Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Pulang kampung alias mudik, sebuah tradisi turun-temurun dari ke generasi ke generasi masyarakat di Indonesia yang tak pernah lekang oleh waktu dan tempat.
Panas terik matahari seharian. Hujan deras mengguyur jalanan. Berhimpitan di kendaraan, bermacet-macetan, atau naik motor berboncengan disertai barang-barang bawaan
Semua itu tak menyulutkan pulang ke kampung halaman, tanah kelahiran, bertemu dengan orang-orang tercinta, sahabat-sahabat lama, reunian, suasana ceria, tertawa bahagia.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Puluhan juta jiwa yang memiliki kampung halaman, dianggap ‘wajib’ hukumnya pulang kampung pada momentum Lebaran Idul Fitri. Walaupun tidak punya kampung’ sendiri. Ia bisa numpang kampung temannya atau kampung istri atau suaminya.
Persiapanya pun sungguh luar biasa spektakuler. Ada yang sudah memesan tiket kereta api tiga bulan sebelum Ramadhan tiba, demi untuk mendapatkan kursi. Ada yang sewa kendaraan jutaan rupiah. Ada pula yang nekad sekeluarga naik motor menempuh jarak ratusan kilometer. Demi ‘pulkam’.
Angkot pun jadi, naik kendaraan terbuka oke, ada juga yang menyiapkan odong-odong. Itu semua karena dorongan kuat arus mudik yang tak terelakkan.
Bicara soal mudik, tentu ada yang jauh lebih penting, yaitu bahwa kita semua pasti akan mudik alias pulang kampung, tak lain adalah ke “kampung akhirat”.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Peristiwa turun-temurun yang pasti terlaksana dan dialmi semua makhluk bernyawa, termasuk kita manusia. Tinggal menunggu list masing-masing dari Malaikat Izra’il.
Hanya sayang, mudik ke kampung akhirat ini masih belum seheboh ketika menyiapkan mudik ke kampung di dunia.
Kalau ke kampung dunia dengan bekal uang, kendaraan, makanan, dan keperluan lainnya. Sedangkan ke akhirat adalah “Bekal Takwa” yang seharusnya diperbanyak, dan masih harus terus ditingkatkan.
Allah menegur kita di dalam ayat-Nya, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (QS Al-Baqarah [2]: 197).
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Di sini Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menyiapkan bekal suatu perjalanan, dalam hal ini ayat berbicara berkaitan dengan perjalanan haji. Karena penyiapkan bekal untuk itu merupakan tindakan menghindari dari membutuhkan bantuan orang lain.
Begitulah perjalanan ke kampung akhirat, perlu lebih banyak lagi bekalnya. Tak lain bekal itu adalah takwa, yakni senantisa berusaha menjalankan segala perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya.
Shalat dan baca Quran adalah bekal ke kampung akhirat. Berdzikir dan berdoa adalah bekal ke kampung akhirat. Bersedekah dan berbagi kebajikan dengan sesama pun adalah bekal ke kampung akhirat. Ilmu dan amal kemaslahatan pun bekal. Ya, bekal menuju kampung akhirat.
Itulah bekal amal semasa di dunia. Teringat akan nasihat Al-Fudhail bin ‘Iyadh kepada orang yang sudah cukup umur, “Hendaklah engkau memperbanyak beramal shalih di sisa umur yang ada, maka Allah akan mengampuni dosa-dosamu yang terdahulu. Namun jika engkau masih berbuat maksiat di sisa umurmu, engkau akan disiksa karena dosa-dosamu yang dulu dan dosa di sisa umurmu yang ada.”
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Mi’raj News Agency (MINA)