Bencana dalam Perspektif Islam (Bagian 2)

Oleh: Dr. , Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam

Sikap Menghadapi

Sebagai seorang muslim apabila mendengar atau mengalami musibah hendaknya mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami kembali”.

Sikap positif yang harus dikembangkan ketika menghadapi musibah antara lain; sabar, tawakkal, ikhlas, taubat, optimis, waspada, kritis, berprasangka baik, bersyukur, dan berdoa.

  1. Sabar

Musibah yang ada semuanya datang dari Allah dan merupakan ujian hidup bagi kita. Berbagai cobaan yang ditimpakan Allah ini, merupakan cara Allah menguji kita manusia apakah kita sabar menghadapi musibah tersebut atau tidak. Allah berfirman pada surat Al-Baqarah [2]:155 – 157 yang telah disebut diatas.

Sabar artinya tahan menderita. Sedangkan sabar dalam al-Qur’an mencakup pengertian kokoh pendirian, gigih, ulet, tahan menderita tanpa gelisah, tanpa keluh kesah.

Dengan demikian, sabar dapat menjauhkan kita dari perasaan cemas, gelisah dan frustrasi. Bahkan, sabar akan membawa kita kepada ketenteraman batin.

Dengan bersabar, kita dapat mendidik jiwa dan memperkuat pribadi, serta menambah kemampuan untuk memikul kesulitan, menghadapi problematika hidup, dan menerima musibah. Sabar juga dapat membangkitkan kemampuan untuk melanjutkan kehidupan, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS. Ali Imran [3]:200)

Sabar mengajarkan kita untuk terbiasa bekerja dan mengerahkan tenaga untuk mencapai tujuan hidup. Jadi, sabar bukan berarti pasrah pada nasib dan pasrah menerima musibah. Tetapi, kita harus berupaya dengan giat dan terus menerus agar nasib itu berubah dan kita dapat keluar dari musibah. Inilah hakikat sabar.

  1. Tawakal

Tawakal artinya berserah diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sikap tawakal mengandung makna penerimaan sepenuhnya terhadap kenyataan diri dan basil usahanya sebagaimana adanya. Atau dengan perkataan lain, mau dan mampu menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri.

Kalau kita tidak mau dan tidak mampu menerima dirinya (keadaannya sebagaimana adanya), maka kita akan merasa tertekan, gelisah, cemas, dan takut, bahkan lebih dari itu. Dengan kata lain, kalau kita tawakal maka rasa tertekan, gelisah, cemas dan takut akan hilang dari diri kita.

Tawakal juga berarti mempercayakan diri kepada Allah. Dengan demikian, tawakal merupakan bukti bahwa kita beriman. Tawakal dan iman berhubungan erat. Tawakal adalah tindak lanjut dari iman, sedangkan iman tidak akan ada tanpa tawakal.

Tawakal bukanlah sikap pasif, pasrah tanpa usaha dan melarikan diri dari kenyataan. Tawakal adalah sikap aktif yang tumbuh hanya dari pribadi yang memahami hidup dengan tepat, serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa seruan kepada manusia untuk bertawakal, antara lain:

a. Tawakal dikaitkan dengan sikap percaya (iman)

وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ…

“…Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Q.S. Al-Maidah [5]:23).

b. Tawakal kepada Allah setiap kali kita mengambil keputusan penting. Fungsi tawakal di sini adalah agar kita memiliki keteguhan hati dalam menetapkan dan melaksanakan keputusan Allah tersebut. Firman Allah:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ…

“…Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran [3]: 159)

c. Tawakal kepada Allah merupakan kemantapan keyakinan bahwa segala sesuatu kembali kepada-Nya, dan kita harus menyembah Dia Yang Maha Esa saja.

وَلِلَّهِ غَيْبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ ٱلْأَمْرُ كُلُّهُۥ فَٱعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Hud [11]: 123)

d. Tawakal diperlukan untuk meneguhkan hati apabila kita yakin dengan tulus dan ikhlas bahwa kita berada dalam kebenaran Allah berfirman:

فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ إِنَّكَ عَلَى ٱلْحَقِّ ٱلْمُبِينِ

Sebab itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata. (QS. An-Naml [27]:79)

  1. Ikhlas

Apakah ikhlas itu? Ikhlas adalah suci murni, tidak tercampur. Maksudnya, ikhlas adalah mengerjakan ibadah dan kebajikan hanya karena Allah, dan semata mengharapkan keridlaan Allah. Bukan mengharapkan harta, pujian, pangkat, gelar, kemakmuran dan sebagainya.

Ikhlas juga bukan sekedar mengerjakan sesuatu tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu, tetapi menerima apa saja dari Tuhan tanpa persoalan, juga dinamakan ikhlas. Misalnya kita sekarang ini. Apabila kita mampu menerima musibah yang menimpa kita ini tanpa keluh kesah, tanpa menyalahkan siapa-siapa, apalagi menyalahkan Tuhan, maka kita sudah menjadi orang yang ikhlas.

Ikhlas atau tidaknya seseorang ditentukan oleh niatnya. Ikhlas seseorang tidak bisa diketahui oleh orang lain. Hanya orang yang bersangkutan dengan Tuhannyalah yang mengetahui.

Bahkan malaikat sendiri pun juga tidak mengetahui. Dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa ikhlas itu adalah rahasia antara Tuhan dengan hambanya yang saleh, yang artinya sebagai berikut: Ikhlas itu adalah salah satu rahasia-Ku yang Aku titipkan di (dalam hati hamba-Ku yang Aku cintai. Setan tidak mengetahuinya agar dia tidak bisa merusaknya, dan bahkan malaikat pun tidak mengetahui agar mereka tidak bisa mencatatkannya.”

Karena ikhlas adalah rahasia kita dengan Tuhan, maka untuk bisa menjadi ikhlas kita memerlukan latihan yang terus- menerus. Ayat-ayat berkaitan dengan ikhlas antara lain:

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

  1. Taubat

Setiap manusia tidak terlepas dari kesalahan. Akan tetapi, kesalahan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut sehingga menjadi dosa. Perasaan berdosa membuat kita menjadi gelisah dan tidak tenang. Untuk dapat hidup tenang, perasaan berdosa harus dihilangkan dari diri kita.

Untuk menghilangkan rasa berdosa itu kita harus setiap saat minta ampun kepada Allah. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri tidak kurang dari 75 kali dalam sehari meminta ampun kepada Allah, Padahal, beliau orang yang terpelihara dari perbuatan dosa (ma’shum).

Apalagi kita manusia biasa, sewajarnyalah kita setiap saat memohon ampun kepada Allah. Memohon ampunan harus dilakukan sesegera mungkin, yaitu disaat kita menyadari bahwa kita telah berbuat salah. Allah menyuruh kita agar segera memohon ampun sebagaimana firman-Nya:

وَسَارِعُوٓا۟ إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Ali Imran [3]: 133).

Minta ampun seperti ini disebut taubat. Secara lebih rinci taubat adalah mengetahui kesalahan segera insyaf dan menyadarinya. Dia menyesal lalu meminta ampun atas kesalahannya itu, serta berjanji pada diri sendiri untuk tidak akan mengulangi lagi kesalahan tersebut.

Dengan begitu, kita menjadi sadar agar tidak dua kali jatuh ke dalam lobang yang sama. Taubat seperti ini disebut taubat nasuha. Orang yang melakukan taubat nasuha, Allah akan menerima taubatnya dan akan mengampuni dosa-dosanya, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Firman Allah:

وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا۟ فَٰحِشَةً أَوْ ظَلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا۟ ٱللَّهَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا۟ عَلَىٰ مَا فَعَلُوا۟ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal. (Q.S. Ali Imran [3]: 135 – 136).

Perlu kita pahami bahwa tidak semua dosa akan diampuni oleh Allah. Dosa orang berbuat syirik tidak akan diampuni oleh Allah. Oleh karena itu, kita tidak boleh mempermainkan taubat. Firman Allah:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفْتَرَىٰٓ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS. An-Nisa [4]:48).

Keyakinan kita bahwa Allah Yang Maha agung akan menerima taubat dan menghapus dosa-dosa kita; dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan menyalahi janji-Nya. Dia akan mendorong kita untuk beristighfar dan bertaubat, serta menjauhkan kita dari berbuat maksiat dengan penuh ampunan Allah dan keridhaan-Nya.

Apabila kita bertaubat dengan taubat nasuha, dan mewajibkan diri kita untuk taat kepada Allah, beribadah kepada-Nya, dan beramal saleh, insya Allah hati kita akan damai, jiwa akan tentram, dan hilang perasaan berdosa yang menyebabkan kegelisahan dan kekacauan pikiran.(AK/R1/P2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)