Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
خَتَمَ ٱللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمۡ وَعَلَىٰ سَمۡعِهِمۡۖ وَعَلَىٰٓ أَبۡصَـٰرِهِمۡ غِشَـٰوَةٌ۬ۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ عَظِيمٌ۬
Artinya, “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 7).
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Hati yang mati bukan berarti membuat si pemilik hati turut mati. Ayat di atas menjelaskan bahwa matinya hati seseorang karena memang hati itu dikunci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hati yang mati itu adalah milik orang-orang kafir yang disebutkan di ayat sebelumnya, QS Al-Baqarah [2] ayat 6.
Namun, ada proses tahapan yang membuat hati berubah menjadi mati, salah satunya adalah suka tertawa yang berlebihan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
وَلاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ, فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Artinya, “Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR At-Tirmidzi no. 2305. Syaikh Al-Albani berkata, “Hasan.”)
Sebagian manusia meyakini bahwa tertawa menjadi salah salu tanda kebahagiaan seseorang, menunjukkan seseorang sedang senang hatinya. Pandangan ini membuat sejumlah orang memilih jalan hidupnya sebagai seorang komedian dengan dalih ingin membuat orang-orang senang dan bahagia dengan ia melucu di atas panggung.
Ternyata dunia komedi menjadi dunia yang banyak diminati, meski tidak banyak yang bisa menjadi seorang komedian, tapi menjadi penikmat komedi tidak masalah. Panggung komedi klasik kini telah berkembang pesat dan luas dalam berbagai tampilan format baru. Salah satunya yang paling populer di kalangan pemuda adalah komedi tunggal (stand up comedy).
Kini kita bisa melihat penonton datang beramai-ramai ke suatu acara hanya untuk mendengarkan seorang pelawak tunggal atau komika memainkan kata-kata, kalimat dan bahasa tubuh yang pada joke (lelucon) tertentu bisa membuat mereka tertawa, bahkan sampai tertawa terbahak-bahak. Tidak hanya sebatas itu, hingga perut mereka sakit dan tulang pipi mereka pegal.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Panggung hiburan semacam ini juga mendapat peringkat yang bagus bagi dunia pertelevisian. Sehingga, kini lahirlah banyak komika atau pelawak tunggal ternama. Padahal, banyak dalam lelucon yang mereka sampaikan lebih kepada hal yang tidak ada mamfaatnya, kecuali hanya untuk mengocok perut. Terkadang juga mereka menyelipkan unsur-unsur SARA ke dalam leluconannya.
Dengan semakin populernya dunia komedi seperti ini jelas sangat mengancam generasi Muslim yang menjadi pengkonsumsi utama. Akan terbentuklah generasi-generasi berhati mati.
Ada satu prinsip yang harus diperhatikan dan diadopsi oleh setiap orang yang ingin membuat saudaranya tertawa, yaitu seperti prinsip yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam praktekkan.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, para sahabat pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
يَا رَسُولَ اللهِ ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا
“Ya Rasulullah! Sesungguhnya engkau sering mencandai kami.”
Beliau pun berkata,
إِنِّيْ لاَ أَقُوْلُ إِلاَّ حَقًّا
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
“Sesungguhnya saya tidaklah berkata kecuali yang haq (benar).” (HR At-Tirmidzi no. 1990. Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih.” /Ash-Shahihah IV/304).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak melarang seorang Muslim untuk tertawa, tapi yang dilarang adalah berlebihan dalam tertawa. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga suka tertawa dan suka bercanda, tapi tidak berlebihan.
Seorang penyair terkenal, Abul-Fath Al-Busti rahimahullah pernah mengatakan, “Berikanlah istirahat pada tabiat kerasmu yang serius. Dirilekskan dulu dan hiasilah dengan sedikit canda. Tetapi jika engkau berikan canda kepadanya, jadikanlah ia seperti kadar engkau memasukkan garam pada makanan.”
Semua yang berlebihan cenderung membawa mudarat daripada manfaat. Jangankan tertawa, ibadah yang berlebihan pun dipandang kurang baik.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Penjelasan ilmiah banyak tertawa
Dalam hal banyak tertawa bisa membuat hati mati, Tauhid Nur Azhar dan Eman Sulaiman di dalam bukunya “Ajaib bin Aneh” menjelaskan secara ilmiah.
Di dalam otak mansia terdapat hormon yang mengatur bahagia dan kesedihan. Hormon yang mengatur kebahagiaan dinamai “serotonin”. Jika kadar serotonin dalam otak stabil dan seimbang, kita akan tenang. Jika kadarnya terlalu rendah, kita akan resah dan gelisah. Namun sebaliknya, jika kadarnya berlebih, kita cenderung “terlalu tenang” alias apatis. Jadi, Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan segala sesuatu itu selalu pas, seimbang serta memenuhi prinsip mizan (keseimbangan). Terlalu kurang atau terlalu lebih, biasanya akan mendatangkan masalah.
Uniknya, setiap hormon itu tidak bekerja sendirian. Ada proses kerja sama dan mu’amalah yang harmonis di antara mereka. Serotonin memiliki partner yang namanya “endorfin”. Hormon yang satu ini bertugas mengatur kegembiraan. Keduanya bagaikan pasangan sejati, saling memahami, dan saling melengkapi. Ketika serotonin turun, kadar endorfin pun akan turun.
Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital
Demikian pula ketika endorfin naik, maka serotonin pun ikut naik. Namun, hubungan di antara mereka tidak selalu stabil. Ketika proporsi yang satu terlalu tinggi, ketidakseimbangan pun akan muncul ke permukaan. Di sinilah relevansi wasiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terlihat. Terlalu banyak tertawa akan menaikan kadar endorfin sampai batas optimal. Akibatnya, kadar serotonin dalam tubuh menjadi rendah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan endorfin dan serotonin dari bahan baku yang sama. Ketika endorfin terlalu banyak diproduksi, bahan baku serotonin akan terserap habis. Efeknya, pada satu sisi dia akan merasa kegembiraan, tapi ketika gembira tersebut mencapai titik optimal, hormon penyeimbang tidak lagi di produksi.
Karena itu jangan heran, orang yang banyak tertawa cenderung menjadi pribadi yang gelisah, orang akan mudah tertawa paranoid, mudah berburuk sangka, salat pun tidak khusyu. Semakin lama, hatinya akan mati, tidak lagi sensitif. Ketika orang lain mendapatkan kesusahan, dia tidak lagi peduli, karena sibuk dengan kegelisahannya sendiri.
Tertawa bisa menjadi obat jika sesuai takaran. Namun, bisa menjadi “racun” jika berlebihan. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
Baca Juga: Amerika itu Negara Para Pendatang!
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
“Di antara tanda baiknya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan yang tidak bermanfaat baginya.” (HR At-Tirmidzi no. 2317 dan Ibnu Majah no. 3976.) (RI-1/B05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Indonesia, Pohon Palma, dan Kemakmuran Negara OKI