Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bantuan Udara adalah Rudal Jenis Baru

Rudi Hendrik Editor : Widi Kusnadi - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Angkatan Udara Yordania menjatuhkan paket bantuan ke Jalur Gaza. (Raja Abdullah / Twitter)

Oleh Khaled Al-Qershali, jurnalis Gaza lulusan Sastra Inggris

 

Ismail Awadallah Abed berusia 19 tahun. Ia mengungsi dari Beit Lahiya ke Deir al-Balah pada Oktober 2023 bersama 14 anggota keluarganya.

Pada 5 Agustus 2025, Abed pergi ke daerah al-Zawayda bersama beberapa tetangganya untuk mencoba mendapatkan bantuan.

Baca Juga: Influencer Dibayar, Palestina Berdarah: Perang Sunyi di Media Sosial

Abed meninggalkan tendanya pukul 11.30 pagi waktu Gaza, Palestina. Ia berjalan setidaknya dua kilometer untuk mencapai al-Zawayda, tempat bantuan udara akan dijatuhkan sekitar tengah hari.

Ia kemudian menunggu selama satu jam hingga pesawat muncul di langit dan menjatuhkan paket bantuan.

Meskipun daerah itu dipenuhi ribuan orang, Abed hanya melihat enam palet bantuan yang dijatuhkan.

“Ribuan orang, termasuk saya, kembali tanpa membawa apa pun,” ujar Abed kepada The Electronic Intifada.

Baca Juga: Baitul Maqdis: Pusat Peradaban Islam yang Terlupakan

Beberapa dari mereka yang kembali membawa bantuan diancam oleh orang lain.

“Teman saya, Yahya, mendapatkan bantuan ketika saya bersamanya,” kata Abed. “Ketika ia ingin melarikan diri dengan apa yang ia dapatkan, seorang pria bersama sekelompok orang mengepungnya dan menodongkan pisau ke leher Yahya.”

Orang-orang itu, kata Abed, menawarkan Yahya pilihan, “meninggalkan bantuan atau meninggalkan jiwanya” sebelum merampoknya.

Abed yakin bantuan udara itu berbahaya dan sia-sia. Bantuannya dicuri, berserakan di tanah, atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Baca Juga: Pesantren Al-Kahfi Somalangu: Warisan 600 Tahun Islam Nusantara

Sebagian besar makanan tercecer di tanah dan hancur.

Orang-orang yang pergi ke sana dan mempertaruhkan nyawa mereka, tidak hanya kembali dengan tangan kosong, tetapi juga kebanyakan terluka.

Bantuan udara adalah definisi lain untuk rudal – keduanya membunuh orang tak berdosa yang kelaparan,” kata Abed.

“Apa pun yang berhasil didapatkan seseorang tak ternilai harganya.”

Baca Juga: Jejak Darah di Tanah Suci: Fakta Kekejaman Zionis Israel

Tenggelam di laut mengejar bantuan

Muhammad Abu al-Meza yang berudia 23 tahun adalah seorang mahasiswa akuntansi. Dia tinggal di Gaza Utara selama genosida.

Ia telah mengunjungi lokasi bantuan udara berkali-kali, tetapi tidak pernah kembali dengan apa pun.

Pada Maret 2024, saat terjadi bencana kelaparan, Abu al-Meza pergi untuk mengumpulkan bantuan dari airdrop yang akan jatuh di wilayah al-Suwdania, di bagian barat Kota Gaza.

Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Tragedi Banjir Bali: Sesajen Bukan Penolong, Allah-lah Pelindung

Abu al-Meza melihat bantuan tersebut jatuh ke laut di dekat wilayah yang berada di bawah kendali militer Israel. Sebenarnya dia takut mengikuti bantuan tersebut, tetapi perutnya yang kosong memaksanya untuk melakukannya.

“Ketika saya mendekati bantuan tersebut dan hendak berenang, banyak orang berenang di depan saya dan berebut apa pun,” kata Abu al-Meza.

“Apa pun yang berhasil diraih seseorang tak ternilai harganya.”

Abu al-Meza berenang mengejar yang lain hingga ia melihat seorang pria tenggelam. Pria itu tidak bisa berenang – tidak ada ruang di air yang penuh sesak, penuh sesak dengan orang-orang yang berusaha membawa bantuan apa pun yang berhasil mereka ambil.

Baca Juga: “Gaza Lebih Berharga daripada Segalanya,” Kisah Warga Tunisia yang Menyumbangkan Kapalnya untuk Global Sumud Flotilla

“Saya berbalik, mendayung secepat mungkin, dan melarikan diri ke rumah,” kata Abu al-Meza.

Pada Juli 2025, Abu al-Meza dan keluarganya menderita kelaparan, sehingga ia kembali ke posko bantuan udara di al-Suwdania, berharap dapat kembali dengan membawa apa pun.

Ketika Abu al-Meza tiba di al-Suwdania setelah dua jam berjalan kaki, ia melihat ribuan orang seperti dirinya sedang menunggu bantuan.

Situasinya sangat kacau dan “lebih sulit daripada tahun lalu.”

Baca Juga: Ketika Doa dan Air Mata Menyatu di Baitullah, Kisah Perjalanan Umrah Arsih Fathimah

Ia kembali ke rumah dengan tangan hampa lagi.

“Posko bantuan udara tidak berguna dan sangat berbahaya,” kata Abu al-Meza. []

Sumber: The Electronic Intifada

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ulama dan Pena: Jihad Ilmiah yang Mengubah Dunia

Rekomendasi untuk Anda