Jakarta, MINA – Gerakan Boycott, Divest and Sanctions (BDS) Israel di Indonesia mengecam Keputusan FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 dan mendorong PSSI untuk membawa persoalan ini kepada Pengadilan Arbitrase Olahraga (Court of Sport Arbitration – CAS).
Co-Inisiator BDS Israel di Indonesia Muhammad Syauqi Hafiz menyampaikan, keputusan FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah piala dunia adalah bentuk ketidakonsistenan dan standar ganda FIFA atas komitmennya terhadap Statuta FIFA sendiri dan prinsip Hak Asasi Manusia yang tertuang di dalam FIFA Human Rights Policy tahun 2017.
“Bersama dengan masyarakat Indonesia kami menentang tegas keputusan FIFA yang berstandar ganda ini dan mendorong FIFA untuk mempertimbangkan kembali keputusannya, mengingat bahwa penolakan publik Indonesia bukan merupakan penolakan berdasarkan prasangka rasial, ataupun agama,” kata Syauqi Hafiz dalam keterangan tertulisnya yang diterima MINA, Kamis (30/3).
Dia menegaskan, penolakan publik Indonesia merupakan dorongan moral berdasarkan konstitusi Indonesia sebagai negara berdaulat, dan aspirasi publik Indonesia supaya FIFA taat kepada Statutanya sendiri.
Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan
Dalam hal FIFA tidak mengindahkan hal tersebut, lanjut Syauqi Hafiz, Gerakan BDS Israel di Indonesia mendorong dan menuntut PSSI untuk mengirimkan notice of dispute (nota gugatan) kepada FIFA, mengingat kerugian yang nyata terhadap publik Indonesia, baik secara materil dan moril akibat pembatalan tersebut, dan memberikan solusi yang adil terhadap status Timnas Israel di Piala Dunia U-20 berdasarkan Statuta FIFA.
“Dalam hal FIFA masih berkeras terhadap keputusan tersebut, maka mendorong PSSI untuk menjalankan proses sengketa di Court of Sport Arbitration (CAS) berdasarkan ketentuan Pasal 56 Statuta FIFA,” ujarnya.
Syauqi Hafiz mengatakan, BDS Israel di Indonesia menyampaikan apresiasi dan terimakasih atas sikap publik Indonesia yang menentang keikutsertaan Israel dalam Piala Dunia U-20 yang tadinya akan diselenggarakan di Indonesia.
“Sikap publik Indonesia itu merupakan perwujudan dari amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ingin menghapuskan penjajahan di atas dunia,” imbuhnya.
Baca Juga: Parlemen Brasil Keluarkan Laporan Dokumentasi Genosida di Gaza
Syauqi Hafiz menambahkan, FIFA seharusnya mempertimbangkan aspirasi publik Indonesia, yang mengingkan penegakan konstitusi Indonesia secara konsekuen yang menolak segala bentuk penjajahan di muka bumi karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan, dan menginginkan FIFA untuk secara konsisten patuh pada statutanya.
Oleh karenanya, FIFA seharusnya membatalkan keikutsertaan Tim Israel dari Piala Dunia U-20. Alih-alih melakukan ini, FIFA secara semena-mena membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia.
“Hal ini merupakan bentuk kesewenang-wenangan yang perlu ditentang dan dipersoalkan berdasarkan ketentuan Statuta FIFA,” pungkas Syauqi.
Gerakan BDS Israel merupakan satu gerakan global untuk memboikot produk-produk Israel baik perusahaan, pihak-pihak yang mendukung Israel secara tidak langsung.
Baca Juga: Bank dan Toko-Toko di Damaskus sudah Kembali Buka
Gerakan BDS mengeluarkan deklarasi pertamanya pada tahun 2005, yang menyerukan warga dunia untuk memboikot Israel dan menekan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi di atasnya sampai hak-hak Palestina diakui, yang diidentifikasi pada akhir pendudukan Israel dan mencapai hak untuk kembali dan kesetaraan diakui.
Standar Ganda FIFA
Keputusan pembatalan dari FIFA merupakan bentuk penghindaran FIFA dari isu yang melatarbelakangi keputusan tersebut, yakni terkait penolakan partisipasi timnas Israel dari publik Indonesia, yang menganggap Federasi Sepakbola Israel tidak layak ikut serta dalam Piala Dunia U-20 karena mendukung penjajahan pemerintah Israel terhadap Palestina.
Federasi Sepakbola Israel telah melanggar ketentuan Statuta FIFA Pasal 72 ayat (2), yang menyatakan bahwa “anggota asosiasi dan klubnya dilarang untuk bermain di teritori negara lain tanpa adanya persetujuan -dari asosiasi negara tuan rumah”, dengan mengakomodir enam klub bola (Kiryat Arba, Givat Zeev, Maale Adumim, Ariel, Oranit, and Tomer) yang beroperasi di Tepi Barat, yang berdasarkan hukum internasional merupakan wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel.
Baca Juga: Ratu Elizabeth II Yakin Setiap Warga Israel adalah Teroris
Dalih FIFA yang selama ini seolah ingin memisahkan antara isu politik dan olah raga menjadi sulit diterima karena saat ini organisasi tersebut melakukan boikot atas Rusia. Dengan alasan politik, FIFA memutuskan untuk melarang partisipasi timnas dan juga club Russia pada ajang kompetisi internasional.
Tidak hanya Rusia saat ini, FIFA juga dengan tegas membekukan keanggotaan Afrika Selatan selama puluhan tahun akibat kebijakan Apartheid negara tersebut.
Pada 2015, Federasi Sepakbola Palestina telah mengajukan keluhan terhadap FIFA untuk menghukum Federasi Sepakbola Israel atas pelanggaran terhadap Pasal 72 ayat (2) Statuta FIFA.
Terhadap hal ini FIFA telah membentuk Monitoring Committee Israel – Palestine, yang pada tahun 2017 berkesimpulan tidak dapat memberikan sanksi kepada Israel karena “kompleksitas, sensitifitas persoalan yang ada, dan menyerahkan isu ini kepada hukum internasional”.
Baca Juga: AS Pertimbangkan Hapus HTS dari Daftar Teroris
Kesimpulan ini telah ditentang oleh berbagai lembaga Hak Asasi Manusia internasional. Kajian dari ahli Hukum Internasional dan Anggota the Permanent Court of Arbitration Prof. Dr. Andreas Zimmerman dari Universitas Postdam menunjukan bahwa FIFA telah bersikap politis dan telah melanggar Statutanya sendiri.
FIFA terang – terangan menerapkan standar ganda. Untuk Rusia dan Afrika Selatan, FIFA tidak ragu mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh pertimbangan politik. Akan tetapi, menyangkut isu Palestina, politik dan olah raga seakan tidak dapat bersentuhan.
Padahal Israel terbukti secara nyata melakukan pelanggaran HAM berat serta hukum internasional. Komisi independen PBB pada bulan September tahun 2022 lalu, kembali menegaskan bahwa penjajahan Israel atas Palestina “tidak sah di mata hukum internasional”.
Organisasi HAM ternama dunia seperti Human Rights Watch dan Amnesty International juga sudah mendeklarasikan Israel sebagai negara pelaku Apartheid, sistem politik yang menjadi landasan pembekuan keanggotaan Afrika Selatan oleh FIFA dahulu.(R/R1/RS3)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Mahasiswa Yale Ukir Sejarah: Referendum Divestasi ke Israel Disahkan