Di era modern, istilah boundaries atau batasan diri semakin populer. Psikologi Barat mendefinisikannya sebagai pagar pribadi untuk melindungi kenyamanan, energi, dan kestabilan emosi. Namun, sering kali konsep ini berakar pada individualisme, yaitu mengutamakan diri di atas segalanya.
Islam tidak menolak pentingnya batasan. Justru, Islam adalah agama yang sejak awal menetapkan batasan hidup melalui syariat. Bedanya, batasan dalam Islam bukan sekadar menjaga comfort zone atau sekedar feeling good, melainkan benteng untuk melindungi iman, menjaga kehormatan, menumbuhkan kedekatan dengan Allah, serta menata hubungan dengan sesama.
Seorang muslim harus menyadari bahwa dirinya bukan milik mutlak siapapun, tidak juga milik orang tua, pasangan, atau sahabat. Kita semua adalah milik Allah. Maka batasan sejati bukan didefinisikan oleh nafsu atau budaya, tetapi oleh syariat Allah. Syeikh Belal Assaad melalui video di saluran sosial medianya pernah mengatakan “The boundaries are set only by Allah. Don’t let anybody put any boundaries on you, even your loved one.” (Batasan itu hanya ditetapkan oleh Allah. Jangan biarkan siapapun memberi batasan padamu, bahkan orang yang kamu cintai sekalipun).
Dimensi Batasan dalam Islam
- Batasan dengan Allah: Meletakkan Allah di Atas Segalanya
Inilah batasan paling utama, menempatkan kepentingan Allah di atas kepentingan diri sendiri maupun siapapun. Jika paradigma Barat sering menyerukan “put yourself first” (utamakan dirimu sendiri), maka Islam menanamkan prinsip sebaliknya: “put Allah first” (utamakan Allah di atas segalanya).
Baca Juga: Muslimah Tangguh di Tengah Fitnah Akhir Zaman: Menjaga Iman, Hijab, dan Kehormatan
Ibadah seperti shalat, puasa, dzikir, tilawah Al-Qur’an, dan amal-amal kebaikan lainnya bukan sekadar rutinitas, tetapi pagar spiritual yang menjaga seorang Muslim dari kelalaian. Allah berfirman:
وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوب
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu termasuk ketakwaan hati.” (QS. Al-Hajj: 30)
Ayat ini menegaskan bahwa menjaga ibadah adalah tanda dari hati yang bertakwa. Dengan kata lain, batasan dengan Allah berarti menegakkan ibadah wajib, menjauhi larangan, dan memelihara hubungan dengan-Nya sebagai prioritas utama.
Baca Juga: Tiga Perisai Kehormatan Muslimah di Era Digital
Bagi seorang muslimah, implementasinya sangat nyata dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya:
- Tetap menjaga shalat tepat waktu, meski sedang nongkrong atau berada di acara penting.
- Berani menolak ajakan nongkrong atau kegiatan yang bercampur maksiat, meskipun ada tekanan sosial.
- Memilih untuk fokus tilawah atau dzikir, meski notifikasi media sosial berdering tanpa henti.
Semua itu adalah wujud “batasan” yang tidak membatasi kebebasan, melainkan justru memberi ruang agar hati tetap bernapas dalam iman.
Rasulullah ﷺ bersabda:
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ، وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
Baca Juga: Ujian Nikmat: Antara Syukur dan Kufur
“Pokok urusan (agama) adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” (HR. Tirmidzi, hasan shahih)
Hadis ini menegaskan bahwa menjaga shalat—sebagai simbol kepatuhan kepada Allah—adalah fondasi utama dalam membangun batasan spiritual seorang Muslim.
- Batasan dengan Diri Sendiri
Allah berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Baca Juga: Pesona Muslimah Bukan pada Paras, Tapi pada Akhlak
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisā’: 29)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Sesungguhnya jasadmu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Peran Kepala Rumah Tangga dalam Menggerakkan Generasi Pembebas Al-Aqsa
Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa tubuh, jiwa, dan akal manusia bukanlah milik pribadi yang dapat diperlakukan sesuka hati, melainkan amanah dari Allah ﷻ. Setiap amanah kelak akan dimintai pertanggungjawaban, sehingga seorang Muslim tidak boleh merusak dirinya, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.
Sayangnya, sebagian pemuda Muslim masa kini terjebak dalam miskonsepsi yang berakar dari filsafat Barat. Konsep self-ownership dalam pemikiran modern menganggap tubuh sepenuhnya milik individu, sehingga seseorang merasa bebas melakukan apa saja, bahkan merusaknya dengan alkohol, narkoba, pornografi, atau gaya hidup hedonistik. Paradigma ini jelas bertentangan dengan Islam, yang menegaskan bahwa tubuh, jiwa, dan akal adalah titipan Allah ﷻ, dan setiap titipan harus dijaga.
Fenomena kontemporer menunjukkan betapa relevannya ajaran Islam ini. WHO (2023) mencatat bahwa bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua terbesar di kalangan remaja usia 15–29 tahun. Di sisi lain, meningkatnya kasus kecanduan narkoba, rokok elektrik, dan pornografi juga menunjukkan bagaimana banyak anak muda merusak diri secara perlahan. Budaya hustle dan overwork bahkan membuat sebagian remaja mengorbankan kesehatan demi prestasi atau popularitas di media sosial. Semua ini berlawanan dengan pesan Islam agar manusia hidup seimbang.
Islam hadir dengan prinsip jalan tengah. Rasulullah ﷺ melarang umatnya berlebihan dalam beribadah hingga melupakan kebutuhan tubuh. Hal ini tampak dalam nasihat beliau kepada Abdullah bin Amr bin Ash yang berpuasa setiap hari dan shalat malam sepanjang malam. Rasulullah ﷺ bersabda:
Baca Juga: 7 Cara Muslimah Sejati Mengendalikan Cinta Dunia
إِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Sesungguhnya jasadmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, dan istrimu memiliki hak atasmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa menjaga tubuh, kesehatan, bahkan relasi sosial adalah bagian dari ketaatan kepada Allah ﷻ. Maka, seorang Muslim perlu menyeimbangkan hak diri dengan hak Allah dan hak orang lain.
Bentuk konkret dari menjaga diri dalam Islam antara lain:
Baca Juga: Muslimah Sejati Tak Hanya Menutup Aurat, Tapi Menjaga Lisan dan Hati
- Menjaga pola tidur dan tidak begadang berlebihan. Rasulullah ﷺ tidak menyukai tidur larut setelah Isya kecuali untuk kepentingan ibadah atau maslahat.
- Mengonsumsi makanan halal dan bergizi, karena makanan halal menumbuhkan iman, sementara yang haram merusak hati dan amal.
- Menjauhi candu seperti narkoba, alkohol, rokok, dan pornografi. Selain merusak fisik dan jiwa, hal ini juga menutup pintu hidayah.
- Merawat kesehatan mental dan spiritual melalui ibadah, dzikir, menjaga lingkungan pergaulan, serta menghindari konten yang merusak akal di media sosial.
Dengan demikian, batasan terhadap diri sendiri bukan sekadar agar seseorang merasa nyaman atau bahagia, tetapi agar tubuh, jiwa, dan akal tetap kuat menjalankan misi sebagai khalīfatullāh fil-ardh, hamba Allah yang diberi amanah untuk memakmurkan bumi dengan ketaatan. Inilah yang membedakan konsep self-care dalam Islam dengan teori modern: tujuan utamanya bukan kepuasan diri, melainkan kekuatan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah.
-
Batasan dengan Sesama
Allah berfirman:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah: 83)
Baca Juga: Muslimah dan Amanah Pembebasan Baitul Maqdis
Ayat ini menegaskan pentingnya adab komunikasi. Menjaga lisan adalah bagian dari batasan sosial yang diperintahkan Allah. Rasulullah ﷺ juga bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari sini jelas bahwa menjaga lisan adalah indikator iman. Ucapan yang kasar, gosip, fitnah, atau komentar menyakitkan di media sosial adalah bentuk pelanggaran batasan yang bisa merusak hubungan sesama manusia sekaligus mendatangkan dosa.
Baca Juga: 7 Cara Muslimah Meningkatkan Kualitas Ibadah Harian
Selain lisan, Islam juga menekankan batasan privasi. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَىٰ أَهْلِهَا
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur: 27)
Ayat ini relevan sekali dengan kondisi masa kini. Dalam konteks modern, menjaga privasi tidak hanya soal izin masuk rumah, tetapi juga tidak mengintip, tidak menyebarkan rahasia, dan tidak mencampuri urusan pribadi orang lain tanpa hak.
Baca Juga: Muslimah yang Menginspirasi: Menghadapi Fitnah Era Modern dengan Wibawa
Allah juga telah mengatur batas dalam relasi lawan jenis dengan sangat jelas, diantaranya:
- Menjaga pandangan – Allah berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menundukkan pandangannya.” (QS. An-Nur: 30-31)
- Menutup aurat – Allah memerintahkan wanita beriman untuk menutup aurat agar tidak menjadi fitnah (QS. An-Nur: 31).
- Menghindari Pacaran
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
Ayat ini tidak hanya melarang zina, tetapi juga segala jalan yang mendekatkan kepada zina. Ulama menafsirkan, larangan ini mencakup: Khalwah (berduaan tanpa mahram), Ikhtilath (campur baur bebas tanpa aturan), Pandangan yang tidak dijaga, serta Percakapan atau interaksi yang berlebihan dan menggoda.
Semua aturan ini bukan dimaksudkan untuk mengekang kebebasan, tetapi untuk melindungi kehormatan, harga diri, dan martabat manusia. Data dari penelitian sosial dan psikologi menunjukkan bahwa interaksi bebas tanpa batasan sering berujung pada pelecehan, broken relationship, bahkan trauma psikologis. Sebagai contoh, survei WHO (2021) melaporkan bahwa 1 dari 3 perempuan di dunia dan 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, sebagian besar oleh pasangan atau lawan jenis dalam relasi yang tidak sehat.
- Batasan dengan Keluarga dan Masyarakat
Islam menempatkan orang tua pada kedudukan yang sangat mulia. Allah ﷻ berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu; hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman: 14)
Namun, pada ayat berikutnya Allah memberikan batasan yang jelas:
وَإِن جَاهَدَاكَ عَلَىٰ أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا ۖ وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau taati keduanya. Namun, pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
Ayat ini mengajarkan keseimbangan, berbakti kepada orang tua adalah kewajiban besar, tetapi ketaatan kepada Allah tetap harus diutamakan. Seorang anak tidak boleh menggadaikan iman demi ridha siapa pun, termasuk orang tua. Meski demikian, Islam tetap menuntut agar hubungan dengan orang tua dijaga dengan akhlak mulia, tetap menghormati, melayani, dan berbuat baik, meskipun ada perbedaan prinsip dalam urusan agama.
Pelajaran penting dari ayat ini adalah bahwa batasan dalam keluarga bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan wujud ketegasan dalam menjaga akidah. Kasih sayang dan bakti kepada orang tua harus selalu berada dalam koridor ketaatan kepada Allah ﷻ.
Dalam lingkup pergaulan sosial, Rasulullah ﷺ memberikan panduan yang sangat jelas. Beliau bersabda:
“Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan pandai besi. Penjual minyak wangi bisa memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli darinya, atau setidaknya engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi bisa membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau busuk darinya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini menegaskan betapa besar pengaruh lingkungan terhadap arah hidup seseorang. Teman yang baik dapat menjadi sebab kita semakin dekat kepada Allah, sedangkan teman yang buruk dapat menyeret kita menuju dosa. Karena itu, tidak semua orang layak untuk dijadikan sahabat dekat atau tempat berbagi rahasia.
Bagi para pemuda dan muslimah masa kini, hal ini bermakna penting: jangan biarkan tekanan sosial membuatmu bertahan dalam lingkaran pergaulan yang merusak iman. Pilihlah teman yang mengingatkanmu kepada Allah, bukan sekadar teman yang “seru” tetapi menjauhkanmu dari ibadah. Beranilah berkata “tidak” pada pergaulan yang toxic, meskipun itu berarti kehilangan popularitas atau status sosial.
Sejatinya, teman yang baik adalah jalan menuju surga, sementara teman yang buruk bisa menjadi sebab kita terjerumus ke neraka. Oleh karena itu, menjaga batasan dalam keluarga maupun masyarakat adalah bagian dari upaya melindungi iman, kehormatan, dan masa depan seorang Muslim. []
Mi’raj News Agency (MINA)