Setelah lebih dari lima dekade berkuasa, tepatnya 61 tahun, akhirnya kekuasaan Keluarga Assad di Suriah runtuh. Pasukan oposisi bersenjata berhasil merebut ibu kota, Damaskus. Sementara itu, Presiden Bashar al-Assad, yang telah memimpin negara selama 24 tahun, melarikan diri bersama keluarganya, meninggalkan Suriah.
Perubahan ini menandai berakhirnya rezim Keluarga Assad yang dimulai oleh Hafez al-Assad pada tahun 1970 dan diteruskan oleh putranya, Bashar. Pengakuan atas kejatuhan Bashar al-Assad Presiden Suriah yang membawa Keluarga Assad Berkuasa Separuh Abad tersebut disampaikan oleh Perdana Menteri Suriah, Mohammed Ghazi al-Jalali, melalui sebuah siaran video yang dikutip oleh kantor berita nasional Iran, IRNA. Iran, yang selama ini menjadi sekutu setia Assad, turut mencatat momen ini.
Bashar al-Assad lahir pada tahun 1965 sebagai putra dari Presiden Suriah yang berkuasa selama hampir tiga dekade, Hafez al-Assad. Keluarganya merupakan bagian dari minoritas Alawi, yang memainkan peran penting dalam kehidupan politik Suriah.
Sejak kecil, Bashar tidak diarahkan untuk terjun ke dunia politik. Ia memilih untuk mengikuti jejak akademik dan mengejar studi di bidang kedokteran mata, yang membawanya ke London untuk menyelesaikan pendidikannya. Namun, pada tahun 1994, tak terduga, Bashar dipanggil kembali ke Suriah setelah kakaknya, Bassel, yang seharusnya menggantikan ayah mereka, meninggal dalam kecelakaan mobil.
Baca Juga: Para Perempuan Pejuang Palestina yang Inspiratif
Bashar, yang sebelumnya tidak menunjukkan minat dalam politik, kini harus mengambil peran besar dalam pemerintahan. Ketika ayahnya wafat pada tahun 2000, Bashar dipersiapkan untuk menggantikan posisi presiden.
Untuk memuluskan jalan bagi putra Hafez ini, parlemen Suriah mengubah undang-undang yang menetapkan usia minimum calon presiden dari 40 menjadi 34 tahun, yang kebetulan adalah usia Bashar pada saat itu. Ia kemudian terpilih dalam referendum dengan hasil yang sangat mencolok, memperoleh lebih dari 97% suara, meskipun hanya ada satu kandidat: dirinya sendiri.
Pada awal masa kepemimpinannya, Bashar memunculkan harapan akan perubahan. Ia dikenal sebagai sosok yang pendiam dan lebih tertutup dibandingkan ayahnya yang karismatik. Beberapa reformasi ekonomi sempat diluncurkan, namun banyak pengamat merasa bahwa perubahan yang terjadi sangat terbatas, dan pemerintahannya mulai menunjukkan kemiripan dengan otoritarianisme yang dijalankan oleh Hafez al-Assad selama 30 tahun sebelumnya.
Namun, tantangan besar bagi kepemimpinannya muncul pada Maret 2011, ketika gelombang protes besar-besaran melanda Suriah. Warga negara itu menuntut reformasi lebih lanjut, kebebasan sipil, dan pembebasan tahanan politik. Bashar merespons tuntutan ini dengan keras, menganggapnya sebagai bagian dari konspirasi asing dan menanggapi para demonstran sebagai “teroris”.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Dalam kapasitasnya sebagai pemimpin Partai Baath yang berkuasa dan panglima tertinggi angkatan bersenjata, Bashar mengerahkan kekuatan militer untuk menindak protes tersebut. Tindakannya yang represif justru memperburuk situasi dan mengarah pada eskalasi kekerasan yang lebih besar.
Seiring berjalannya waktu, perang saudara di Suriah semakin memburuk. Pada 2012, pemerintah Suriah mulai menggunakan senjata berat, termasuk serangan udara, terhadap kelompok pemberontak. Konflik ini semakin meluas dengan keterlibatan kekuatan regional dan internasional, termasuk Rusia dan Iran yang memberikan dukungan militer kepada Assad.
Dalam menghadapi serangan dari berbagai kelompok oposisi, Bashar mampu merebut kembali beberapa wilayah yang sempat dikuasai pemberontak, namun negara Suriah sendiri terpecah-belah. Pemerintahannya hanya menguasai sebagian wilayah, dengan dukungan yang terbatas terutama dari kalangan minoritas Alawi.
Pada tahun 2020, sebuah gencatan senjata ditandatangani antara Rusia dan Turki, meskipun perang terus berlanjut dan proses perdamaian yang dimediasi PBB tidak banyak membuahkan hasil. Meski demikian, Bashar tetap mempertahankan posisinya sebagai penguasa, berupaya untuk tampil sebagai pelindung kaum minoritas dan penentang ekstremisme, yang ia klaim dapat mengembalikan stabilitas negara. Namun, bagi banyak pihak, terutama oposisi, citra tersebut tidak cukup meyakinkan.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Pemilu yang diadakan selama bertahun-tahun, termasuk pada 2021, kembali menunjukkan kemenangan Assad dengan perolehan suara yang sangat tinggi, tetapi hasil tersebut dipandang skeptis oleh komunitas internasional yang menilai pemilihan tersebut tidak bebas dan tidak adil.
Pada 2023, meskipun terus menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan penggunaan senjata kimia terhadap rakyatnya, Bashar al-Assad tetap mendapat dukungan dari Rusia dan Iran. Bahkan, pada tahun tersebut, ia kembali diterima sebagai anggota Liga Arab, menandai suatu perubahan diplomatik yang signifikan di dunia Arab.
Kondisi di Suriah tetap memprihatinkan. Negara itu dilanda krisis kemanusiaan yang mendalam, dan ekonomi negara masih terpuruk akibat lebih dari satu dekade konflik yang menghancurkan.
Sebagai pemimpin, Bashar al-Assad dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sosok yang memegang kendali di tengah kerusakan, namun bagi banyak warga Suriah, ia akan dikenang sebagai presiden yang mengedepankan kekuasaan absolut, menghancurkan negara, dan menambah penderitaan rakyatnya.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
November 2024, koalisi oposisi Suriah melancarkan beberapa serangan terhadap negara tersebut dengan tujuan menggulingkan Assad. Pada bulan Desember 2024, sesaat sebelum pasukan oposisi merebut Damaskus, Assad melarikan diri dari negara tersebut dengan pesawat, dan rezimnya runtuh. Ia tiba di Moskow dan mendapatkan suaka politik.
Pekan ini, di akhir tahun 2024 menjadi babak baru bagi rakyat Suriah yang bersuka cita lepas dari Bashar al-Assad Presiden Suriah yang Berkuasa Separoh Abad di negara tersebut. []
Mi’raj News Agency (MINA)