London, MINA – Laporan tentang keputusan Bangladesh dan Myanmar untuk mengirim kembali pengungsi Rohingya ke tempat asal mereka di Rakhine menimbulkan kekhawatiran di kalangan para pengungsi dan meminta kepastian keamanan mereka setelah kembali.
Sejumlah organisasi menyerukan bantuan internasional untuk menciptakan lingkungan yang sesuai bagi repatriasi.
Pada 15 Agustus, juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengumumkan bahwa 3.540 pengungsi Rohingya dari lebih dari 22.000 nama yang dikirim oleh Bangladesh, telah dibebaskan untuk kembali ke Myanmar.
Jaringan Hak Asasi Manusia Burma yang berbasis di London (BHRN) mengatakan perjanjian repatriasi serupa telah direncanakan sebelumnya, tetapi disambut dengan perlawanan besar-besaran dari penduduk Rohingya yang mengatakan bahwa kondisinya masih tidak aman.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Mengkritik langkah tersebut, kelompok HAM itu menuding bahwa pengumuman terbaru juga tampaknya direncanakan tanpa masukan atau persetujuan dari warga Rohingya.
BHRN meminta Amerika Serikat, Uni Eropa, PBB dan ASEAN untuk menolak rencana tersebut dan secara jelas menetapkan syarat-syarat yang diperlukan untuk memulai pemulangan.
“Langkah-langkah ini harus mencakup kewarganegaraan bagi Rohingya, sebuah mekanisme untuk memastikan keselamatan mereka yang kembali, pertanggungjawaban para tokoh militer yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia,” kata BHRN.
Organisasi HAM itu menambahkan bahwa harus ada rencana konkret untuk mengembalikan Rohingya ke desa asal mereka dan memastikan bahwa properti mereka yang dihancurkan oleh militer akan dipulihkan atau diganti sepenuhnya.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Meskipun menyambut langkah tersebut, Presiden Organisasi Solidaritas Rakhine (RSO) Mohammad Ayyub mengatakan bahwa sejauh ini, belum ada proses pemulangan yang dilakukan.
Ayyub melihat repatriasi sebagai kesempatan bagi Rohingya untuk kembali ke tanah air mereka sendiri.
Dia juga mengatakan bahwa tidak ada upaya yang dilakukan untuk menghilangkan ketidakpercayaan di antara kedua belah pihak, sementara para pemimpin pengungsi Rohingya tidak diajak berdiskusi dan tidak mengetahui rencana tersebut.
Ayyub mendesak agar hak asasi manusia dan sipil Rohingya dipulihkan sebelum repatriasi yang sebenarnya dimulai.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
“Myanmar harus segera menghentikan kekerasan dan pembersihan etnis di negara bagian Rakhine segera dan secara permanen memulai proses repatriasi,” ujar dia.
RSO meminta agar tim investigasi PBB dikirim ke Myanmar untuk memastikan keselamatan bagi semua warga negara, terlepas dari ras dan agama, serta pembangunan zona keamanan.
Dia juga menyerukan penutupan kamp-kamp tahanan Rohingya di negara bagian Rakhine, kebebasan bergerak bagi penghuninya dan pengerahan pasukan keamanan internasional untuk mengawasi atau mengamati situasi di lapangan.
Kelompok teraniaya
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai kelompok yang paling teraniaya di dunia, menghadapi ketakutan yang terus meningkat sejak puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
Menurut Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24.000 Muslim Rohingya telah dibunuh oleh tentara Myanmar.
Lebih dari 34.000 orang Rohingya juga dibakar, sementara lebih dari 114.000 lainnya dipukuli, menurut laporan OIDA yang berjudul ‘Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang Tak Terkira’
Sekitar 18.000 perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar dan lebih dari 115.000 rumah Rohingya dibakar sementara 113.000 lainnya dirusak.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Menurut Amnesty International, lebih dari 750.000 pengungsi, sebagian besar anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan – termasuk bayi dan anak kecil – pemukulan brutal, dan penculikan yang dilakukan oleh personil keamanan.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. (AT/RS3/P2)
sumber: Anadolu Agency
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Mi’raj News Agency (MINA)