Di tepian utara jalan menuju pantai Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh, berdiri sebuah penanda yang menandai bekas Benteng “Kuta Kaphee” peninggalan bersejarah yang sarat makna.
Benteng ini, dalam sejarah, dikenal sebagai “Bentengnya si Kafir”, merujuk pada penjajah kolonial yang pernah berusaha menguasai wilayah ini. Dibuat untuk menahan serangan Belanda dari laut.
Benteng Kuta Kaphee menjadi saksi bisu dari salah satu babak paling heroik dalam sejarah perang Aceh. Seperti yang tercatat dalam buku “The Dutch Colonial War in Aceh” edisi kedua yang diterbitkan pada tahun 1990, pada 26 Maret 1873, Belanda secara resmi memproklamirkan perang terhadap Kesultanan Aceh.
Langkah ini memicu pengiriman pasukan Belanda ke Aceh, namun Sultan Alaidin Mahmud Syah tidak gentar. Dengan tegas, Sultan memerintahkan wazir dan para menterinya untuk mempersiapkan perlawanan besar-besaran.
Baca Juga: BRIN Kukuhkan Empat Profesor Riset Baru
Pada 5 April 1873, Belanda mencoba menaklukkan Aceh dengan mendaratkan pasukannya di pantai Ceuremen, dekat pelabuhan Ulee Lheue. Mereka datang dengan kekuatan besar: lima kapal layar, enam kapal pengangkut, delapan kapal ronda, dua kapal perang laut, dan enam kapal uap. Namun, pasukan Kesultanan Aceh berhasil menggagalkan upaya ini dengan menghujani mereka dengan tembakan meriam.
Tak ingin kehilangan muka, pada 8 April 1873, Belanda kembali mengerahkan 3.198 pasukan dan 168 perwira di pantai yang sama. Kali ini, mereka dipimpin oleh Jenderal JHR Kohler, yang akhirnya tewas di depan halaman Masjid Baiturrahman akibat tembakan dari pejuang Aceh.
Semangat dan kegigihan para pejuang Aceh membuat Belanda kesulitan menembus pertahanan Aceh, bahkan mereka hanya bisa menduduki bibir pantai. Ketakutan akan serangan balasan dari pejuang Aceh mendorong Belanda untuk mendirikan benteng-benteng pertahanan, salah satunya adalah Benteng Kaphee.
Benteng Kuta Kaphee didirikan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), salah satu penguasa terbesar dalam sejarah Kesultanan Aceh. Pada masa ini, Aceh dikenal sebagai kerajaan yang kuat secara militer, politik, dan ekonomi.
Baca Juga: Jateng Raih Dua Penghargaan Nasional, Bukti Komitmen di Bidang Kesehatan dan Keamanan Pangan
Benteng ini merupakan bagian dari sistem pertahanan maritim yang luas, dibangun untuk melindungi wilayah Aceh dari serangan laut, terutama dari penjajah Portugis dan Belanda.
Benteng ini dibangun dengan menggunakan bahan-bahan lokal seperti batu dan kapur, dirancang khusus untuk menahan serangan meriam dan senjata api yang mulai umum digunakan oleh pasukan Eropa saat itu. Dinding-dinding tebalnya dirancang untuk menyerap dan memantulkan serangan, sementara bastion di sudut-sudut benteng memberikan jangkauan tembakan yang lebih luas untuk meriam-meriam Kesultanan.
Peran Strategis dan Kondisi Terkini
Sebagai salah satu pos pertahanan utama, Benteng Kuta Kaphee berperan penting dalam mengawasi pergerakan musuh dari laut dan melindungi jalur masuk ke Banda Aceh melalui sungai. Benteng ini juga berfungsi sebagai pusat komunikasi dan pengawasan, terhubung dengan benteng-benteng lain yang tersebar di sepanjang pesisir Aceh, memungkinkan koordinasi pertahanan yang lebih efektif jika terjadi serangan.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, kondisi Benteng Kuta Kaphee mengalami kerusakan akibat perubahan geopolitik dan teknologi. Namun, beberapa bagian dari benteng ini masih dapat ditemukan di Alue Naga, mengingatkan kita pada masa kejayaan Kesultanan Aceh dan perjuangan gigih melawan penjajahan.
Baca Juga: Pakar Timteng: Mayoritas Rakyat Suriah Menginginkan Perubahan
Warisan Sejarah yang Patut Dilestarikan
Benteng Kuta Kaphee bukan sekadar tumpukan batu tua; ia adalah simbol ketahanan dan kebanggaan rakyat Aceh. Sebagai situs sejarah, benteng ini menarik minat sejarawan, peneliti, dan wisatawan yang ingin memahami lebih dalam tentang sejarah dan budaya Aceh. Pelestarian benteng ini sangat penting agar generasi mendatang dapat belajar dan menghargai warisan perjuangan nenek moyang mereka.
Meskipun kini hanya tersisa sebagian, Benteng Kaphee tetap berdiri sebagai monumen penting dalam sejarah Aceh, mengingatkan kita pada masa lalu yang penuh dengan perjuangan dan keberanian luar biasa. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Festival Harmoni Istiqlal, Menag: Masjid Bisa Jadi Tempat Perkawinan Budaya dan Agama