Catatan perjalanan Wartawan MINA dalam misi Palu, Donggala dan Sigi bersama tim MER-C
Sejarawan dari Universitas Tadulako, Andriansyah Mahid, menjelaskan, Suku Kaili di Palu, Sulawesi Tengah, memiliki ritual pengobatan nonmedis dalam bentuk sebuah upacara adat bernama Baliya Jinja. Upacara yang dipimpin oleh tetua adat Tina nu Baliya ini diandalkan suku Kaili untuk mendapatkan petunjuk penyembuhan penyakit dari nenek moyang.
Ritual Balia Jinja kerap dilaksanakan sebelum agama Islam masuk ke Sulawesi Tengah. Menurutnya, tradisi ini sebenarnya sudah lama lenyap sejak kedatangan guru tua Habib Idrus bin Salim (SIS) Al Jufri, yang disebut masih memiliki sanad keturunan dari Baginda Rasulullah SAW.
SIS Al-Jufri menjadi perintis dakwah Islam di Palu dan Sulawesi pada umumnya. Ia mendapat tempat di hati masyarakat Palu, perannya dalam menghapus kesyirikan dan menuntun umat kepada cahaya Islam diakui hingga saat ini. Nama SIS Al-Jufri masih masih dikenang oleh masyarakat Palu dan kemudian menjadi nama jalan, rumah sakit dan bandar udara Palu.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Kembali ke Nomoni, Menurut Andriansyah, ritual itu dilakukan karena masyarakat suku Kaili (suku asli Sulawesi Tengah) masih menganut animisme dan dinamisme kala itu sehingga masih percaya pada kekuatan roh nenek moyang.
“Setiap adakan sesuatu pasti harus ada sesajen, sama seperti masyarakat nusantara pada umumnya sebelum mengenal Islam,” kata Andriansyah
Dia pun menuturkan, ritual Balia diselenggarakan untuk mengharapkan perlindungan dan keselamatan dari roh nenek moyang atau tempat yang dianggap keramat.
Menurutnya, ritual itu biasanya diselenggarakan ketika ditemukan warga atau masyarakat yang tak kunjung sembuh dari penyakit yang diderita atau penyakit karena gangguan kekuatan supranatural.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-20] Tentang Istiqamah
Namun demikian, Andriansyah berkata, ritual Balia mulai jarang dilaksanakan oleh warga suku Kaili. Dia berkata, masyarakat yang masih menjalankan ritual Balia antara lain tinggal di daerah Balaroa, Donggala, dan Pantai Barat.
Prosesi Upacara Baliya
Sementara Tina tu Baliya duduk mengelilingi si penderita sakit, masyarakat suku Kaili melakukan ritual Pompoura dengan cara menginjak-injak bara api diiringi alunan suling Lalove, genderang Gimba, serta gong.
Seruling Lalove berukuran lebih dari 80 cm tersebut dapat mendatangkan roh dan menyebabkan kerasukan. Lalove dibunyikan dengan cara seperti sedang meniup bara api. Suara yang dihasilkannya pun tidak putus. Ia ditemani pukulan Gimba, sejenis tambur atau genderang yang terbuat dari kayu, kulit anoa atau sapi, serta rotan.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Prosesi dimulai dengan persiapan berbagai bahan upacara mulai dari dupa, keranda, buah-buahan, hingga hewan seperti ayam, kambing, atau kerbau tergantung kasta sang penyelenggara prosesi.
Ketika persiapan rampung, pawang yang harus dibawakan oleh laki-laki mulai menyebut jampi dan mantra. Ia menyebutkan berbagai mantra untuk memanggil arwah dan memberikan sejumlah sesajian berbeda pada tiap prosesi yang diletakkan dekat dupa.
Tarian khas balia juga harus terus dilakukan menemani orang sakit yang diusung hingga acara puncak, penyembelihan hewan kurban. Hewan kurban tersebut adalah simbol harapan kesungguhan atas kesembuhan.
Tahapan selanjutnya, yakni prosesi ritual Moraro. Sambil menari, penari yang mayoritas wanita berusia 50 tahun ke atas, menombak kambing dan seekor ayam yang sebelumnya telah disiapkan. Tujuannya untuk mengambil darah yang nantinya akan dioleskan di tubuh orang yang sakit.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Tahap terakhir, pelepasan sesaji dan ayam ke sungai/laut, sekaligus memandikan orang yang sakit. Proses ini memiliki makna, jika dimandikan di sungai, maka penyakit akan hilang mengikuti aliran sungai yang bermuara ke samudera luas dan tidak akan kembali lagi.
“Dalam sesajen itu terdapat pinang, gambir, tembakau, koin, kue tradisional, dan beberapa lainnya. Semua ini nantinya akan dilarung ke laut.
Ritual Baliya inilah yang diselenggartakan dalam Festival Pesona Palu Nomoni 2018.
Kontroversi Nomoni
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Palu Nomoni berati artinya palu berbunyi. Acara ini akan dilaksanakan pada 28 September – 3 Oktober 2018, di Kota Palu.
Festival Nomoni menyedot perhatian masyarakat persis ketika gempa Palu terjadi. Warga ketika itu berkumpul di Pantai Talise untuk menyaksikan pagelaran tersebut sebelum gempa dan tsunami meratakan kota.
“Pesona Palu Nomoni sudah pasti keren. Ini menjadi kegiatan yang wajib Anda sambangi. Sajiannya beragam, konsepnya pun matang. Beragam sajian budaya akan mewarnai perhelatan ini,” kata Menteri Pariwisata, Arief Yahya, yang membawa Kemenpar menjadi kementerian nomor 1 dan terpilih sebagai #TheBestMinitryOfTourism2018 se-Asia Pacific di Bangkok, Senin ( 24/9/) seperti diberitakan Suara.com.
Tradisi itu dihidupkan kembali sejak terpilihnya pasangan Hidayat-Sigit Purnomo Said (Pasha Ungu) pada 2016 silam. tradisi itu sendiri biasanya identik dengan kain berwarna kuning yang menjadi hiasan panggung ataupun ruangan yang dijadikan tempat pengobatan tersebut.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Menurut salah seorang Warga, Andi Ahmad, ritual upacara itu dilakukan dengan menghanyutkan sesajen seperti makanan ke laut dan hewan ternak seperti kambing,
“Jadi memang tradisi ini identik dengan roh halus, sejak 2016 dihidupkan kembali, memang 2016 dan 2017 itu setiap dirayakan angin kencang trus, saat ini barulah tsunami,” paparnya.
Sejumlah korban gempa menyuarakan kekecewaannya terhadap ritual Balia yang dihadirkan dalam festival tersebut. Warga menganggap salah satu adat suku Kaili itu sebagai penyebab terjadinya gempa Palu karena ritual itu penuh dengan unsur kesyiikan.
Warga lainnya bernama Iki, warga Kelurahan Lere, Palu Barat. Dia mengaku kecewa dengan ritual balia yang sudah lama punah, belakangan dihidupkan kembali dalam Festival Palu Nomoni di era kepemimpinan Hidayat-Sigit Said Purnomo alias Pasha Ungu
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Iki mempercayai bencana gempa dan tsunami yang melanda wilayah Sulteng disebabkan oleh ritual Balia dalam Palu Nomoni.
Warga Palu lain, Mudar, senada dengan Iki. Dia mengatakan sejak diselenggarakan secara rutin setiap tahun mulai 2016, Palu Nomoni senantiasa menghadirkan peristiwa alam.
“Pada 2016, terjadi gempa di daerah Bora dan Sigi Biromaru. Kemudian, pada 2017, terjadi angin kencang dan hujan deras di Talise. Sedangkan pada 2018, terjadi gempa dan tsunami yang melanda tiga wilayah”, paparnya.
“Baru diadakan tiga kali dan selalu terjadi peristiwa ketika pembukaan Palu Nomoni,” tambah Mudar.
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
Tercatat ada sepuluh ritual yang harus dilakukan dalam prosesi Balia yang terdiri atas ritual pompoura atau tala bala’a, ritual adat enje da’a, ritual tampilangi ulujadi, pompoura vunja, ritual manuru viata, ritual adat jinja, balia topoledo, vunja ntana, ritual tampilangi, dan nora binangga. (A/P2/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Hari HAM Sedunia: Momentum Perjuangan Palestina