Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berjama’ah Solusi Multikrisis Umat Islam

Ali Farkhan Tsani - Sabtu, 30 September 2017 - 12:49 WIB

Sabtu, 30 September 2017 - 12:49 WIB

482 Views

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj News Agency (MINA)

Ada beberapa faktor eksternal yang saat ini masih menghinggapi kalangan umat Islam. Terutama berupa serangan Westernisasi (pembaratan) melalui berbagai infiltrasi pemikiran dan ideologi, di antaranya : paham sekulerisme, nasionalisme, eksistensialisme dan komunisme.

Melalui paham sekulerisme, bagaimana upaya untuk mengaburkan kebenaran Islam dan pendangkalan aqidah sehingga lambat laun umat Islam keluar dari aqidah dan pengamalan syariat agamanya.

Lainnya adalah paham nasionalisme, fanatisme kebangsaan yang sempit (ashobiyah) dan usaha deislamisasi dalam praktek kehidupan, hingga meniadakan syariat dalam hukum dan undang-undang. Kepentingan nasional menjadi dasar utama pengambilan kebijaksanaan negara masing-masing, sekalipun harus mengorbankan aqidah dan ukhuwah Islamiyah.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Paham Existensialisme, yaitu seruan kebebasan mutlak dari ikatan ajaran agama dan nilai-nilai akhlaq, hingga mengekspresikan hidup sebebas-bebasnya, mengikuti nafsu syahwat yang bergelimang dengan maksiat dan dosa.

Serta laten Paham Marxisme / komunisme, yang menganggap agama adalah obat bius bagi manusia, anti Tuhan, menghilangkan hak kepemilikan pribadi sebagai milik bersama, dengan membolehkan segala macam cara termasuk pembunuhan.

Faktor lainnya dalah internal umat Islam itu sendiri, ditandai dengan, sebagian umat Islam yang tidak konsekwen terhadap syariat agamanya.  Sebagian umat Islam lebih bangga menggunakan sistem dari luar Islam, mulai dari kehidupan pribadi (gaya hidup kebarat-baratan), rumah tangga (jauh dari nuansa Al-Quran), bermasyarakat (perumahan nafsi-nafsi), pendidikan (jauh dari ruh, karakter dan akhlaq Al-Quran), demokrasi (yang benar suara terbanyak), hingga sistem pergaulan internasional nasionalisme masing-masing.

Dalam skala berikutnya, kehidupan umat Islam yang sebagian besar mudah dipecah belah dan diadu domba. Mulai dari perbedaan fiqih mazhab, pemikiran, berpakaian, organisasi, sampai hubungan antarbangsa.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Hingga secara global, tidak adanya sentral kepemimpinan bagi Dunia Islam yang disyariatkan dan dicontohkan oleh pola kepemimpinan para Nabi dan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Terjebak dalam nasionalisme sempit, batas-batas terteritorial geografis, dan sekat-sekat kepentingan politik.

Fase Kepemimpinan Muslimin

Berkaca dari kondisi umat Islam. Berikut adalah sisi syarr’i dan historis, kepemimpin kaum Muslimin, berdasarkan hadits riwayat Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Misykatul Mashabih dari Nu’man bin Basyir. Pada hadits tersebut menyebutkan lima fase kepemimpinan umat Islam.

Pertama, fase nubuwah, ketika umat Islam dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam selama kurun waktu sekitar 23 tahun, yakni 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Kedua, fase Khilafah ala minhajin nubuwwah, yakni masa kepemimpinan empat khalifah rasyidah pengikut pola kenabian, selama kurun waktu sekitar 30 tahun. Sesuai dengan ketetapan Nabi Muhammad Shallallahu ’Alaihi Wasallam, “Kekhilafahan pada umatku tiga puluh tahun, kemudian kerajaan setelah itu.” (HR At-Tirmidzi Kitabul Fitan juz 4 hlm 503 no. 2226, Abu Dawud Kitabus Sunah juz 4 hlm 221 no. 4646-4647).

Mulai dari Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq (tahun 11-13 H. / 632-634 M.), Khalifah Umar bin Khattab (tahun 13-23 H. / 634-644 M.), Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H. / 644-656 M.), dan Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H. / 656-661 M.).

Ketiga, fase Mulkan  Adhan, yakni ketika umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan, dimulai dari Bani Umayah Muawiyah bin Abu Sufyan (tahun 41-61 H. / 661-680 M.) hingga Bani Abbasiyah Abu Abbas As-Saffah (132-137 H. / 750-754 M.).

Keempat, fase Mulkan Jabbariyah, umat Islam dipimpin oleh dinasti kerajaan Sultan Turki Utsmani, sejak Sultan Utsman bin Er-Thaghrol (tahun 1290-1326 M.) hingga Sultan Muhammad VI (tahun 1918-1923 M.).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Dhia’uddin Ar-Rayyis mengungkapkan, adalah Zionisme Internasional ditopang oleh kekuatan-kekuatan lain yang memusuhi Islam berupaya memecah-belah umat Islam dengan target menghancurkan sistem sentral kepemimpinan umat Islam yang telah berlangsung sekitar 1.300 tahun sebelumnya.

Puncak konspirasi Zionisme terjadi pada tahun 1924, yakni ketika dilenyapkannnya sistem sentral kepemimpinan umat Islam dinasti Turki Utsmani tanggal 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Pasha.

Dr. Ali Gharishah mengungkapkan, Musthafa Kemal Pasha bergelar At-Taturk (Pembangun Turki) adalah seorang tokoh Free Masonry Gerakan Yahudi Zionis Internasional. Ia berasal dari keluarga muslim yang dibina secara intensif oleh tokoh-tokoh Zionis Internasional, dan kemudian dijadikan pemimpin boneka untuk menghancurkan Islam dari dalam.

Secara formal kekuasaan kerajaan Turki Utsmani mengakhiri kepemimpinan sentral dalam Islam, yaitu pada masa Sultan Abdul Majid yang dihapuskan oleh Nasionalisme Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasha. Setelah itu kepemimpinan sentral umat Islam yang bersifat universal tidak ada lagi (vakum).

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Sejak 1924 itulah, kaum Muslimin di dunia hidup tanpa naungan sentral kepemimpinan, hingga terpecah belah menjadi sekitar 60-an negara nasionalis yang tidak terikat satu sama lain dengan ikatan Islam. Adanya adalah ikatan nasionalisme, kebangsaan, masing-masing, sehingga kaum Muslimin di suatu negara begitu mudah umat Islam dihinakan, wilayahnya diduduki penjajah, darahnya ditumpahkan, kehormatannya dilecehkan, dan agamanya dinistakan.

Hingga yang terkini, negeri Syam termasuk di dalamnya adalah Palestina, menjadi sau-satunya negeri Muslim terjajah yang hampir tanpa perlawanan berarti dari seluruh negeri Muslimin. Fakta membuktikan, negeri Palstina sampai kini masih dijajah oleh Zionis Israel. Darah tumpah setiap hari, anak-anak, orang-orang tua dan perempuan dibantai tiap jam, generasi muda dan tokoh-tokoh dipenjara tanpa kemanusiaan, serta Masjid Al-Aqsha kiblat pertama Muslimin dinodai bahkan hendak dirobohkan.

Demikian pula dunia Islam di kawasan Timur Tengah diadu domba, dan dihancurkan dari dalam dan diserang dari luar. Lihat saja bagaimana satu per satu negeri-negeri Muslim dibuat tidak aman, seperti: Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Yaman, Embargi Qatar, derita Muslim Rohingya komunitas manusia paling teraniaya di muka bumi, hingga satu-satunya negeri yang masih terjajah di permukaan bumi ini, Palestina.

Sementara kekayaan alamnya dieksploitasi untuk kepentingan Barat dan sekutunya. Lewat mekanisme utang luar negeri, mereka dijerat untuk tunduk kepada kepentingan kapitalisme Barat. Pendidikan juga sama nasibnya. Pendidikan yang berlandaskan sekuler di negeri-negeri Islam telah mencetak generasi-generasi pemuda Islam yang jauh dari akar Islam. Pergaulan bebas, LGBT, narkoba, minuman keras menjadi bagian yang tak terpisahkan dari generasi muda saat ini. Sementara di bidang pidana, tidak diterapkannya hukum-hukum Allah telah menyebabkan membengkaknya perkara-perkara kriminalitas seperti pemerkosaan, pelacuran, pembunuhan dan perampokan.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Nasib kaum Muslimin seperti yang digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ وَفِي رِوَايَةٍ كَرَاهِيَةُ الْقِتَال وَفِي رِوَايَةٍ وَكَرَاهِيَةُ الآخِرَةِ

Artinya : Bersabda Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian, dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahn.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahn itu?” Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda, ”Cinta dunia dan takut mati.” (H.R. Abu Dawud).

Ketiadaan sistem sentral kepemimpinan Muslimin, hidup berjamaah, itulah intinya, berakibat fatal bagi perlindungan nasib kaum Muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya. Lalu, nasib peradaban dunia ini apakah akan terus diserahkan begitu saja kepada Barat yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kebajikan kasih sayang apalagi ketuhanan.

Fase kelima, bangkitnya kembali sentral kepemimpinan umat Islam dalam wujud khilafah ala minhajin nubuwwah, sebagaimana pernah diamalkan empat khalifah rasyidah terdahulu.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Penegakkan Hidup Berjamaah

Muhammad Dhia’uddin Ar-Rayyis (2002) menyebutkan, ulama Islam sepakat bahwa hidup berjamaah merupakan kewajiban asasi dalam agama. Bahkan ia merupakan kewajiban pertama dan paling utama, sebab semua kewajiban agama dan juga seluruh kepentingan umat Islam tergantung padanya.

Hidup berjamaah merupakan fakta ilmiah relegius dan merupakan hakikat yang faktual historis dalam kehidupan umat Islam. Maka, kaum muslim tidak dapat mengabaikannya, melalaikannya, atau memejamkan mata terhadapnya. Mereka akan menanggung dosa sama seperti apabila mereka melalaikan salah satu kewajiban agama. Apalagi kewajiban ini merupakan kewajiban pertama dan paling utama, sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.

Sentral berjamaah inilah yang kemudian diteruskan oleh Mulkan Adhan dan Jabbariyah, yang sering disebut dengan Mulkan, menjadi poros sejarah umat Islam dan berlangsung terus-menerus dalam satu bentuk ke bentuk lain lebih dari 1.300 tahun. Sampai mendekati pertengahan abad XIV Hijriyah bertepatan dengan abad XX Masehi, berakhir di Turki Utsmani. Turki Utsmani memang disebut sebagai Sultan bukan Khalifah. Namun keberadaannya sebagai sentral kepemimpinan umat Islam tetap diakui dunia sebagai perekat kesatuan dan solidaritas umat Islam secara keseluruhan.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Selanjutnya, sinyal kebangkitan umat Islam sebagai usaha penyatuan umat Islam muncul dengan adanya gerakan All Khilafat Conference di India (tahun 1919). Gerakan ini secara tetap mengadakan pertemuan-pertemuan dalam membicarakan dan mengusahakan tegaknya kembali kekhilafahan. Dilanjutkan pertemuan serupa di Karachi, Pakistan (1921).

Tahun 1926 di Kairo diselenggarakan Kongres Khilafah yang diprakarsai para ulama Al-Azhar. Kemudian Kongres Islam Sedunia di Mekkah (1926), Konferensi Islam Al-Aqsha di Yerussalem (1931), Konferensi Islam International kedua di Karachi (1949), Konferensi Islam International ketiga di  Karachi (1951), Pertemuan Puncak Islam di Mekkah (1954), Konferensi Muslim Dunia di Mogadishu (1964), Konferensi Muslim Dunia di Rabat Maroko yang melahirkan OKI (1969), dan Konferensi Tingkat Tinggi Islam di Lahore Pakistan (1974).

Di Indonesia usaha penyatuan muslimin juga dilakukan oleh beberapa tokoh Islam seperti HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansur, KH Munawar Cholil, Dr. Abdul Karim Amrullah, dan Syaikh Wali Al-Fattaah. Dimulai dengan penyelenggaraan Komite Khilafah berpusat di Surabaya (1926). Dilanjutkan dengan Kongres Muslimin Indonesia di Yogyakarta (1949), dan Kongres Alim Ulama Mubalighin Seluruh Indonesia di Medan (1953).

Hingga diamalkannya kembali sistem sistem kesatuan umat Islam bersifat rahmatan lil ’alamin, nonpolitik, dengan imaamnya Syaikh Wali Al-Fattaah tanggal 10 Dzulhijjah 1372 H. / 20 Agustus 1953 M. (Suara Merdeka Rabu, 12 Agustus 1953, Mimbar Indonesia, Jumat 21 Agustus 1953).

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Jama’ah Muslimin (Hizbullah) dalam Maklumat Nomor I tahun 1372 Hijriyah menyebutkan, bahwa Jama’ah Muslimin (Hizbullah) berpedoman pada Al-Quran dan Sunnatu Rasulullah. Disebutkan juga, Jama’ah Muslimin (Hizbullah) berjuang karena Allah, dengan Allah, untuk Allah, bersama-sama Kaum Muslimin menuju Mardlatillah.

Dalam menghadapi suasana yang makin berolak ini, maka Jama’ah Muslimin (Hizbullah) menetapkan langkah-langkah azasi (strategi) sebagai berikut:

Pandangan, Pendirian dan Sikap hidup Muslim: Yaqin, bahwa berpegang teguh tha’at melaksanakan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, sumber segala kejayaan dan kebahagiaan.

Ukhuwah Islamiyyah: Kesatuan bagi seluruh Muslimin yang tidak dapat dibagi-bagi, dipisah-pisahkan, apa lagi diadudombakan, sebagai perwujudan Ukhuwah Islamiyah, baik dalam kemudahan ataupun dalam kesukaran.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Kemasyarakatan : Berfihak kepada kaum dla’if (lapar, lemah, tertindas, teraniaya) mempertegak keadilan.

Sikap Terhadap Lain-Lain Golongan: Tegak berdiri di dalam lingkungan kaum Muslimin, ditengah-tengah antar golongan, menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan munkar.

Antara Bangsa-Bangsa: Menolak tiap-tiap fitnah penjajahan, kedlaliman suatu bangsa di atas bangsa lain dan mengusahakan ta’aruf antar bangsa-bangsa.

Kewajiban Umat Islam

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Khilafah Suatu Realita Bukan Khayalan menyebutkan, sistem kesatuan umat Islam merupakan suatu syariat yang bisa diamalkan bukan suatu khayalan. Penegakkannya merupakan sinyal geliat kebangkitan umat Islam dari tidur panjangnya.

Dalam analisis orientalis Barat sendiri memandang kesatuan umat Islam sebagai raksasa tidur kini tengah mulai menggeliat. Hal ini membuat Barat secara terus-menerus berusaha mencari jalan untuk mendistorsi dan mempolitisir citra Islam yang bersifat rahmatan lil alamin. Mereka coba ciptakan citra negatif yang mengarah pada fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme.

Mengutip pengakuan mantan Presiden Amerika Serikat George W. Bush Jr, yang menyebutkan bahwa sistem kesatuan umat Islam akan menjadi imperium Islam yang akan melintasi negeri-negeri Muslim dulu hingga kini, membentang dari Eropa hingga Afrika Utara, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.

Menurutnya, kekhawatiran Barat itulah yang antara lain melatarbelakangi serangkaian konspirasi global, strategi dan kebijakan luar negeri mereka . Beberapa konspirasi itu, di antaranya invasi AS ke Irak pada 2003, blokade Irak selama delapan tahun (2003-2011), invasi AS ke Afghanistan dan Somalia, revolusi Suriah 2011, serta agresi militer Israel ke Gaza.

Konspirasi macam apa mereka terhadap dunia Islam, Irak misalnya, ternyata terbukti yang menjadi korban adalah masjid-masjid hancur, ulama banyak yang terbunuh, serta puluhan ribu buku-buku perpustakaan hangus.

Adapun terkait kelompok pengusung khilafah yang menamakan dirinya ISIS (Islamic State Irak and Suriah), seruan untuk bergabung ke dalam kelompok itu termasuk bentuk ashobiyah (bergolongan) yang mengarah pada perpecahan umat Islam, melalui cara-cara kekerasan. Sedangkan Tujuan khilafah sangat jelas, untuk rahmat semesta alam, menyatukan, dan berjuang untuk meninggikan kalimat Allah, itulah fii sabilillah (di jalan Allah).

Dengan berjamaah membawa nilai-nilai rahmatan lil alamin, menyelamatkan manusia dari keterpurukan, menyeru kepada jiwa-jiwa manusia untuk mengabdi hanya kepada Allah, mengikat tali persaudaraan sesama hamba-hamba Allah. Sistem kepemimpinan sentral kaum Muslimin merupakan syariat yang mulia dan pembawa rahmat bagi alam semesta, bukan membawa kerusakan, permusuhan apalagi teror dan radikalisme.

Mengikuti kepemimpinan Rasul yang sungguh sangat mulia dan penuh rahmat, juga dilanjutkan oleh Khilafah Rasyidah yang mengikutinya. Jangankan dalam damai, dalam peperangan di medan tempur sekalipun Rasul melarang membunuh anak-anak, wanita, orang tua, pendeta dan sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran. Bahkan, tempat peribadatan agama lain seperti bangunan gereja, para pendeta, hingga fasilitas umum, pohon-pohon dan alam sekitar pun tidak boleh dibunuh dan dihancurkan semena-mena, ujarnya.

Jangan sampai syariah berjamaah yang agung, mulia dan terhormat, menjadi identik dengan radikalisme, kekerasan dan saling bunuh sesama manusia, diamalkan dengan tujuan-tujuan politik kekuasaan suatu negara. Itu tidak sesuai lagi dengan tuntunan Rasul.

Kewajiban sentral kepemimpinan umat Islam itu, sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyebutkan :

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Surah Al-Baqarah ayat 30).

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthubi disebutkan, ayat ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan umat Islam untuk menyelesaikan dan memutuskan pertentangan antara manusia, menolong orang yang teraniaya, menegakkan hukum Islam, mencegah merajalelanya kejahatan, dan masalah-masalah lain yang tidak dapat terselesaikan kecuali dengan adanya khilafah.

Ayat lain menegaskan :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat. Yang demikian itu adalah yang lebih baik dan sebaik baiknya penyelesaian.” (Q.S. An-Nisa : 59).

Pada ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan kepada orang yang beriman untuk mentha’ati ulil amri. Ulil amri adalah kepemimpinan yang mengurusi umat Islam, rujukannya Al-Quran dan As-Sunnah. Tentu saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memerintahkan umat Islam untuk mentha’ati seseorang yang tidak wujud. Sehingga jelaslah bahwa mengamalkan kepemimpinan Islam adalah wajib.

Tentang kewajiban adanya pemimpin juga didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, antara lain :

وَلَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلَاةٍ إِلَّا أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ

Artinya : “Tidak halal bagi tiga orang yang berada di permukaan bumi kecuali mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir atau pemimpin.” (Hadits Riwayat Ahmad).

Asy-Syaukani berkata : “Hadits ini merupakan dalil wajibnya menegakkan kepemimpinan di kalangan umat Islam. Dengan adanya pemimpin, umat Islam akan terhindar dari perselisihan, sehingga akan terwujud kasih sayang di antara mereka. Apabila kepemimpinan tidak ditegakkan maka masing-masing akan bertindak mengikuti pendapatnya yang sesuai dengan keinginannya sendiri. Disamping itu, kepemimpinan akan meminimalisir persengketaan dan mewujudkan persatuan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :

كَانَتْ بَنُوا إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءَ كُلَمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيُّ وَ إِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ. وَسَيَكُونُوا خُلَفَاءَ فَيَكْثُرُوْنَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوْا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَاالْأَوَّلِ وَاعْطُوْهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائَلُهُمْ عَمَا اسْتَرْعَاهُمْ

Artinya : “Adalah Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap nabi meninggal diganti oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku, dan akan ada beberapa khalifah yang banyak. Para shahabat berkata, “Apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau bersabda, “Tetapilah bai’at yang pertama kemudian yang pertama. Berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah menanyakan kepada mereka tentang apa yang diserahkan oleh Allah kepada mereka.” (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Itulah sentral kepemimpinan umat Islam, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat lainnya :

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ اْلأَمْنِ أَوْ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي اْلأَ مْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلاَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لاَتَّبَعْتُمْ الشَّيْطَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

Artinya : “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” (Q.S. An Nisa : 83).

Semoga kita dapat mengamalkan sentral kehidupan berjamaah ini karena semata-mata mengharap ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sekaligus ini menjadi solusi mulktikrisis dunia Islam. Amin Ya Robbal ‘Alamin. (A/RS2/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Palestina
Dunia Islam