Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berebut Sebelah Sayap Nyamuk

Bahron Ansori - Jumat, 19 Agustus 2016 - 17:17 WIB

Jumat, 19 Agustus 2016 - 17:17 WIB

919 Views

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

 Dunia memang manis kawan? Dia indah dan enak jika bisa mendapatkannya. Meski manis, tapi tidak selamanya dunia itu membuat si empunya senang. Lebih dari itu, dunia bisa jadi jalan untuk mendatangkan  penderitaan bagi siapa saja yang bermain dengannya (dunia, red.) tapi melepaskan pegangan terhadap tali syariat Allah Ta’ala.

Dunia memang punya nilai kawan? Tapi seberapa besar nilai dunia dalam pandangan iman seorang Muslim? Dalam sebuah hadis, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Seandainya dunia punya nilai di sisi Allah walau hanya menyamai nilai sebelah sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum kepada orang kafir seteguk air pun.” (HR. At-Tirmidzi no. 2320, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani  dalam Ash-Shahihah no. 686)

Dari  hadis di atas bisa dipetik pelajaran bahwa dunia ini sebenarnya tak bernilai sama sekali walau hanya nilainya menyamai sebelah sayap seekor nyamuk. Tapi mengapa masih banyak di antara kita yang terlena dalam mencari dunia? Tak sedikit di antara kita, hanya demi dunia siang jadi malam, dan malam pun jadi siang sehingga lupa beribadah dan munajat kepada Allah Ta’ala. Tahu-tahu ajal sudah mau menjemput. Astaghfirullah.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam

Sungguh Allah telah menghinakan dunia yang hanya menyamakannya dengan sebelah sayap seekor nyamuk. Akankah kita masih mencari-cari atau bahkan tenggelam dalam kesenangan dan keindahan dunia? Semua tidak ada artinya, sama seperti harga sebelah sayap seekor nyamuk. Ada hargakah sebelah sayap seekor nyamuk?

Apakah Tidak Boleh Mencari Dunia?

Pertanyaannya bukan masalah boleh atau tidak dalam mencari dunia. Tapi yang perlu dikaji adalah bagaimana cara kita mencari dan mengumpulkan pundi-pundi dunia itulah yang harus diperhatikan. Seorang Muslim wajib kaya, sebab jika seorang Muslim yang lurus iman dan faham syariat Allah Ta’ala, maka dunia hanya akan digenggam sebatas tangannya saja, dan tidak ia masukkan kedalam hatinya. Karena itu, ketika dunia hanya ia letakkan di tangannya, maka jika tiba waktunya Allah Ta’ala mengambilnya, dia tidak akan pernah kecewa, sebab tahu segala kemegahan yang ia miliki hanyalah titipan Allah semata.

Namun pada kenyataannya masih ada segolongan manusia yang susah payah saling memperebutkan sebelah sayap seekor nyamuk tersebut. Dalam hal ini, mereka  yang di antaranya adalah; pertama, orang- orang yang saling berebut warisan. Orang-orang seperti ini  biasanya akan dengan mudah mengorbankan tali silaturahim di antara saudaranya yang berarti mereka pun telah berani mengorbankan Surga.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan

Kedua, orang–orang yang mengejar kursi panas atau jabatan dengan mengorbankan prinsip-prinsip Islam seperti mendatangi dukun, melakukan black campaign ataupun menyogok demi tercapainya tujuan untuk mendapatkan jabatan di dunia.

Ketiga, orang-orang yang mengorbankan prinsip-prinsip agama demi mendapatkan kedudukan sosial di masyarakat. Dari ketiga contoh diatas, apakah termasuk kedalamnya? Apakah ternyata kita adalah golongan orang-orang yang berebut sebelah sayap seekor nyamuk?

Jangan terbuai dengan rumah dan mobil mewah yang dimiliki. Jangan tertipu dengan banyaknya uang yang di tangan, jabatan dan gelar yang tinggi. Jangan tertipu dengan berlimpahnya harta, pakaian bagus dan perhiasan emas yang dimiliki, jangan tertipu dengan tampan atau cantiknya wajah. Jangan tertipu oleh kemilau dunia. Kenapa? Karena segala sesuatu yang ada di dunia ini, bahkan dunia itu sendiri akan berakhir. Hanya Allah-lah satu-satunya yang abadi, sebab Dia adalah Sang Maha Pencipta seluruh jagat raya.

Selain Allah, semua akan musnah. Setiap manusia membenci kematian. Padahal kematian itu adalah haq (benar adanya). Meski kematian itu benar adanya, namun kita semua melarikan diri darinya. Lebih sadis lagi, masih ada di antara manusia yang benar-benar tak percaya ada pertemuan dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kelak di alam akhirat.

Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina

Banyak di antara manusia yang lisannya berucap bahwa kematian itu benar adanya. Tapi amat disayangkan ucapan lisan itu rupanya tak mampu membingkai hatinya untuk tunduk dan patuh sebenarnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yang terjadi sebaliknya, banyak masjid penuh pada hari Jumat atau hari raya saja, tapi sepi selain dari kedua hari itu, sedikit sekali muslim yang mengisi shalat Subuh dengan berjama’ah. Paling banyak satu sampai dua shaf saja.

Karena kesibukan dunia, terkadang ketika tiba waktunya shalat, berzakat, dan haji, seolah manusia menjadi tuli dan buta terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Ketika tiba waktunya berzakat. kelakuan manusia yang mengaku-ngaku beriman layaknya orang yang tidak percaya pada kematian, bahkan lari dari kematian.

Mayoritas manusia –  cinta dunia. Sunnatullah memang, sebab itu bagian dari qadrat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Itu sudah qadrati. Artinya, ketentuan Allah terhadap sifat manusia (Qs. Ali Imran : 14). Disengaja atau tidak, manusia mempunyai sifat seperti itu. Sehingga – menjadikan kehidupan dunia ini lebih bergairah dan semarak. Sebaliknya, alam yang fana ini akan bertambah redup, bahkan gelap gulita – bila manusia tak ada gairah terhadap dunia.

Dalam menghadapi dunia, setidaknya ada tiga tipe pandangan manusia terhadapnhya. Terlalu cinta, sedang dan biasa-biasa saja. Tipe pertama, dunia adalah tujuan hidupnya. Akhirat, terlupakan. Kedua, memperlakukan dunia sebagai sarana hidup untuk bekal ibadah. Tipe ini, menjadikan dunia dan akhirat seimbang. Ketiga, dunia terlupakan, akhirat lebih diutamakann. Nafas kehidupannya dihabiskan untuk mendekatkan diri kepada Allah semata. Zuhud, menyendiri dari nuansa hiruk pikuk dunia – jadi pilihannya.

Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat

Ketiga tipe itu memiliki dampak yang berbeda-beda. Menjadikan pelakunya memiliki watak dan karakter yang berbeda pula. Ada yang keras. Ada yang sedang-sedang saja. Ada pula yang kelihatan lemah, tak berselera – apa adanya.

Apapun tipe manusia dalam masalah dunia, hidupnya saat ini masih di alam dunia. Ini fase kehidupan ketiga – setelah alam arham (kandungan) dan alam arwah (ruh, nyawa). Masih ada dua fase lagi, barzah dan akhirat. Kedua alam ke depan itu, penuh tanda tanya besar. Bahagia atau sengsara di sana (nanti) – sangat tergantung amalnya. Sangat mengerikan dan sekaligus menakutkan – bagi yang hidupnya di dunia suka melanggar ketentuan agama. Sebaliknya, sangat menggembirakan bagi yang menaati ketentuan agama.

Mari perhatikan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, “Barangsiapa yang kafir (inkar, melanggar) maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah – mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (Qs. Ar-Ruum : 44).

Sudah amat jelas peringatan ayat di atas. Bahagia atau sengsara di alam sana, tergantung bagaimana persiapan kita menuju kealam itu. Siapa melanggar, kena ancaman. Siapa beramal shalih, mendapat janji – hidup menyenangkan. Tinggal pilih saja – mana yang disuka dari dua jalan itu, kanan apa kiri. Kanan, finisnya surga. Kiri, finisnya neraka.

Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan

Di sini, manusia sering tergoda oleh tipu daya dunia. Memang tidak semuamya. Namun, tidak sedikit yang lebih condong ke kiri jalan hidupnya. Akibatnya, akan dirasakan oleh dirinya sendiri.

Kita tahu, dunia adalah panggung sandiwara. Dunia adalah penuh tipu daya. Dunia adalah sesuatu yang menggiurkan. Artinya, banyak manusia yang tergiur dan tertipu oleh indahnya dunia. Bila dikejar, malah lari dunia itu. Bisa tambah kencang juga. Biarlah, kita sikapi secara wajar saja. Kehidupan dunia itu adalah kesenangan yang memperdayakan dan tidak abadi.

Perhatikan firman Allah di dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 185, “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan (ghurur).” (Qs. Ali Imran : 185).

Ghurur adalah diamnya jiwa pada sesuatu yang cocok dengan ajakan hawa nafsu. Yakni, bahwa jiwa itu bukan makin menentangnya atau bermaksud hendak mengusir ajakan buruk tadi. Kecocokan ini malah dicondongi oleh tabiatnya, baik karena adanya suatu kesyubhatan atau tipudaya syaithan. (Mau’izhatul Mukminin Ringkasan dari Ihya’ ‘Ulumuddin, 1975: 804)

Baca Juga: BSP 2024, Solidaritas dan Penghormatan Bagi Pahlawan di Tengah Genosida

Orang-orang salaf dahulu sangat berhati-hati sekali dalam ketaqwaan. Sangat menjauhi hal-hal yang syubhat (samar-samar) apalagi haram. Orang-orang mulia kala itu seringkali menangis, sebab menyesali dirinya sendiri yang tentu tidak luput dari dosa. Dalam sunyi dan kesendirian, para salaf itu seringkali menangis dan berhati-hati sekali dengan berbagai kemilau dan fitnah dunia ini. Lalu, bagaimana dengan kita saudaraku? Mari berbenah menjadi lebih baik agar kita selamat di akhirat sana. Wallahua’lam.(R02/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Baca Juga: Catatan 107 Tahun Balfour dan Setahun Perjuangan Thufanul Aqsa

 

 

 

Baca Juga: Memaknai Iqra

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
MINA Millenia
MINA Preneur
Kolom
Kolom
Kolom