke sungai-sungai di hilir, termasuk Sungai Cikeas dan Kali Bekasi. Namun, alih fungsi lahan menjadi permukiman dan pembangunan infrastruktur tanpa memperhatikan aspek lingkungan telah mengurangi daya serap air. Akibatnya, air hujan langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan banjir di wilayah hilir, termasuk Bekasi.
Kawasan Puncak memiliki peran strategis dalam konservasi metropolitan Jabodetabek, terutama sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS) Hulu Sungai Ciliwung. Sungai ini merupakan aliran utama yang mengalir ke arah Jakarta dan berpotensi menyebabkan banjir yang cukup tinggi jika tidak dikelola dengan baik. Selain itu, Kawasan Puncak berfungsi sebagai daerah resapan air yang mengendalikan ketersediaan air tanah dan permukaan. Kawasan ini juga dikenal dengan objek wisata alamnya yang menjadi daya tarik pariwisata. Namun, perkembangan lingkungan binaan, transportasi, dan pencemaran lingkungan di kawasan ini telah meningkatkan beban daya dukung lingkungan.
Berdasarkan data dari Greenpeace Indonesia, hanya sekitar 2% dari total luas DAS Kali Bekasi yang masih berupa hutan. Padahal, idealnya minimal 30% dari luas DAS harus berupa hutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Alih fungsi lahan ini telah memperparah banjir di Bekasi, terutama saat curah hujan tinggi.
Sungai Cikeas dan Masalah Drainase
Baca Juga: 5 Tips Ampuh Memperkuat Aqidah di Era Modern
Sungai Cikeas, salah satu sungai utama di Bekasi, juga menjadi faktor penyebab banjir. Saluran air yang tersumbat sampah dan sedimentasi akibat kurangnya perawatan telah mengurangi kapasitas tampung sungai. Selain itu, pembangunan permukiman di bantaran sungai semakin mempersempit aliran air. Normalisasi sungai dan penertiban bangunan liar di bantaran sungai dinilai sebagai solusi jangka pendek yang perlu segera dilakukan.
Menurut Prof. Fahmi Amhar, peneliti geoinformatika, banjir di Bekasi bukan hanya disebabkan oleh hujan lokal, tetapi juga oleh sistem DAS yang sudah tidak mampu menampung air. Drainase kota yang tersumbat dan tata ruang yang tidak teratur turut memperparah kondisi ini.
Kabupaten Bekasi: Dampak Sosial dan Ekonomi
Banjir di Bekasi telah menyebabkan kerugian material dan non-material yang besar. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Bekasi menunjukkan bahwa 16.371 kepala keluarga (KK) di 12 kecamatan terdampak banjir. Ribuan warga terpaksa mengungsi, sementara aktivitas ekonomi lumpuh selama beberapa hari. Perumahan seperti Villa Jatirasa dan Pondok Gede Permai menjadi wilayah terparah yang terendam air hingga mencapai ketinggian 2,5 meter.
Baca Juga: Media Digital sebagai Sarana Dakwah Masa Kini
Dampak sosial juga terasa, terutama bagi kelompok rentan seperti lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Bantuan logistik dan fasilitas kesehatan menjadi kebutuhan mendesak bagi para pengungsi. Namun, respons pemerintah dinilai lambat, sehingga banyak warga yang harus bertahan sendiri dalam kondisi sulit.
Solusi Teknis Penanganan Banjir
Untuk meminimalisir dampak banjir di Bekasi, langkah pertama adalah penanganan dini yang mengandalkan teknologi terkini seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), dan sistem pemantauan CCTV. Teknologi IoT dapat memungkinkan integrasi perangkat fisik yang saling berhubungan untuk memonitor parameter kritis di sepanjang sungai, seperti tinggi muka air dan kondisi cuaca.
Data yang terkumpul dapat dianalisis oleh AI untuk mengidentifikasi pola-pola yang dapat mengindikasikan potensi banjir, sehingga prediksi banjir dapat dilakukan secara lebih akurat. Integrasi sistem pemantauan ini dengan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) akan mempercepat respons tanggap darurat dan memastikan penyebaran informasi yang cepat dan akurat kepada masyarakat.
Baca Juga: Keutamaan Dakwah, Pahala yang Mengalir Tanpa Henti
Edukasi masyarakat merupakan bagian penting dari upaya pencegahan banjir. Program sosialisasi mengenai pentingnya pengelolaan sampah dan pemeliharaan lingkungan harus digalakkan. Masyarakat harus diberdayakan untuk menjaga kebersihan sungai dan drainase agar tidak terjadi penyumbatan yang mengakibatkan banjir. Partisipasi aktif dalam kegiatan gotong-royong membersihkan saluran air dapat memperkecil risiko banjir yang disebabkan oleh kerusakan saluran.
Revitalisasi kawasan resapan air harus menjadi prioritas dalam pencegahan banjir. Pemerintah perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap alih fungsi lahan, terutama di daerah hulu sungai seperti Kawasan Puncak, yang merupakan sumber aliran sungai utama. Revitalisasi dan penghijauan lahan kritis akan meningkatkan kemampuan penyerapan air, mengurangi aliran permukaan yang dapat menyebabkan banjir di wilayah hilir.
Ketika banjir terjadi, respons cepat sangat diperlukan. Pemerintah dan BPBD harus siap melakukan evakuasi terhadap warga yang terdampak banjir. Pembentukan tenda darurat serta penyediaan kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, dan layanan kesehatan harus dilakukan segera. Koordinasi antar lembaga terkait, termasuk PLN, sangat penting untuk memastikan keamanan jaringan listrik dan untuk mendukung proses evakuasi. PLN harus memastikan tidak terjadinya korsleting listrik yang dapat membahayakan warga.
Setelah banjir surut, fase rekonstruksi harus dimulai dengan cepat. Audit infrastruktur harus dilakukan untuk memastikan kesesuaian penggunaan lahan dan tata ruang, terutama bagi bangunan yang dibangun di daerah rawan banjir. Teknologi digital seperti e-planning dan crowd-funding dapat digunakan untuk mempercepat proses pemulihan. Selain itu, pemulihan lingkungan dengan menanam pohon dan penghijauan di daerah terdampak banjir sangat penting untuk meningkatkan kapasitas resapan air dan mengurangi risiko banjir di masa depan.
Baca Juga: 5 Tanda Hubungan Suami Istri Sedang Bermasalah dan Cara Mengatasinya
Penting untuk melakukan normalisasi sungai besar seperti Sungai Cikeas dan Kali Bekasi. Proses normalisasi bertujuan untuk memperlancar aliran sungai dan mencegah terjadinya penyumbatan yang bisa memperparah banjir. Selain itu, sistem drainase kota harus ditingkatkan dengan pemeliharaan dan perbaikan berkala untuk memastikan kelancaran aliran air.
Pemanfaatan teknologi canggih seperti IoT, AI, dan CCTV harus terus diperluas untuk mendukung pemantauan kondisi sungai dan memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Dengan integrasi teknologi ini, pemerintah dapat mengoptimalkan sistem peringatan dini dan meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana banjir. Sistem ini juga harus terhubung langsung dengan BPBD untuk mempercepat proses penanggulangan bencana.
Untuk mengatasi banjir di Bekasi, diperlukan pendekatan yang holistik dan berbasis pada pemanfaatan teknologi, pengelolaan lingkungan yang baik, serta perbaikan infrastruktur yang berkelanjutan. Banjir adalah masalah kompleks yang membutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta untuk menciptakan solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Tanpa adanya perubahan dalam tata kelola lingkungan dan pengelolaan infrastruktur, banjir di Bekasi akan terus berulang dan memperburuk kondisi. Upaya-upaya ini harus didukung oleh kebijakan yang jelas, penerapan teknologi yang efektif, serta kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga lingkungan dan infrastruktur yang ada.[]
Baca Juga: Zionisme dan Konflik Palestina, Sebuah Analisis Ilmiah dan Historis
Mi’raj News Agency (MINA)