MENJADI manusia bijak dan rendah hati adalah perjalanan spiritual yang tidak pernah usai. Ia bukanlah tujuan yang mudah dicapai, tetapi proses panjang yang mengasah jiwa setiap hari. Kebijaksanaan bukan sekadar pengetahuan, tapi kemampuan memahami makna terdalam kehidupan. Sedangkan kerendahan hati adalah mahkota kepribadian yang hanya dimiliki oleh mereka yang dekat dengan Allah.
Allah berfirman dalam QS. Al-Furqan ayat 63: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.” Sikap rendah hati bukan berarti lemah, melainkan kekuatan sejati untuk tidak terjebak dalam keangkuhan. Orang yang rendah hati mudah menerima nasihat, belajar dari kesalahan, dan senantiasa terbuka terhadap kebenaran. Inilah jiwa yang tumbuh dan terus berkembang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan sempurna dalam kebijaksanaan dan kerendahan hati. Beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau sebesar biji sawi.” (HR. Muslim). Meski menjadi manusia paling mulia, beliau tetap sederhana, santun, dan dekat dengan orang-orang miskin. Ini membuktikan bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari hati yang tunduk kepada Allah, bukan dari kekuasaan atau status sosial.
Langkah pertama menjadi manusia bijak adalah memperbanyak mendengar sebelum berbicara. Dengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga, karena sering kali orang ingin dimengerti lebih dari sekadar dijawab. Diam dalam kebijaksanaan lebih baik daripada berbicara dalam kebodohan. Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan itu adalah karunia luar biasa (QS. Al-Baqarah: 269).
Baca Juga: Sukses Versi Dunia, Tapi Gagal di Akhirat: Masih Mau?
Langkah kedua, perbanyak muhasabah diri. Seringlah bertanya pada hati, “Sudahkah aku berlaku adil hari ini? Sudahkah aku menjadi manfaat bagi orang lain?” Karena kebijaksanaan lahir dari hati yang jujur dan tahu batas. Kerendahan hati tumbuh dari kesadaran bahwa kita hanyalah hamba yang hina di hadapan Allah.
Langkah ketiga, pelihara rasa syukur dan hindari kesombongan. Setiap keberhasilan bukan semata hasil usaha kita, tapi rahmat Allah. Ketika kita sadar bahwa segala yang kita miliki adalah titipan, maka tak akan ada ruang untuk membusungkan dada. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong, dan jangan berjalan di muka bumi dengan angkuh.” (QS. Luqman: 18).
Langkah keempat, berkumpullah dengan orang-orang shalih dan berilmu. Mereka akan memantulkan cahaya kebijaksanaan yang bisa menyinari langkah kita. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang akan berada di atas agama temannya, maka perhatikanlah dengan siapa kamu berteman.” (HR. Abu Dawud). Lingkungan yang baik akan mengasah kepekaan nurani dan melatih kesabaran serta keikhlasan.
Langkah kelima, jadilah pemaaf dan hilangkan dendam dari hati. Orang bijak tidak mudah marah, dan yang rendah hati tidak menyimpan benci. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali ‘Imran: 134). Dengan memaafkan, hati menjadi lapang dan jiwa pun menjadi damai.
Baca Juga: Sibuk Cari Cuan, Tapi Tak Sempat Baca Al-Qur’an: Hidup Macet di Akhirat!
Langkah terakhir, teruslah belajar sepanjang hayat. Belajarlah dari kesalahan, dari kegagalan, dari kata-kata orang lain, dan bahkan dari diamnya semesta. Semakin tinggi ilmu seseorang, seharusnya semakin rendah hatinya. Karena semakin kita tahu banyak, kita akan sadar bahwa masih banyak yang tidak kita tahu.
Akhirnya, menjadi bijak dan rendah hati bukan sekadar menjadi pribadi yang disukai manusia, tapi menjadi pribadi yang diridhai Allah. Keindahan hidup bukan terletak pada seberapa banyak kita dipuji, tapi seberapa tulus kita melayani dan merendah. Jadilah seperti padi yang semakin berisi, semakin menunduk. Dan jadikan hidup ini persembahan terbaik untuk Allah, bukan panggung untuk ego diri.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: GIIAS 2025 Tawarkan Inovasi Otomotif