Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beraksi untuk Keadilan Iklim, GreenFaith Bangun Kesadaran Komunitas Agama di Indonesia

Rana Setiawan - Jumat, 12 Januari 2024 - 10:57 WIB

Jumat, 12 Januari 2024 - 10:57 WIB

11 Views

Jakarta, MINA – GreenFaith Indonesia menginisiasi kegiatan Training Climate Justice atau Pelatihan Keadilan Iklim, sebagai solusi atas krisis iklim yang melanda dunia saat ini, membutuhkan lebih banyak lagi orang-orang dan organisasi yang peduli, kritis, dan dapat mengambil peran untuk mencegah laju kehilangan dan kerusakan alam

Dalam keterangan tertulis yang diterima MINA, Jumat (12/1), pada Rabu 10 Januari 2024 di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Lantai 6, Jakarta Pusat ini dihadiri sebanyak 27 orang peserta beragama Islam, memiliki jaringan atau komunitas, memiliki minat pada isu perubahan iklim, memiliki komitmen pada keseluruhan proses pelatihan, dan berdomisili di Jabodetabek.

Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia Hening Parlan, menjelaskan, kegiatan ini terselenggara atas kerjasama GreenFaith Indonesia, dengan Majelis Lingkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Eco Bhinneka.

“Seri pertama ini kita akan belajar untuk memahami tentang climate justice itu apa, dan bagaimana climate justice dalam perspektif Islam,” ungkap hening saat membuka pelatihan.

Baca Juga: Cuaca Jakarta Berawan Tebal Jumat Ini, Sebagian Hujan

Pelatihan ini akan dilaksanakan juga untuk komunitas berbasis agama Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. “Sedangkan seri pelatihan kedua, seluruh peserta yang sudah mengikuti sesi pertama ini, dari semua agama akan kita kumpulkan, untuk bersama-sama belajar bagaimana membangun kampanye dan gerakan sosial,” imbuhnya.

GreenFaith Indonesia bersama dengan lintas agama memfokuskan gerakan mendukung transisi energi yang berkeadilan. “Kampanye membangun kesadaran terhadap energi terbarukan perlu kita mulai dari hati, maka kita punya slogan Clean Energy, Clean Heart,” ungkap Hening yang saat ini juga aktif sebagai Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah.

Selanjutnya materi Peradaban Islam disampikan oleh Qaris Tajudin, jurnalis yang saat ini menjabat sebagai Direktur Tempo Institute dan aktif sebagai Anggota Dewan Tafkir PP Persatuan Islam.

Qaris mengajak peserta berkelompok untuk mendiskusikan dan mempresentasikan hal-hal apa saja yang memicu Islamic Golden Age. Ia juga memantik peserta berpikir kritis mengenai apa hubungan Islamic Golden Age dengan perubahan iklim.

Baca Juga: Kemenag Kerahkan 50 Ribu Penyuluh Agama untuk Cegah Judi Online

“Untuk memahami perubahan iklim kita harus memahami sebab ilmiah dari semuanya. Golden Age membuka mata manusia bahwa di balik takdir ada proses, ada sebab akibat yang kita ikuti,” terang Qaris. Menurutnya, semangat Golden Age adalah semangat keilmuan untuk bisa memahami permasalahan itu dari sisi agama.

Qaris menekankan melalui ilmu pengetahuan, peran manusia sangat besar untuk mencegah perubahan iklim. Ia kemudian menjelaskan makna kata Rabb di dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya adalah Tuhan Yang Menumbuhkan, Menciptakan, Merawat, dan kata Khalifah di ayat tersebut yang berarti Pengganti, Penerus, atau Pelanjut.

“Kata “pelanjut”-nya adalah untuk Tuhan yang Merawat, bukan untuk Tuhan yang Berkuasa, sehingga tugas khalifah di sini bukan menguasai makhluk lain, tugasnya khalifah adalah merawat makhluk lainnya,” jelasnya.

Pelatihan dilanjut dengan materi Loss and Damage: Kejahatan Lintas Rezim pada Sektor Sumberdaya Alam dan Lingkungan, disampaikan Direktur Eksekutif WALHI, Zenzi Suhadi.

Baca Juga: Indonesia Sesalkan Kegagalan DK PBB Adopsi Resolusi Gencatan Senjata di Gaza

Perubahan iklim terjadi karena terjadi perubahan ekosistem yang mengalami kerusakan permanen dari sisi material dan sistem,” kata Zenzi.

Perubahan ekosistem ini, kata Zenzi, dipengaruhi oleh sistem dan kebijakan politik dan ekonomi. “Kelompok yang paling rentan adalah mereka sudah kehilangan peradabannya dan menghadapi sistem alam yang hancur. Sehingga tuntutan kita, bagaimana negara bisa memulihkan sistem yang rusak dan memperkuat masyarakat agar mampu menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi,” ujarnya.

Untuk mendorong upaya pemulihan ekosistem, kata Zenzi perlu dorongan kelompok beriman yang ditransformasi dalam sikap politik. “Karena kehancuran yang ada berawal dari keputusan politik. Keputusan politik negara akan bisa berubah kalau ada tuntutan politik dari ummat,” pungkas Zenzi.

Parid Ridwanuddin dari WALHI Nasional, menyampaikan materi berikutnya tentang Kolonialisme dan Krisis Iklim. “Kolonialisme ialah kontrol atau penguasaan oleh satu kekuatan atas wilayah atau orang yang bergantung padanya,” jelasnya.

Baca Juga: Lomba Cerdas Cermat dan Pidato tentang Palestina Jadi Puncak Festival Baitul Maqdis Samarinda

Menurut Parid, kolonialisme bekerja jika ada narasi kebijakan yang berkembang, ada jaringan yang menghubungkan antar aktor satu dengan yang lainnya, dan ada aktor politik dan kepentingan. “Negara-negara penghasil emisi terbesar di dunia, Perusahaan multinasional penghasil emisi, dan orang-orang kaya dunia punya tanggungjawab atas emisi yang mereka produksi,” katanya.

Sementara Nana Firman, Senior Ambassador GreenFaith Internasional, menyampaikan materi berikutnya tentang Islam and Climate Justice dan menekankan kenaikan suhu 1 derajat Celsius akan berdampak besar bagi perubahan iklim dan kehidupan di Bumi. Karena itu Nana mengajak agar para peserta bersama dengan organisasi atau komunitasnya turut berpikir kritis dan mengambil peran untuk mengubah sistem.

“Siapa yang bertanggungjawab terhadap krisis iklim ini? Mari kita kaji akar permasalahannya. Kemudian apa yang harus diubah? Sistemnya yang harus diubah, mengubahnya dengan apa, jika tidak berjalan, menjalankannya bagaimana, apa alternatifnya?” ungkapnya memantik diskusi. Lebih lanjut, Nana mengajak peserta untuk kembali membaca atau Iqra’ pada ajaran Al Qur’an dan Sunnah. “There is no planet B. Karena Rasulullah bilang, jagalah bumi ini, karena bumi ini adalah ibumu. Siapa yang harus dimuliakan? Ibumu, ibumu, dan ibumu,” pungkas Nana.

Kegiatan yang difasilitasi David Effendi dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHPB) PP Muhammadiyah ini berakhir dengan rencana aksi para peserta secara individu dan bersama dengan komunitasnya. Para peserta selanjutnya akan mendapatkan pembekalan untuk membuat kampanye yang efektif pada Februari 2024. (R/R1/RS2)

Baca Juga: Selamat dari Longsor Maut, Subur Kehilangan Keluarga

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Terakreditas A, MER-C Training Center Komitmen Gelar Pelatihan Berkualitas

Rekomendasi untuk Anda