Jakarta, MINA – Akhir-akhir ini, suhu udara di berbagai wilayah Indonesia terasa lebih dingin dari biasanya, terutama saat malam dan dini hari. Padahal BMKG menyatakan bahwa Indonesia telah memasuki musim kemarau.
Para pengguna media sosial kemudian mengaitkannya dengan Fenomena Aphelion, di mana pada saat fenomena itu terjadi, jarak bumi dan matahari sangat jauh sehingga dinilai sebagai penyebab udara semakin dingin.
Beberapa unggahan di media sosial menyebut, Fenomena Aphelion sedang terjadi dan dampaknya akan terasa sejak Selasa (9/7) pagi hingga Agustus 2024.
Situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun melabeli unggahan ini sebagai “hoaks.”
Baca Juga: Update Bencana Sukabumi: Pemerintah Siapkan Pos Pengungsian
Apa Itu Fenomena Aphelion?
Fenomena Aphelion merupakan sebuah peristiwa astronomi ketika bumi berada di titik terjauh dari matahari.
Menurut Time and Date, fenomena alam ini terjadi sekitar dua pekan setelah titik balik matahari bulan Juni. Karena bumi mengorbit matahari dalam lintasan elips maka ada titik terdekat dan terjauh dari matahari. Titik terdekat disebut Perihelion dan titik terjauh dikenal sebagai Aphelion.
Mengutip Scientific American, jarak rata-rata bumi ke matahari sekitar 149.597.870,7 km. Saat Aphelion terjadi pada bulan Juli, jarak bumi akan menjadi 1,5 persen lebih jauh dari biasanya.
Baca Juga: PSSI Anggarkan Rp665 M untuk Program 2025
BRIN menyebut, tahun ini Fenomena Aphelion terjadi di langit Indonesia dan dunia pada Jumat (5/7) pukul 12.06 WIB. Peristiwa itu banya terjadi sesaat dan sulit dilihat dengan mata telanjang manusia. Hal itu karena perubahan jarak matahari terhadap bumi yang relatif kecil.
Bagaimana Dampak Fenomena Aphelion?
Berdasarkan laporan LAPAN BRIN, posisi bumi yang berada di titik terjauh dari matahari ini tidak mempengaruhi perubahan suhu panas atau dingin yang diterima oleh bumi.
Menurut BMKG, dampak Fenomena Aphelion adalah diameter matahari akan tampak lebih kecil, yaitu sekitar 15,73 menit busur atau berkurang sekitar 1,68 persen.
Baca Juga: Naik 6,5 Persen, UMP Jakarta 2025 Sebesar Rp5,3 Juta
Pada saat Fenomena Aphelion tahun ini, jarak dari pusat matahari ke pusat bumi adalah 152.099.968 km. Sementara, saat Perihelion, bumi berjarak 147.100.632 km dari matahari.
Perbedaan jarak bumi-matahari pada Perihelion dan Aphelion adalah sekitar 5 juta km atau sekitar 3 persen jarak rata-rata Matahari-Bumi.
“Perbedaan jarak tersebut akan membuat ukuran ketampakan matahari sedikit mengecil/membesar, hanya sekitar 3 persen saja,” mengutip Time and Date.
“Perlu diketahui, hal ini (Aphelion dan Perihelion) tidak akan memberikan efek apapun yang signifikan pada suhu permukaan bumi,” tambahnya.
Baca Juga: Bulog: Stok Beras Nasional Aman pada Natal dan Tahun Baru
BMKG, dalam keterangan di situsnya menyatakan, Fenomena Aphelion “tidak berpengaruh banyak pada fenomena atmosfer atau cuaca di permukaan bumi.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Fenomena Aphelion tidak memberikan dampak signifikan pada perubahan di bumi. Sehingga suhu dingin di Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh Fenomena Aphelion.
Apa Penyebab Suhu Dingin di Indonesia?
BMKG menuturkan fenomena suhu udara dingin sebetulnya merupakan fenomena alamiah yang umum terjadi di bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli – September).
Baca Juga: Media Ibrani: Empat Roket Diluncurkan dari Gaza
Saat ini, wilayah Indonesia khususnya bagian selatan masih berada pada musim kemarau. Sejak tiga hari terakhir, cuaca cerah mendominasi hampir di seluruh pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan.
Angin dominan dari arah timur membawa massa udara kering dan dingin dari daratan Australia ke Indonesia sehingga tidak mendukung pertumbuhan awan. Hal ini menyebabkan langit menjadi cerah sepanjang hari.
“Kurangnya tutupan awan pada malam hari menyebabkan radiasi panas dari permukaan bumi terpancar ke atmosfer tanpa ada hambatan, mengakibatkan penurunan suhu yang signifikan,” ungkap BMKG dalam Prospek Cuaca Mingguan Periode 16–22 Juli.
Faktor lainnya adalah angin yang tenang di malam hari menghambat pencampuran udara. Sehingga udara dingin terperangkap di permukaan bumi.
Baca Juga: BRIN Kukuhkan Empat Profesor Riset Baru
BMKG menyebut daerah dataran tinggi atau pegunungan cenderung lebih dingin karena tekanan udara dan kelembaban yang lebih rendah. Ini membuat beberapa wilayah pegunungan seperti Dieng mengalami fenomena embun es (embun upas) yang dikira salju.
“Kondisi dingin ini merupakan fenomena umum yang umum terjadi di Indonesia saat musim kemarau,” pungkas BMKG.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Jateng Raih Dua Penghargaan Nasional, Bukti Komitmen di Bidang Kesehatan dan Keamanan Pangan