Bercanda Atau Berdakwah

Oleh Bahron Ansori, Redaktur MINA

MENARIK apa yang disampaikan oleh Meteri Agama Lukman Hakim Saefuddin yang akan merumuskan kode etik bagi para pendakwah/penceramah. Hal itu akan dilakukan karena banyaknya keluhan dari masyarakat saat mereka mendengarkan ceramah yang ada justru lebih banyak candaannya.

Tak jarang, seorang ustaz atau ulama menyampaikan dakwahnya dengan penuh . Tujuannya agar mad’u (pendengar) tidak ngantuk. Harapannya, semua materi yang disampaikan bisa diserap. Pertanyaannya, “Benarkah menyampaikan dengan candaan itu dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya?”

Artikel singkat ini, sekedar mengetengahkan fenomena dakwah para ustad di berbagai media yang menyampaikan dakwah alias ceramahnya dengan banyak bercanda. Tak ada maksud mengungkap aib selain hanya ingin mengetengahkan kepada pembaca seperti apakah sebenarnya hukum bercanda sehingga membuat orang lain tertawa terbahak-bahak.

Bisa jadi, seorang ustad bermaksud baik ketika menyampaikan ceramahnya dengan selingan candaan. Sebab ia berharap apa yang disampaikannya itu bisa diterima dan mampu mengubah mindset mad’u dari yang buruk menjadi lebih baik, dari yang baik menjadi terbaik. Puncaknya berharap agar setiap orang yang mendengar ceramahnya menjadi bertakwa kepada Allah Ta’ala.

Namun kenyataannya, tidak setiap pendengar ceramah mampu menyerap apa yang disampaikan karena terlalu banyak hal lucu yang ia sampaikan. Tentang melucu dalam berdakwah (ceramah, pidato) ini, Asy-Syaikh Prof. DR. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya oleh seseorang, “Sebagian da’i menjadikan tertawa sebagai metode dan sarana mendakwahi manusia agar mereka mendapat hidayah dan bertaubat kepada Allah dengan sebab ceramah dan kata-kata yang mereka sampaikan, apa hukum cara seperti ini dalam berdakwah kepada Allah?”

Maka ia menjawab, “Tidak akan pernah candaan dan tertawaan menjadi metode dakwah kepada Allah selamanya. Dakwah kepada Allah hendaklah dengan al Quran dan as Sunnah, serta nasihat dan peringatan. Adapun candaan dan tertawaan maka ini mematikan hati. Manusia pun tertawa dan bercanda, mereka datang ke tempat ini bukan karena dakwah, tapi untuk hiburan, maka ini tidak benar selamanya, ini bukan cara berdakwah tapi cara menghibur.”  [Al-Ijaabaat Al-Muhimmah, 1/193-194]

Hukum Bercanda

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah teladan terbaik yang harus diteladani oleh setiap manusia bumi. Karena itu, siapapun manusia (bukan hanya muslim) yang tidak mau meneladani Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai contohnya dalam menjalani kehidupan, maka kepada siapa lagi ia akan mengambil teladan terbaik (Qs. Al-Ahzab: 21).

Hukum dasar bercanda (bergurau, senda-gurau, humor, melawak) adalah mubah atau boleh (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar). Dalilnya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga bercanda. Dari Abu Hurairah, bahwa para shahabat bertanya, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah mencandai kami.”

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Sesungguhnya tidaklah aku berbicara kecuali yang benar.”  (HR. Tirmidzi).

Hukum bercanda itu menjadi mubah selama aturan-aturan dalam syari’at Islam tetap dipatuhi. Dalam buku “Pemuda dan Canda” karya ‘Aadil bin Muhammad Al-‘Abdul ‘Aali, disebutkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam bercanda yaitu; – Materi canda tidak berisi olok-olok atau mempermainkan ajaran Islam; –  Tidak boleh menyakiti perasaan orang lain; – Tidak mengandung kebohongan; – Tidak mengandung ghibah (menggunjing); – Tidak cabul; dan – Tidak melampaui batas, yakni tidak membuat melalaikan kewajiban dan tidak menjerumuskan pada yang haram.

Meski hukum dasar bercanda itu mudah, tapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengecam orang yang bercanda (berlebihan) dengan tujuan membuat orang lain tertawa. “Dari Bahz bin Hakim, bahwa bapaknya telah bercerita kepadanya dari kakeknya, ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam bersabda, “Celakalah bagi orang yang berbicara dengan satu pembicaraan agar menjadikan tertawanya kaum, maka ia berdusta, celakalah baginya, celakalah baginya.” (HR At-Tirmidzi, hadis hasan).

Pun Bercanda

Apakah tidak boleh seseorang bercanda dalam kesehariannya? Boleh saja, selama candaan itu benar. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saja pernah bercanda, tapi beliau tidak menjadikan candaan itu sebagai profesi apalagi jika candaan itu sampai merusak citra seseorang.

Berikut ini adalah fakta dari beberapa riwayat yang menerangkan tentang canda dan tawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Pertama, Anas ra. meriwayatkan, pernah ada seorang laki-laki meminta kepada Rasulullah agar membawanya di atas unta. Rasulullah bersabda, ”Aku akan membawamu di atas anak unta.” Orang tadi bingung karena ia hanya melihat seekor unta dewasa, bukan anak unta. Lalu Rasulullah berkata, “Bukankan yang melahirkan anak unta itu anak unta juga?”  (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Kedua, Rasulullah pernah mencandai seorang gadis yatim di rumah Ummu Sulaim. Rasul berkata kepada gadis yatim itu, ”Engkau masih muda, tapi Allah tidak akan membuat keturunanmu nanti tetap muda.“ Ummu Sulaimah lalu berkata, ”Hai Rasulullah, Engkau berdoa kepada Allah bagi anak yatimku, agar Allah tidak membuat keturunannya tetap muda. Demi Allah, ya memang dia tidak muda selama-lamanya.” (HR. Ibnu Hibban, dari Anas bin Malik).

Ketiga, seorang perempuan tua bertanya pada Rasulullah, “Ya Utusan Allah, apakah perempuan tua seperti aku layak masuk surga?” Rasulullah menjawab, “Ya Ibu, sesungguhnya di surga tidak ada perempuan tua.” Mendengar jawaban itu, sontak perempuan tua itu menangis. Lalu Rasulullah mengutip salah satu firman Allah dalam QS. Al-Waaqi’ah: 35-37, ‘“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya.”  (HR. Tirmidzi).

Keempat, Rasulullah pernah memeluk sahabat Zahir dari belakang dengan erat. Zahir, “He, siapa ini? Lepaskan aku!” Zahir memberontak dan menoleh, ternyata yang memeluknya Rasulullah. Zahir pun segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah. Rasulullah berkata, “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir, “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai dipandangan mereka.” Rasulullah, “Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir. Mau dibeli Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa damai di pelukkan Rasulullah. (HR. Ahmad dari Anas).

Kelima, dalam beberapa riwayat menyebutkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bercanda ketika memanggil shahabatnya, “Hai yang mempunyai dua telinga.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

Begitulah candaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada keluarga dan para sahabatnya. Candanya adalah benar. Tawanya sekedar senyum dan tidak terbahak-bahak seperti yang dilakukan sebagian besar kita hari ini.

Namun demikian, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah diketahui dalam tarikh bliau bercanda dalam menyampaikan ayat-ayat Allah. Bahkan, tak jarang bliau berkata dengan nada tinggi hingga mata dan wajahnya memerah karena keseriusannya menyampaikan ayat-ayat Allah agar manusia selamat dunia akhirat.

Tentang keseriusan dan gaya dakwah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini, bisa dilihat dari beberapa sumber antara lain. Dari Jabir ra. Ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila berceramah, merah kedua matanya, lantang suaranya, dan memuncak amarahnya hingga seolah-olah panglima perang yang memberi peringatan dengan mengatakan, ‘Awas musuh akan mengganggu kalian di pagi dan sore hari. Beliau bersabda, ‘Aku di utus, sedang aku dan kiamat sangat dekat seperti dua jari ini.” (dalilul falihin juz 1 hal.438).

Dalam keterangan lain digambarkan bagaimana pidato Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seperti yang di sampaikan oleh Al Irbad bin Sariyah ra., “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan kepada kami sebuah mau’idzoh yang sangat mengetuk hati dan sangat berkesan di jiwa sehinga hati kita ketakutan dan mata kita bercucuran, karena takut mendengar siksa Allah Ta’ala.

Begitulah seharusnya para da’i, ustad, ulama akhir zaman ini dalam menyampaikan dakwahnya kepada umat. Sehingga saat pulang ke rumah, umat akan akan membawa tekad yang kuat, motivasi iman yang menggebu, jiwa yang khusyu’ dan semangat berjuang yang tinggi.

Sebaliknya, jika dakwah itu disampaikan dengan banyak canda dan tawa, maka jangan heran jika perubahan kearah yang lebih baik (takwa) dalam kehidupan bermasyarakat akan terasa, sebab ayat dan hadis Nabi-Nya disampaikan dengan secara tidak serius, banyak bercanda dan seolah-olah disepelekan. Bisa ditebak, jika gaya dakwah para da’i, ustad bahkan ulama yang menyampaikan pesan kebaikan dari al Quran dan as Sunnah dengan cara banyak bercanda, maka bukan rasa takwa yang akan dibawa pulang oleh mad’u (umat), melaikan hanya tawa, wallahua’lam. (A/RS3/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.