Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Kantor Berita Islam Mi’raj (MINA).
Konflik horizontal yang terjadi di Ambon 1999 adalah sejarah kelam bagi umat Islam yang tidak akan pernah terlupakan, di mana sejak Januari hingga April 1999, ribuan Muslim Ambon dibantai.
Pengingatan tentang konflik ini bukanlah bertujuan untuk menyulut bara dendam yang telah terkubur oleh perjalanan waktu, atau untuk memelihara kebencian terhadap umat beragama lain, tetapi sejarah hitam nan pahit ini harus tetap tersimpan sebagai catatan untuk evaluasi bagi kaum Muslimin secara umum.
Berbagai peristiwa yang dalami setiap Bani Adam, akan begitu bijak, terutama untuk kejadian yang sangat merugikan harta dan jiwa, dapat dipetik berbagai pelajaran dan peringatan, jangan sampai kaki Muslimin terperosok ke dalam lubang yang sama.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Konflik dan pertikaian yang melanda masyarakat Ambon sejak Januari 1999 telah berkembang menjadi aksi kekerasan brutal yang merenggut ribuan jiwa dan menghancurkan seluruh tatanan kehidupan masyarakat.
Data per September 1999, setidaknya telah tercatat 1.132 korban tewas, 312 orang luka parah, 142 orang luka ringan. Sebanyak 765 rumah, 195 ruko serta puluhan kendaraan hangus dibakar.
Di samping itu 100.000 ribu orang sudah meninggalkan tempat tinggalnya dan sedikitnya 30.000 orang menjadi pengungsi di 60 kamp penampungan, khususnya di kota Ambon dan sekitarnya. Transportasi, khususnya transportasi udara, terhenti; harga-harga kebutuhan pokok kian melonjak dan persediaan makanan menipis; kegiatan pendidikan terhenti.
Data sejak 19 Januari 1999 sampai Desember 2000, tercatat 8.000 sampai 9.000 orang untuk seluruh Maluku dan setelahnya terus bertambah. Sekitar 700.000 orang lainnya hidup terlunta-lunta menjadi pengungsi di negerinya sendiri.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Pencetus konflik di Batu Merah
Menurut kesaksian seorang warga asli Batu Merah Dalam yang tidak mau disebutkan namanya, sebut saja namanya Habib, konflik bermula dari pertengkaran sopir angkot dengan pemuda Kristen.
Pertengkaran personal antara seorang sopir angkutan umum dan seorang pemuda adalah hal yang sudah dianggap biasa oleh masyarakat Ambon pada umumnya.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Ada dua versi yang beredar di masyarakat, versi Islam dan Kristen. Pertengkaran personal ini kemudian meluas menjadi pertikaian antar kelompok agama dan suku yang meledak menjadi kerusuhan.
Sekitar pukul 15.30 WIT, 9 Januari 1999, Habib tidak memperhatikan sama sekali apa yang sebenarnya terjadi, karena pertengkaran kecil-kecilan antara warga Muslim dan Kristen sudah begitu biasa.
Namun setengah jam kemudian, serombongan besar massa datang dan menyerang. Mereka menyeberang jembatan dan masuk ke kampung dalam jumlah besar.
Habib mengatakan, seumur hidup dia tinggal di kampung Batu Merah dan hampir mengenal semua wajah warga kampung itu. Tapi kali ini, dia sama sekali tidak mengenal wajah orang yang memimpin rombongan besar massa penyerang itu. Dia yakin orang itu bukan orang Batu Merah.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Ada lima orang yang memimpin rombongan itu dengan mengenakan kain putih pada lengannya. Habib lalu menelpon ke pihak polisi militer, tapi mereka menjawab bahwa persoalan sudah diserahkan ke polisi biasa. Mereka sendiri mengatakan tidak bisa berbuat apa-apa, karena hari itu hari libur lebaran, tidak ada orang masuk kerja.
Habib mengatakan, di antara rombongan massa itu dia melihat ada sekitar 10 orang intel berpakaian preman. Seorang di antaranya meletuskan tembakan ke udara, tetapi tidak ada hasil. Rombongan massa itu terus maju.
Rombongan massa berhenti di depan bengkel mobil yang terletak di bagian bawah dari rumah Habib. Mereka menemukan kain-kain lap kotor berlumuran minyak. Mereka menyulutnya, lalu dengan menggunakan parang-parang panjang, mereka menyulut bagian-bagian lain dari bengkel sehingga api masuk ke dalam rumah.
Rumah Habib juga dibakar sampai rata dengan tanah, seperti semua rumah yang ada di Batu Merah. Orang-orang itu juga berteriak bahwa mesjid Batu Merah sudah dibakar, meskipun sebetulnya masjid itu belum tersentuh sama sekali.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Pembantaian wujud kebencian
M. Hafidz, Wakil Ketua Komite Penanggulangan Krisis DDII juga memberi kesaksian, penyerangan yang dilakukan orang-orang Kristen terhadap Muslimin di Ambon khususnya, dan di Maluku pada umumnya, jelas-jelas menunjukkan tingginya kebencian mereka terhadap umat Islam.
Ini terbukti ketika mereka menyerang umat Islam di Hari Raya Idul Fitri 1419H, tanggal 19 dan 20 Januari 1999. Dengan kejam mereka membantai umat Islam.
“Orang-orang Kristen itu menyerang dalam keadaan mabuk. Setiap kali mereka menyerang, selalu dalam keadaan mabuk seperti itu. Senjata mereka adalah panah beracun, panah berapi, parang, tombak, bom molotov, senjata api, bahkan basoka RPG7,” kata Hafidz.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Ternyata itu semua sudah dipersiapkan sejak Oktober 1998, empat bulan sebelum mereka menyerang Muslimin. Sedang Umat Islam tidak siap apa-apa. Maka awal-awal diserangnya, umat Islam banyak jatuh korban.
Setelah Umat Islam diserang, korban-korban yang luka dibawa oleh Muslimin ke rumah sakit umum di Kampung Kuda Mati, Kota Ambon. Kampung Kuda Mati itu kampung Kristen.
Orang-orang Kristen menyerbu masuk ke rumah sakit umum itu, memeriksa para pasien dan pegawai medis RSU dengan memeriksa KTP untuk mencari orang Islam. Pasien Muslim yang ditemukan lalu dibunuhi.
Sampai-sampai, orang-orang Kristen itu menyerbu ke kantor-kantor Pemerintah Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Pos dan kantor pemerintahan lainnya di Ambon, dengan memeriksa KTP para pegawai.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Aparat lokal terlibat pembunuhan Muslimin
Masih dari kesaksian M. Hafidz, pembantaian umat Kristen terhadap Muslimin di Ambon ditambah dengan pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan, yakni polisi dan tentara lokal yang beragama Kristen terhadap umat Islam.
Di antara bukti-buktinya yaitu aparat lokal membunuhi umat Islam di Masjid Al-Huda Kampung Rinjani Ambon, 1 Maret 1999. Satu orang ditembak mati di dalam masjid dan dua orang ditembak mati di luar masjid, beberapa orang lainnya terluka.
Penembakan lainnya adalah terhadap jamaah masbuk (terlambat) shalat Subuh. Ketika jamaah lain sudah selesai shalat, korban terus melanjutkan shalat hingga akhirnya ditembak dari luar masjid. Pelakunya adalah polisi dari Polda Maluku.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Bukti kedua, penembakan di Masjid Tantui, Kampung Tomia, Ambon. Tiga orang Muslim ditembak mati oleh polisi dan tentara lokal.
Faisal Marasabessi dan Abu Bakar Nankatu dipukuli dan ditembak, sementara Baharuddin Bugis ditembak dengan senjata laras panjang yang ditempelkan di bawah tenggorokannya. Yang menembaknya adalah aparat beragama Kristen dan masih tetangga warga sendiri. Masyarakat kenal nama, pangkat, dan kesatuan aparat tersebut.
Dan memang penembak itu orang Kristen (Protestan).
Keterlibatan asing
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Orang-orang Kristen sejak awal sudah mempersiapkan diri untuk menyerang Muslimin. Parang atau golok yang dijadikan senjata, sudah dipersiapkan oleh kelompok Kristen sejak Oktober 1998. Mereka memesan ratusan parang dari Kampung Iha di Saparua. Hanya saja orang Islam tidak faham, untuk apa ratusan parang didatangkan ke Ambon oleh orang-orang Kristen.
Menurut sumber dari Komando Resort Militer (Korem) -yang tidak bisa disebutkan namanya- senjata-senjata orang Kristen diantaranya didatangkan dari Belanda yang dibarengkan dengan pengiriman jenazah.
Ada pengiriman jenazah dari Belanda ke Ambon sebanyak 6 atau 7 kali, tidak sekaligus. Peti-peti mati yang dikirim dari Belanda itu diisi pula dengan senjata basoka RPG7. Itulah yang kemudian digunakan untuk menyerang umat Islam, di antaranya di Saparua.
Pelajaran dari konflik Maluku
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Pertanyaannya: “Bisakah perkelahian sopir angkutan umum bisa membuat konflik menjadi sangat besar? Apakah itu hanya pemicu atau kejadiannya alamiah?”
Menurut dr Joserizal Jurnalis yang pernah memimpin tim medisnya ke daerah konflik Maluku, pemicu konflik Ambon hampir sama dengan pemicu Arab Spring, di mana awalnya seorang pedagang buah yang tidak diizinkan berdagang oleh keamanan, kemudian barangnya disita, lalu dia membakar diri. Setelah itu timbul demonstrasi besar-besaran di Tunisia, lalu menjalar ke seluruh Maghribi dan Timur Tengah.
“Kami masuk ke Maluku bulan April 1999, yaitu pada saat konflik di Tual, Maluku Utara,” kata Joserizal.
Dokter ahli bedah itu memaparkan sekilas pengalamannya di tengah konflik Maluku.
“Di Saparua, kampungnya Pattimura, saya sempat mendamaikan faksi-faksi Islam antara Laskar Jihad dengan Mujahidin. Mereka hampir saling bunuh dan tembak-tembakan. Padahal Muslimin masih terkepung saat itu. Kami memiliki kesempatan menjelajah seluruh Maluku.
Begitu juga di Tobelo, Halmahera Utara. Berita saat itu menyebutkan ada 3.000 Muslim yang terbunuh. Kami masuk setelah itu, setelah kapal mengevakuasi warga dari Galela.
Kami berada di Desa Galela lebih kurang satu bulan. Ketika kami datang ke sana, penduduk ketakutan. Pada saat terjepit dan terkepung oleh kelompok Kristen, pertolongan Allah datang. Galela bisa diselamatkan.”
Ketika Muslim di Galela terkepung oleh Pasukan Merah (Kristen) dari lima penjuru darat, sehingga ribuan Muslim terjepit ke laut, hanya ada empat dokter Tim MER-C yang masih bertahan bersama penduduk, yaitu dr Joserizal Jurnalis, dr Indragiri, dr Yogi, dan dr Herman.
“Setelah kami datang dan memberikan pertolongan dan pengobatan, Muslim di Galela mulai semangat lagi, kembali ada harapan untuk hidup. Sebelumnya mereka sudah pasrah, karena kubu orang Tobelo kuat, lebih agresif dari orang Galela. Akhirnya orang Galela bisa mempertahankan diri dan melakukan serangan balik. Namun begitu Muslim leading (bangkit), umat Islam pecah lagi. Sampai pemilihan kepala daerah pun pecah,” ujar Joserizal.
Dari analisanya, Anggota Presidium MER-C itu menyimpulkan beberapa pelajaran:
Pertama, konflik kecil bisa menjadi konflik besar dan meluas serta berkepanjangan.
Kedua, umat Islam selalu tidak siap.
Persiapan yang matang dari kubu Kristen, menunjukkan bahwa di masa tenang bukan berarti orang-orang kafir itu mengikhlaskan umat Islam hidup damai dan normal. Artinya, umat Islam juga harus menyiapkan diri untuk berbela diri ketika sedang masa tenang tanpa sengketa dengan umat yang lain.
Ketiga, ketika umat Islam sudah bangkit, timbul perpecahan.
Perpecahan Muslimin di masa-masa mereka terkepung, menunjukkan bahwa perbedaan bendera dan pemimpin sangat rawan memicu kelemahan dari dalam sendiri. Hal itu berarti umat Islam secara umum masih memiliki satu masalah besar dalam tubuhnya, yaitu masih terkotak-kotak oleh corak dan warna kelompok.
Maka adalah suatu yang sangat penting dan utama bagi seluruh Muslimin untuk melepaskan segala warna ragam pakaian kelompoknya dan mengikuti satu komando pemimpin saja.
Keempat, selalu ada skenario global.
Dan tidak bisa juga diabaikan tentang keterlibatan bangsa asing dalam menargetkan umat Islam secara khusus dan Indonesia umumnya. Tidak hanya di Indonesia, berbagai peristiwa dunia di mana umat Islam menjadi korban terbesar, ada skenario global yang disutradarai Amerika dan Zionis.
Pesan untuk Eropa yang terjadi kemudian
Dr Joserizal mengungkapkan, tentang pembantaian di Tobelo, Maluku, ceritanya dibawa berkeliling Eropa.
“Saya dan teman-teman diberi kesempatan untuk bicara di kampus-kampus, gereja, di Parlemen Belgia, dan beberapa media masa di Belanda dan Belgia. Kami ingin menyampaikan pesan bahwa konflik Maluku seperti ini sangat berbahaya, karena konflik ini menyangkut sendi-sendi dasar kehidupan manusia, yaitu agama,” kata dokter kelahiran Padang, Sumatera Barat itu.
Joserizal mengatakan, konflik Maluku adalah konflik yang bersifat Horisontal. Fakta di lapangan adalah antara umat Islam dan Kristen Protestan.
Menurutnya, Kristen Katolik tidak terlibat saat itu, hanya ikut-ikutan, pemain utamanya adalah Kristen Protestan. Di Ambon, Kristen kebanyakan Protestan, sedang di Maluku Tenggara adalah Katolik.
“Kami menyampaikan kepada masyarakat Eropa, jangan bermain-main dengan konflik agama. Kalau Anda main-main, akan terjadi sesuatu yang besar. Dan ternyata, setelah itu memang terjadi, yaitu peristiwa 11 September 2001, di mana terjadi serangan terhadap gedung Pentagon dan gedung kembar WTC di Amerika Serikat.”
Dan berikutnya, umat Islam dunia menjadi sasaran tembak skenario global Amerika. (P09/EO2).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Sumber: dr Joserizal Jurnalis (Anggota Presidium MER-C), hendrikofirman.wordpress.com, VOA Islam, Republika.