Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bansos, Vasektomi, dan Etika Islam

Redaksi Editor : Arif R - Jumat, 9 Mei 2025 - 10:19 WIB

Jumat, 9 Mei 2025 - 10:19 WIB

61 Views

Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam STAI Al-Fatah, Cileungsi, Bogor, Deni Rahman, M.I Kom (foto: Pribadi)

Oleh Deni Rahman, Kaprodi Komunikasi dan Penyairan Islam (KPI) STAI Al-Fatah, Cileungsi, Bogor

FENOMENA sosial-politik yang mencuat di Jawa Barat baru baru ini mengundang diskusi luas, menyusul kebijakan Gubernur KDM yang mengaitkan program bantuan sosial (bansos) dengan partisipasi warga dalam program KB bagi pria, yaitu vasektomi. Kebijakan ini memunculkan pertanyaan mendalam, baik dari aspek etika, kesehatan masyarakat, maupun hukum Islam. Hal ini diperlukan pendekatan yang menyeluruh, tidak hanya dari aspek medis atau administratif, tetapi juga dari perspektif kemanusiaan, agama, dan komunikasi kebijakan publik.

Vasektomi merupakan salah satu bentuk kontrasepsi permanen yang dilakukan pada laki-laki dengan memutus saluran sperma. Dalam dunia medis, metode ini dianggap efektif dalam pengendalian kelahiran. Namun, dalam pandangan hukum Islam, vasektomi termasuk dalam kategori yang sensitif.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa vasektomi hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat yang sangat mendesak secara medis dan tidak ada alternatif lain yang dibenarkan.

Baca Juga: Senjakala Negara Zionis Israel

Ketika kebijakan bansos dikaitkan secara langsung dengan partisipasi dalam program vasektomi, muncul pertanyaan serius, apakah negara sedang melakukan pemaksaan terhadap tubuh warganya secara tidak langsung melalui insentif ekonomi?

Dari sudut pandang komunikasi kebijakan publik, pendekatan ini berpotensi menimbulkan resistensi, khususnya dari kelompok masyarakat yang menjadikan agama sebagai rujukan utama dalam pengambilan keputusan moral dan sosial. Kebijakan yang menyentuh aspek tubuh dan reproduksi manusia seharusnya mempertimbangkan hak asasi, prinsip kebebasan memilih, dan hak atas informasi yang jujur dan transparan.

Jika masyarakat merasa dipaksa secara halus untuk mengikuti program tertentu karena tekanan ekonomi, maka esensi kebijakan partisipatif telah tergadaikan. Apakah berbasis pada data kebutuhan lapangan atau lebih pada pendekatan pragmatis demi menekan angka kelahiran secara cepat?

Sebagai masyarakat mayoritas Muslim, Jawa Barat memiliki karakter religius yang kuat. Maka kebijakan publik yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dapat menimbulkan konflik sosial dan penolakan kultural. Islam tidak menolak perencanaan keluarga, tetapi mengedepankan cara-cara yang tidak bersifat permanen, kecuali dalam kondisi darurat dan atas pertimbangan medis yang objektif.

Baca Juga: Jama’ah Tempat Ukhuwah, Bukan Ajang Permusuhan

Jika vasektomi ditempatkan sebagai prasyarat menerima bansos, maka akan ada kerancuan antara bantuan sosial yang bersifat hak warga dan kontrol populasi yang cenderung koersif.

Dari perspektif etika komunikasi, setiap kebijakan harus disampaikan secara jujur, inklusif, dan memperhatikan sensitivitas masyarakat yang menjadi target kebijakan. Dialog antara pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan agama perlu digalakkan untuk menghindari kesalahpahaman dan resistensi yang lebih besar.

Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang disusun berdasarkan musyawarah, transparansi, dan legitimasi moral yang dapat diterima oleh publik luas.

Fakta bahwa fatwa MUI telah dengan jelas menyatakan hukum vasektomi sebagai haram menjadi pertimbangan penting yang tidak bisa diabaikan oleh pemerintah daerah.

Baca Juga: Kisah Dr. Alaa Al-Najjar dan Genosida di Gaza, Dokter yang Tak Bisa Menyelamatkan Anaknya

Jika pemerintah ingin menggalakkan pengendalian kelahiran, maka edukasi, penyuluhan kesehatan reproduksi, dan metode kontrasepsi non-permanen yang sejalan dengan nilai agama bisa menjadi alternatif.

Memberikan bansos adalah kewajiban negara kepada rakyat yang membutuhkan, tanpa syarat yang melanggar prinsip hak tubuh dan kepercayaan agama seseorang. Menghubungkan bansos dengan vasektomi bukan hanya persoalan teknis, tetapi menyangkut martabat manusia dan keutuhan keluarga sebagai unit sosial dan spiritual.

Kebijakan populasi seharusnya bukan sekadar pengendalian kuantitatif kelahiran tetapi berorientasi pada pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan yang tidak memperhatikan nilai dan keyakinan masyarakat akan kehilangan legitimasi sosial, meskipun secara administratif mungkin berjalan.

Fungsi komunikasi dalam kebijakan adalah menjembatani antara kehendak negara dan aspirasi masyarakat, bukan menjadi alat pembenaran atas kebijakan kontroversial. Dalam konteks transformasi sosial, negara harus menjadi fasilitator yang memampukan masyarakat untuk membuat keputusan terbaik bagi diri dan keluarganya, bukan memaksa dengan imbalan tertentu.

Baca Juga: Skandal Spionase Israel atas ICC Ancam Masa Depan Keadilan Global

Para ulama dan cendekiawan perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar terjadi harmoni antara regulasi dan nilai-nilai syariat.

Tentu kita tidak menolak inovasi dalam kebijakan sosial, tapi harus ada garis batas yang jelas antara kebijakan yang progresif dan kebijakan yang menabrak norma etika dan agama. Wallahu a’lam bish showab []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Jejak Pertama di Tanah Suci: Haru, Lelah, dan Syukur yang Membuncah

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
MINA Preneur
Kolom
Kolom
Kolom