Oleh: Rendy Setiawan*
Menjadi muslim di Indonesia tidaklah mudah. Indonesia, negara dengan pluralitas penduduknya, tidak mengurangi cita rasa harmonisasi di tengah kemajemukan suku, budaya, adat, bahkan hingga agama. Banyak adat yang dimiliki oleh Indonesia.
Banyak bahasa yang dipakai di Indonesia. Ada banyak pula agama dan kepercayaan yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Namun, hanya ada satu agama yang menjadi mayoritas di negeri ini, itu adalah Islam.
Meski sebagai agama mayoritas, namun sering kali Islam dianggap sebagai agama intoleran, penyebar teror yang mesti diwaspadai keberadaannya, agama yang berbahaya. Bahkan oleh sesama muslim sendiri. Ini yang mendasari penulis menorehkan catatan singkat untuk kita hayati bersama.
Baca Juga: Catatan Pilkada 2024, Masih Marak Politik Uang
Anggapan-anggapan miring tentang Islam itu justru yang menjadi sebuah pertanyaan besar. Mengapa Islam justru tersebar hingga menjadi agama mayoritas yang dianut masyarakat Indonesia?
Secara geografis, Indonesia terletak di kawasan yang sangat strategis dalam jalur perdagangan masa silam. Terlebih, di awal abad pertengahan ketika dunia baru memulai langkah menuju kemajuan di berbagai bidang, Indonesia sudah menjadi salah satu pangsa pasar yang penting bagi dunia internasional, termasuk pedagang muslim dari Gujarat, Arab, hingga India. Hal ini yang menyebabkan Islam dengan mudah masuk ke wilayah Indonesia.
Selain melalui jalur perdagangan yang sudah umum diketahui, Islam kemudian mengajarkan kepada pemeluknya bagaimana hidup berdampingan dengan penganut ajaran lain, bagaimana menyikapi penganut agama lain yang keras terhadap Islam. Sehingga Islam mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat negeri ini. Ajaran inilah yang kemudian dikenal dengan toleransi dan berbagai bentuk cabangnya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna toleransi adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Baca Juga: Masih Kencing Sambil Berdiri? Siksa Kubur Mengintai Anda
Makna yang terkandung ini sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip toleransi yang diajarkan Islam. Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’alamin” (Agama yang mengayomi seluruh alam).
Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad Shallallahu Alaihi Wasallam di Madinah.
Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-13] Mencintai Milik Orang Lain Seperti Mencintai Miliknya Sendiri
Berbicara sejarah Islam berarti berbicara sejarah toleransi. Perkembangan Islam ke wilayah-wilayah luar Jazirah Arab yang begitu cepat menunjukkan bahwa Islam dapat diterima sebagai rahmatal lil’alamin. Tak bisa dipungkiri memang, banyak buku-buku sejarah yang tersebar di masyarakat yang menceritakan tentang peperangan antara Islam dan non Islam.
Diakui atau tidak, peperangan bukanlah langkah pertama dalam menyebarkan Islam. Sering kita jumpai, para khalifah Islam, bahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri sering kali mengutus seorang utusan untuk menyampaikan risalah Islam. Ketika mereka enggan, maka ditetapkan atas mereka membayar jizyah sebagai bentuk keamanan. Namun, apabila mereka menolak, dan malah menunjukkan sikap permusuhan, maka tak ada jalan lain kecuali berperang.
Ini bentuk toleransi yang nyata-nyata Islam ajarkan sejak awal kemunculannya untuk kemaslahatan bersama.
Toleransi Masa Kini
Baca Juga: Memilih Pemimpin dalam Islam
Muslim di manapun tetaplah seorang muslim yang memiliki landasan pokok tersendiri. Al Quran dan Al Hadits. Kedua sumber ini sudah menjadi rujukan bersama semua golongan muslim dari berbagai macam madzhabnya yang tersebar di seluruh wilayah dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Dari dulu hingga sekarang, muslim sejati yang menjujung toleransi tetaplah sebagai muslim seperti itu, tidak bergeser sedikitpun, apalagi berubah menjadi muslim intoleran, muslim garis keras seperti anggapan miring yang selama ini kita terima.
Aksi Bela Islam yang dilakukan beberapa kali dengan jumlah begitu fantastis yang tidak pernah kurang dari satu juta umat dalam setiap kali aksinya adalah contoh nyata betapa kaum muslimin di Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai toleransi.
Dalam kaitan ini, penulis tidak berbicara tentang tersangka penista agama, tetapi bagaimana damainya Aksi Bela Islam, yang kemudian dinilai oleh sebagian pihak bahwa Aksi Bela Islam merupakan aksi terbesar dan paling damai sepanjang sejarah peradaban umat manusia.
Baca Juga: Saat Dua Syaikh Palestina Ziarah ke Makam Imaam Muhyiddin Hamidy
Sebagai akhir tulisan singkat ini, penulis ingin mengingatkan kembali bahwa toleransi di dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang alami, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial).
Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Islam telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-12] Tinggalkan yang Tidak Bermanfaat
Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan. (R06/RS1)
*Penulis adalah Mahasiswa STAI AL-FATAH dan Jurnalis MINA
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!