Oleh: Rendi Setiawan, Jurnalis MINA
Hari ini, tujuh puluh lima tahun yang lalu, arek-arek (pemuda) Surabaya bahu membahu mempertahankan Surabaya dari gempuran pasukan NICA yang dibonceng Belanda. Tak pelak, sebutan kota pahlawan pun menyeruak hingga hari ini. Bahkan, setiap tahunnya hari itu diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Peristiwanya terjadi pada 10 November 1945. Tanggal tersebut adalah sejarah besar bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Tidak ada yang bisa menyangkal heroisme rakyat dalam pertempuran tersebut. Tak ada pula yang yang akan menyangkal peran ulama/santri dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Dalam konteks historiografi, heroisme ulama dan santri yang berceceran pada Peristiwa 10 November 1945 patut menjadi serak-serak sejarah yang perlu dirangkai secara komprehensif.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Tetapi, kita cukup kesulitan menemukan buku atau manuskrip-manuskrip tentang perjuangan ulama yang bisa dijadikan sebagai narasi historis yang layak dan orisinil. Bagaimana kita abai akan pentingnya buku perjuangan ulama dalam peristiwa perang terbesar setelah perang dunia kedua melawan pasukan NICA dan Belanda.
Salah satu buku yang mengupas kontribusi ulama dan santri adalah buku berjudul Surabaya: Kota Pahlawan Santri. Dalam buku tersebut dijelaskan secara rinci kronik awal hingga pecahnya Perang Surabaya yang disebut-sebut oleh Panglima Inggris di Jawa Timur, Jenderal E.C. Mansergh sebagai neraka itu.
Rizal Mumazziq Z sebagai penulis buku mengungkapkan upaya Sekutu, termasuk Belanda, yang berniat menduduki kembali Indonesia setelah kekalahan Jepang. Bahkan, Belanda meminta Pimpinan Kota Surabaya untuk mengibarkan bendera triwarna (bendera Belanda) untuk memperingati ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Akibatnya, terjadi bentrokan antara rakyat Surabaya dengan serdadu Belanda. Suasana panas mencapai puncaknya saat sekelompok pemuda berhasil menyobek bendera triwarna di tiang atas Hotel Oranje/Yamato pada tanggal 19 September 1945 hingga menyisakan warna merah putih.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Penyobekan bendera triwarna itu semakin membakar semangat perlawanan arek-arek Surabaya terhadap Belanda dan sekutunya. Dan pertempuran sporadis pun terjadi di beberapa tempat.
Tengah hari pada 27 Oktober 1945, pesawat tentara Sekutu berputar-putar di atas Surabaya. Dari ekornya, pesawat itu memuntahkan ratusan ribu lembar pamflet. Pamflet itu berisi ancaman dari Panglima Pasukan Sekutu di Jawa, Bali, Madura, dan Lombok Mayor Jenderal HC Hawthorn.
Dua hari sebelumnya, pada 25 Oktober 1945, 6.000 orang tentara Sekutu mendarat di Surabaya. Pasukan yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby ini diberi tugas melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu.
Namun pamflet yang disebar itu justru mengobarkan semangat perlawanan rakyat Surabaya. Apalagi, sejak Sekutu mengirimkan tentaranya ke Surabaya, ada kecurigaan prajurit Belanda membonceng di belakang mereka dan berniat menjajah kembali negara ini.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
“Bau malapetaka sudah tercium di udara,” Letnan Kolonel AJF Doulton menulis pengalamannya dalam perang di Surabaya pada 1945 dalam bukunya, The Fighting Cock: Being the History of the Twenty-third Indian Division, 1942-1947.
Doulton, perwira Inggris di Divisi India Ke-23, menggambarkan suasana Kota Surabaya pada 28 Oktober 1945 pagi menjelang habisnya batas waktu 48 jam yang diberikan Jenderal Hawthorn.
Ultimatum Jenderal Hawthorn itu memang ditolak. Tepat pukul 17.00 WIB pada 28 Oktober 1945, prajurit TKR dan laskar-laskar rakyat serentak menyerbu markas-markas tentara Sekutu di Surabaya.
Gencatan senjata akhirnya disepakati dua hari kemudian. Namun kesepakatan ini berumur pendek. Saat berkeliling Kota Surabaya bersama pemimpin-pemimpin perlawanan rakyat, Jenderal Mallaby terjebak dalam baku tembak di depan gedung Internatio, Surabaya.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Nahas bagi Jenderal Mallaby. Dia terbunuh dalam peristiwa tersebut. Kematian Mallaby membuat Panglima Sekutu marah besar. Mereka menuduh prajurit Indonesia sebagai pembunuhnya. Peristiwa ini jadi pemicu sejarah hari Pahlawan.
Banyak muncul pertanyaan, siapakah yang membunuh Jenderal Mallaby?
Berbagai sumber mengemukakan berbagai cerita mengenai awal kedatangan Sekutu ke Indonesia hingga pertempuran 10 November selesai. Namun, belum ada catatan yang bisa dipertanggungjawabkan mengenai sosok orang yang berhasil membunuh perwira muda Inggris tersebut.
Dalam buku Indonesia dalam Arus Sejarah edisi 6 (2012) pun hanya menjelaskan bagaimana Jenderal Mallaby terbunuh ketika ada aksi tembak-menembak terhadap penduduk Surabaya. Di sana tidak menyebutkan lebih detail tentang siapa nama pejuang yang tak tercatat di tinta emas sejarah Indonesia itu.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Sumber lain menyebutkan bahwa Jenderal Mallaby terkena granat dari anak buahnya yang berusaha melindungi. Namun, granat itu meleset dan terkena mobilnya, hingga kemudian terbakar.
Resolusi Jihad
Sebelum peristiwan di gedung Internatio itu, dalam buku Surabaya: Kota Pahlawan Santri juga diterangkan upaya diplomasi pemerintah Indonesia yang berjalan alot, Presiden Soekarno melalui utusannya menanyakan kepada Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari karena pengaruh beliau yang sangat besar bagi para ulama dan rakyat santri, tentang hukum mempertahankan kemerdekaan.
Kiai Hasyim menjawab dengan tegas, sudah terang bagi umat Islam untuk melakukan pembelaan terhadap tanah airnya dari ancaman asing.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Dengan jawaban ini, Bung Karno mendapatkan legitimasi strategis untuk mempertahankan RI dalam perspektif hukum agama dan karenanya dia semakin mantap dan kokoh mempertahankan kemerdekaan negara yang baru diproklamirkan itu.
Di antara pengaruh terpenting Kiai Hasyim adalah fatwa jihad pertamanya, 17 September 1945, yang kemudian dikukuhkan menjadi Resolusi Jihad pada rapat ulama Jawa-Madura pada 21-22 Oktober 1945 di kantor PBNU di Bubutan Surabaya.
Berikut bunyi Resolusi Jihad:
(1) Hukumnya memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu ‘ain bagi tiap-tiap orang Islam meskipun bagi orang kafir:
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
(2) Hukumnya orang yang meninggal dalam peperangan melawan NICA serta komplotannya adalah mati syahid:
(3) Hukumnya orang yang memecah persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Demikian pula dengan fatwa jihadnya yang kedua, 9 November 1945, yang berbunyi: “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itu fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak 94 km dari Soerabaja. Fardloe ‘ain hoekoemnya membela Soerabaja.”
Resolusi Jihad itu, selain memberi semangat pada pasukan-pasukan Islam (Hizbullah, Sabilillah, dan pasukan santri lainnya) di Surabaya yang dipimpin oleh para kiai dan tokoh agama, juga menarik pasukan-pasukan serupa dari berbagai penjuru Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk datang ke Surabaya.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Seperti KH. R. As’ad Syamsul Arifin yang memimpin Hizbullah Situbondo, termasuk Bondowoso. Laskar Hizbullah Jember dipimpin oleh Haji Syekh dan Sulthon Fadjar Njoto. Hizbullah Pasuruan dipimpin oleh KH. Achmad Jufri dan KH. Mahfudz Jufri, sedangkan KH. Masjkur mengomandani Laskar Sabilillah Malang.
Dari Kediri, KH. Mahrus Aly Lirboyo membawa 97 santri mujahid dan beberapa kali mengirim pasukan. Demikian pula dengan pasukan-pasukan Islam dari Mojokerto, Jombang, serta daerah-daerah lainnya.
Demikianlah, seandainya tidak keluar Resolusi Jihad yang menyemangati pasukan-pasukan Islam-tanpa menafikan peran pihak lain tentunya, niscaya pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya itu tidak akan pernah dimenangkan oleh pihak Indonesia. (A/R2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu