Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“BAPAK KUCING” YANG BEGITU PENYAYANG

Rudi Hendrik - Senin, 24 Februari 2014 - 12:39 WIB

Senin, 24 Februari 2014 - 12:39 WIB

1683 Views

 Kucing(Abu Hurairah, bagian 2)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang memiliki daya ingatan yang sangat kuat, berkeyakinan bahwa menyebarluaskan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, merupakan tanggungjawabnya terhadap agama dalam hidupnya. Jika hal itu tidak dilakukannya, berarti ia menyembunyikan kebaikan dan kebenaran, serta termasuk orang yang lalai yang pasti akan menerima adzab karena kelalaiannya.

Oleh sebab itulah, ia terus saja memberitakan hadits, tak ada suatu pun yang bisa menghalanginya dan tak seorangpun boleh melarangnya.

Hingga pada suatu hari Amirul Mukminin, Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata kepadanya, “Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Jika tidak, maka akan kukembalikan kau ke Tanah Daus (tanah kaum dan keluarganya)!”

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Larangan itu mempunyai maksud sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dipandang baik oleh Umar, yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tertentu tidak menghafal yang lain, kecuali Al-Qur’an sampai melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran mereka.

Oleh sebab itu Umar berpesan, “Sibukkanlah dirimu dengan Al-Qur’an karena itu adalah kalam Allah, dan kurangilah meriwayatkan hadits Rasulullah, kecuali yang berkenaan dengan amal perbuatannya!”

Abu Hurairah sangat menghargai pandangan Umar, tetapi ia juga percaya pada dirinya dan tetap teguh mengemban amanat, hingga ia tidak hendak menyembunyikan suatu pun dari hadits yang diyakininya bahwa menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.

Satu hal yang selalu merisaukan hati dan dapat menimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah, yaitu adanya penghafal hadits lain yang menyebarkan hadits-hadits Rasulullah dengan menambah dan melebihkan, sehingga sebagian sahabat merasa tidak puas terhadap sebagian besar hadits-haditsnya. Orang itu bernama Ka’ab Al-Ahbaar, seorang Yahudi yang masuk Islam.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Tes hafal selang setahun

Suatu hari Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal Abu Hurairah.

Dipanggillah Abu Hurairah untuk menemuinya dan dibawa duduk bersamanya, lalu dimintanya Abu Hurairah untuk meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sementara itu disuruhnya seseorang untuk menuliskan apa yang diceritakan oleh Abu Hurairah dari balik dinding.

Sesudah berlalu satu tahun lamanya, dipanggillah Abu Hurairah kembali dan dimintanya membacakan kembali hadits-hadits yang dulu yang telah di tulis oleh sekretarisnya. Ternyata tak ada yang terlupa sedikitpun walau hanya satu kalimat atau sepatah kata pun.

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Ia pernah berkata tentang dirinya, “Tidak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal hadits dari padaku, kecuali Abdullah bin Amr bin Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak.”

Imam Syafi’i pernah mengemukakan pendapatnya tentang Abu Hurairah, “Ia seorang yang paling banyak hafal diantara seluruh perawi hadits pada masanya.”

Sementara Imam Bukhari menyatakan, “Ada sekitar delapan ratus orang atau lebih dari sahabat Tabi’in dan ahli ilmu yang meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah.”

Abu Hurairah adalah seorang yang ahli ibadah, ia selalu melakukan ibadah bersama istri dan anak-anaknya semalaman secara bergiliran. Mula-mula ia bangun sambil shalat sepertiga malam kemudian dilanjutkan oleh istrinya sepertiga malam dan sepertiganya lagi dimanfaatkan oleh putrinya. Dengan demikian, tak ada waktu sedikit pun berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah, kecuali ibadah berlangsung di sana, dzikir dan shalat.

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Doa untuk ibu

Sejak ia menganut agama Islam tidak ada yang memberatkan dan mengganjal perasaannya dari berbagai persoalan hidup yang dialaminya, kecuali satu masalah yang hampir menyebabkannya tak dapat memejamkan mata, yaitu masalah ibunya, yang waktu itu menolak untuk masuk Islam. Tidak hanya itu, bahkan ibunya menyakiti perasaannya dengan menjelek-jelekan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di depannya.

Ia bercerita tentang ibunya:

Sambil menangis aku datang menemui Rasulullah sambil mengadu kepada beliau, “Ya Rasulullah, aku telah meminta ibuku untuk masuk Islam, tetapi ajakanku ditolaknya dan hari ini aku baru saja memintanya masuk Islam. Sebagai jawabannya, ia malah mengeluarkan kata-kata yang tak kusukai terhadap diri engkau. Karenanya mohon Anda doakan kepada Allah, kiranya ibuku itu mendapatkan petunjuk untuk masuk Islam.”

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah, tunjukilah Ibu Abu Hurairah!”

Setelah itu aku pun berlari menemui ibuku untuk menyampaikan kabar gembira tentang doa Rasulullah itu, saat aku sampai di depan pintu, kudapati pintu itu terkunci, dari luar terdengar suara gemericik air.

Suara ibu memanggilku, “Hai Abu Hurairah! Tunggulah di tempatmu itu!”

Saat ibuku keluar, ia memakai baju kurungnya dan membalutkan selendangnya sambil mengucapkan dua kalimat syahadat.

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

Aku pun segera berlari menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sambil menangis karena gembira, sebagaimana aku dulu menangis karena berduka.

Aku berkata kepada beliau, “Aku sampaikan kabar gembira ya Rasulullah, bahwa Allah telah mengabulkan doa Anda, Allah telah menujukkan jalan kepada ibuku dalam Islam. Ya Rasulullah, mohon doakan kepada Allah, agar aku dan ibuku dikasihi orang-orang mukmin!”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdoa, “Ya Allah, mohon Engkau jadikan hamba-Mu ini beserta ibunya dikasihi oleh sekalian orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.”

 

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Kekayaan Abu Hurairah

Di zaman Umar bin Khattab menjadi Khalifah, ia diangkat sebagai Amir di Bahrain.

Umar adalah orang yang sangat keras dan teliti terhadap pejabat-pejabat yang diangkatnya. Jika ia mengangkat seseorang, sedang ia mempunyai dua pasang pakaian maka sewaktu meninggalkan jabatannya nanti haruslah tetap mempunyai dua pasang pakaian juga, malah lebih baik kalau ia hanya memiliki satu pakaian saja. Apabila waktu meninggalkan jabatan itu terdapat tanda-tanda kekayaan, maka ia tidak akan luput dari interogasi Umar, sekali pun kekayaan itu berasal dari jalan yang halal yang dibolehkan oleh agama.

Rupanya sewaktu Abu Hurairah memangku jabatan sebagai kepala daerah di Bahrain, ia telah menyimpan harta yang berasal dari sumber yang halal. Hal ini diketahui oleh Umar. Karena itulah ia dipanggil untuk datang dan menghadap di Madinah.

Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

Umar berkata kepada Abu Hurairah, “Hai musuh Allah dan musuh Kitab-Nya, apa engkau telah mencuri harta Allah?”

“Aku bukan musuh Allah dan bukan pula musuh Kitab-Nya, aku hanya menjadi musuh orang-orang yang memusuhi keduanya dan aku bukanlah orang yang mencuri harta Allah!” jawab Abu Hurairah.

“Dari mana kau peroleh sepuluh ribu itu?” tanya  Khalifah.

“Kuda kepunyaanku beranak pinak dan pemberian orang berdatangan,” jawab Abu Hurairah.

Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau

“Kembalikan harta itu ke baitul mal,” kata Umar.

Abu Hurairah menyerahkan hartanya itu kepada Umar, kemudian ia mengangkat tangannya ke arah langit sambil berdoa, “Ya Allah, ampunilah Amirul Mukminin.”

Tak beberapa lama, Umar memanggil Abu Hurairah kembali dan menawarkan jabatan kepadanya di wilayah baru, tapi ditolaknya dan meminta maaf karena tidak dapat menerimanya.

“Kenapa, apa sebabnya?” tanya Umar.

Baca Juga: Radin Inten II Sang Elang dari Lampung, Pejuang Tak Kenal Takut

“Agar kehormatanku tidak sampai tercela, hartaku tidak dirampas, punggungku tidak dipukuli. Dan aku takut menghukum tanpa ilmu dan bicara tanpa belas kasih!” jawab Abu Hurairah.

Abu Hurairah meninggal dunia dalam usia 78 tahun pada tahun ke 59 hijriyah. Ia dikebumikan di pekuburan Baqi’.

Salah seorang di antara mereka yang baru masuk Islam bertanya kepada temannya, “Kenapa Syeikh kita yang telah berpulang ke rahmatullah itu diberi gelar “Abu Hurairah” (bapak kucing)?”

 “Di waktu jahiliyah namanya dulu Abdu Syamsi, dan tatkala memeluk Islam ia diberi nama oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan nama Abdurrahman. Ia sangat penyayang kepada binatang, dan ia mempunyai seekor kucing yang selalu diberinya makan, digendongnya, dibersihkannya dan diberinya tempat berteduh. Kucing itu selalu menyertainya kemana pun ia pergi seolah-olah bayang-bayangnya. Itulah sebabnya ia diberi gelar “Bapak Kucing”,” jawab temannya.

Semoga Allah ridlo kepadanya dan menjadikannya ridlo kepada Allah Subhana Wa Ta’ala. (P09/EO2).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda