DI SEBUAH lorong sunyi kehidupan, ada seseorang yang diam-diam membersihkan masjid setiap subuh, tanpa pernah meminta pujian. Di sebuah desa terpencil, seorang ibu mengajar anak-anak tanpa bayaran, hanya karena cintanya pada ilmu. Dan di sebuah sudut kota, ada seorang pemuda yang menyisihkan sebagian rezekinya setiap pekan untuk orang yang tak dikenalnya. Mereka semua berbuat baik. Diam-diam. Tanpa sorotan. Tanpa tepuk tangan. Mereka adalah jiwa-jiwa mulia yang tahu bahwa kebaikan tak perlu diumumkan untuk bernilai.
Dalam dunia yang semakin riuh dengan pencitraan dan pamrih, berbuat baik secara ikhlas bisa terasa asing. Kita hidup di zaman di mana segala hal ingin dilihat, diabadikan, dan diviralkan. Kebaikan pun tak jarang disulap menjadi konten. Seolah jika tak ada kamera, tak ada bukti, maka tak ada makna. Padahal, kebaikan sejati justru menemukan nilainya saat dilakukan dalam kesunyian. Saat hanya Allah yang menjadi saksi.
Berbuat baik meski dunia tak melihat adalah bentuk kedewasaan spiritual. Ia lahir dari kesadaran bahwa manusia hanyalah makhluk terbatas, dan pujian mereka bukanlah tujuan utama. Terkadang, kebaikan yang kita tanamkan tak membuahkan pujian, bahkan bisa jadi dibalas dengan fitnah atau kecurigaan. Namun apakah itu berarti kita harus berhenti?
Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim). Ini menunjukkan bahwa yang utama bukanlah bagaimana kebaikan itu terlihat, tetapi dari hati seperti apa ia lahir dan untuk siapa ia dilakukan. Jika niat kita murni karena Allah, maka tak mengapa dunia tak tahu, selama Allah tahu.
Baca Juga: Dagang yang Berkah: Antara Ajaran Islam dan Realita Pahit Pasar Modern
Banyak orang menunda kebaikan karena merasa tak akan dihargai. Mereka merasa sia-sia jika apa yang dilakukan tak diakui. Padahal, tak ada kebaikan yang sia-sia di mata Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah menjanjikan, “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120). Bahkan sebutir kebaikan sekecil biji sawi pun, akan Allah hitung.
Mari renungkan. Ketika kita menanam benih, kita tidak langsung melihat hasilnya. Kita sabar menyiram, memberi pupuk, menjaga dari hama. Kita percaya, pada waktunya, benih itu akan tumbuh. Begitu pula kebaikan. Mungkin sekarang tak ada yang melihat. Mungkin tak ada yang peduli. Tapi yakinlah, Allah sedang menumbuhkan pahala untuk kita, bahkan ketika kita lupa bahwa kita pernah berbuat baik.
Berbuat baik meski tak dilihat dunia juga menjaga kita dari penyakit hati: riya’ dan ujub. Saat kita tak memerlukan pengakuan, kita menjadi pribadi yang lebih jujur dan tulus. Kita tak sibuk menilai diri sendiri atau menuntut apresiasi dari orang lain. Kebaikan menjadi murni ibadah, bukan pencitraan. Kita menjadi hamba, bukan selebritas dalam ladang amal.
Coba tanyakan pada diri sendiri: jika tak ada yang tahu kebaikan kita, apakah kita masih mau melakukannya? Jika tak ada yang membalas senyuman kita, apakah kita masih mau tersenyum? Jika tak ada yang mengucap terima kasih, apakah kita masih mau membantu? Di sinilah kualitas iman diuji. Apakah kita berbuat baik karena Allah atau karena ingin dipuji?
Baca Juga: Lelah Boleh, Menyerah Jangan: Inspirasi untuk Pejuang Hidup
Ada kisah tentang seorang lelaki dari generasi salaf yang setiap malam meletakkan makanan di depan pintu rumah orang miskin, lalu segera pergi sebelum fajar tiba. Ia melakukannya bertahun-tahun. Sampai suatu hari ia wafat, dan setelah itu bantuan makanan itu pun berhenti. Barulah orang-orang tahu siapa pelakunya. Ia menyembunyikan amalnya seperti menyembunyikan aibnya. Inilah keteladanan dalam keikhlasan.
Dalam kehidupan kita, tak semua orang bisa menjadi pahlawan yang dikenal. Tapi semua bisa menjadi pahlawan dalam diam. Menjadi orang baik di dunia yang keras bukanlah kelemahan, tapi kekuatan. Ketika kita tetap menebar kebaikan meski tak dipedulikan, kita sedang menanam cahaya di tengah gelapnya zaman.
Saat dunia memalingkan muka, Allah tetap melihat. Saat manusia lupa, Allah tetap mencatat. Bahkan dalam sepi sekalipun, kebaikan akan bergema di langit. Jangan takut berbuat baik, jangan lelah berbuat baik. Karena kita tak pernah tahu, mungkin satu kebaikan kecil itu yang mengantarkan kita pada surga.
Teruslah menjadi cahaya, walau tak semua menyadari terangmu. Teruslah menjadi embun, walau tak semua merasakan sejukmu. Teruslah menabur benih kebaikan, walau mungkin bukan kita yang akan memetik buahnya. Karena pada akhirnya, yang menilai amal bukan manusia, tapi Allah—Rabb yang Maha Tahu dan Maha Adil.
Baca Juga: Disiplin dan Tekun, Kunci Menjadi Pribadi Produktif
Berbuat baik meski dunia tak melihat, adalah cara kita menyucikan niat. Karena tujuan hidup bukan menjadi terkenal di bumi, tetapi menjadi dicintai di langit.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Optimisme Menuju Sukses, Rahasia Orang-Orang Hebat