KADANG aneh, katanya ingin hidup tenang, nyaman dan damai, tapi kenapa tidak mau saling memaafkan dengan sesama? Memaafkan itu meski berat tapi efek positifnya luar biasa. Jika ingin terus berada dalam perasaan yang tidak pernah nyaman dan tenang, maka silahkan saja hidup dengan tidak saling memaafkan.
Apa sih sebenarnya yang membuat hati keras sehingga sumpah mati tidak akan mau memaafkan atau saling memaafkan? Allah saja yang menciptakan manusia mau memaafkan si pendosa sekalipun. Lah, kita kadang begitu sombong, tidka sadar sudah melebihi Allah yang maha memaafkan. Emangnya kita ini siapa?? Emangnya kita ini tidak akan mati selamanya? Sadarlah, maafkan dan saling memaafkan karena itu akan menjadikan hidup lebih sakinah.
Memaafkan bukan berarti kita lupa, tapi memilih untuk tidak terus-menerus terluka. Saat hati belum ikhlas, memaafkan tetaplah langkah awal menuju ketenangan. Luka yang membekas memang pedih, namun membiarkannya bernanah jauh lebih menyakitkan. Kita bukan lemah karena memaafkan, justru itulah kekuatan sejati yang tersembunyi.
Tidak mudah memaafkan ketika hati masih menangis diam-diam. Namun setiap tetes air mata yang jatuh bisa menjadi saksi bahwa kita sedang bertumbuh. Memaafkan bukan hadiah untuk orang lain, tapi obat untuk jiwa kita sendiri. Kita layak merdeka dari rasa benci yang menyesakkan dada.
Baca Juga: Rendah Hati di Zaman yang Mengagungkan Eksistensi
Ada luka yang tidak terlihat, tapi mencengkram perasaan setiap hari. Kita sering kali merasa tidak adil saat diminta memaafkan tanpa adanya permintaan maaf. Namun sesungguhnya, memaafkan bukan tentang mereka—ini tentang kita yang ingin pulih. Tentang kita yang ingin hidup tanpa terus-menerus terikat oleh masa lalu.
Hati mungkin belum rela, tapi jangan biarkan itu jadi alasan untuk terus menyimpan racun. Memaafkan adalah proses, bukan keputusan sekejap. Setiap hari adalah latihan kecil untuk mengikhlaskan, meski perlahan. Meski belum tuntas, yang penting kita mulai berjalan.
Ikhlas memang bukan hal yang mudah. Tapi kita bisa belajar mencicilnya dengan berusaha memahami, bukan sekadar melupakan. Mungkin kita tidak bisa menghapus luka, tapi kita bisa belajar hidup tanpa menyentuhnya terus. Jangan biarkan luka mengendalikan siapa kita hari ini.
Kadang kita harus menangis agar bisa melepaskan. Kadang kita perlu sunyi untuk mendengar suara hati yang sebenarnya ingin damai. Jangan merasa gagal hanya karena belum bisa ikhlas sekarang. Semua orang punya waktunya masing-masing untuk sembuh.
Baca Juga: Jangan Hanya Islam di KTP, Jadikan Islam di Hati
memaafkan/">Belajar memaafkan tidak harus menunggu hati sepenuhnya siap. Karena sering kali kesiapan itu datang justru setelah kita mencoba. Seperti langkah pertama anak kecil yang goyah tapi berani. Tuhan melihat setiap upaya, bukan hanya hasil akhirnya.
Setiap luka yang kita maafkan, adalah tanda bahwa kita tidak ingin membiarkan kebencian menetap terlalu lama. Kita berhak bahagia, dan kebahagiaan tidak tumbuh dalam tanah yang dipenuhi dendam. Saat kita memberi maaf, kita sedang membangun taman ketenangan dalam diri. Sebuah taman yang butuh dirawat meski perlahan.
Tak perlu pura-pura kuat saat hati masih nyeri. Tapi jangan juga membiarkan sakit itu menjadi rumah permanen. Memaafkan bukan berarti membiarkan mereka menyakiti lagi, tapi membebaskan diri dari kendali masa lalu. Kita boleh tegas, sekaligus tetap memaafkan.
Jangan tunggu orang itu meminta maaf dulu untuk mulai melepaskan. Karena tidak semua orang sadar bahwa mereka telah menyakiti kita. Tapi kita bisa sadar bahwa kita tidak ingin disakiti dua kali oleh ingatan yang kita pelihara sendiri. Kita punya pilihan untuk menyembuhkan diri, tanpa harus bergantung pada penyesalan mereka.
Baca Juga: Ini Cara Islam Memberantas Judi Online di Kalangan Rakyat Kecil
Memaafkan itu seperti membuka jendela di ruangan yang lama tertutup. Udara baru masuk, sinar cahaya menyelinap, dan jiwa kita mulai bisa bernapas lega. Hati mungkin belum tenang sepenuhnya, tapi setidaknya kita tahu arah yang ingin dituju. Menuju damai, bukan menuju balas dendam.
Tak perlu buru-buru ikhlas. Tuhan pun memahami luka yang kamu bawa. Tapi jangan berhenti di luka itu saja—karena kamu diciptakan untuk lebih dari sekadar terluka. Kamu diciptakan untuk tumbuh, meski dari puing-puing kecewa.
Ada keindahan dalam setiap usaha untuk memaafkan. Bahkan ketika hati menolak, tapi kita tetap memilih jalan itu, Tuhan menulisnya sebagai kekuatan. Ketika kita tidak menyerah pada kebencian, saat itulah cahaya mulai masuk. Dan perlahan, gelap yang menyesakkan itu pun mulai pudar.
Memaafkan adalah bentuk cinta tertinggi pada diri sendiri. Karena kita tahu, hati ini terlalu berharga untuk dipenuhi dendam dan kemarahan. Kita layak bahagia, dan memaafkan adalah langkah berani untuk meraihnya. Walau perlahan, walau dengan air mata, tetaplah melangkah.
Baca Juga: Al-Quds Gerbang Bumi Menuju Surga
Ketika kamu mulai memaafkan meski belum ikhlas, itu sudah cukup untuk menunjukkan betapa indahnya jiwamu. Hati yang tulus akan menyusul, seiring waktu dan kesabaranmu. Tuhan tahu semua perjuangan yang tak terlihat itu. Dan Dia, tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap luka yang kamu coba sembuhkan sendiri.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: 20 Tahun BDS, Konsisten Serukan Aksi Global Akhiri Apartheid Israel