Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
Pengantar
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda :
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
Artinya : “Barangsiapa menziarahiku setelah aku meninggal dunia, maka seakan-akan dia sedang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup.” (H.R. al-Baihaqi).
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Berkaitan dengan hadits tersebut, di dalam kitab I’anatut Thalibin dinyatakan bahwa berziarah ke makam Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan salah satu ibadah yang mulia. Karena itu, sudah selayaknya untuk diperhatikan oleh seluruh umat Islam. Jangan sampai tidak berziarah padahal dia telah diberi kemampuan oleh Allah, lebih-Iebih bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji. Karena hak Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang harus diberikan oleh umatnya sangat besar.
Bahkan jika salah seorang di antara mereka datang dengan kepala dijadikan kaki dari ujung bumi yang terjauh hanya untuk berziarah ke Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka itu belum cukup untuk memenuhi hak yang harus diterima oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari umatnya. Mudah-mudahan Allah membalas kebaikan Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.”
Lokasi Makam Nabi
Lokasi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar isteri beliau, Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Ini sesuai dengan wasiat beliau sendiri, yang meminta agar kelak kalau wafat, dimakamkan di tempat meninggalnya. Sebelum wafatnya, baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan, yang artinya, “Kami para Nabi dikubur di tempat kami meninggal dunia.”
Selanjutnya, berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, di sampingnya, yakni sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq dan sahabat Umar bin Khattab.
Semasa hidupnya menjelang akhir hayatnya, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq memberikan wasiat kepada puterinya ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, yang juga adalah isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, agar setelah dirinya wafat, dikebumikan di samping Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Maka ketika ajalnya tiba, dibuatlah sebuah liang lahad di kamar ‘Aisyah, dan posisi kepala beliau sejajar dengan pundak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Sedangkan, Khalifah berikutnya Umar bin Khaththab ketika menjelang ajalnya akibat ditusuk pisau oleh tangan jahat seorang majusi, Abu Lu’lua, Umar masih sempat menyampaikan pesan kepada puteranya Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma.
Katanya, “Wahai Abdullah, pergilah kepada Ummul Mukminin, Aisyah, katakan bahwa Umar menyampaikan salam. Kemudian mintalah izin kepadanya agar aku bila meninggal nanti, bisa dikuburkan bersama kedua sahabatku (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Abu Bakar)”.
Setelah wasiat itu disampaikan kepada Aisyah, ia berkata, “Dahulu (sebenarnya) aku inginkan tempat itu untukku. Tetapi hari ini aku berikan untuknya.” Maka ketika Abdullah bin Umar menemui ayahnya, ayahnya ditanya, “Bagaimana hasilnya?” Abdullah menjawab, “Dia (‘Asiyah) telah memberikan izin untukmu wahai Amirul Mukminin.” Umar berkata, “Tempat itulah yang paling penting bagiku” (H.R. Bukhari).
Akhirnya Umar pun dikebumikan bersama kedua sahabatnya, dan sejak saat itu ‘Aisyah membuat tabir antara dia dengan tempat persemayaman ketiga manusia termulia itu. Subhaanallaah…
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Awalnya, lokasi itu di luar Masjid Nabawi, akan tetapi karena perluasan-perluasan Masjid Nabawi, ketiga makam itu kini berada di dalam masjid, yakni di sudut kiri depan masjid.
Bertemu Nabi
Jika menyimak sabda beliau, yang artinya : “Barangsiapa menziarahiku setelah aku meninggal dunia, maka seakan-akan dia sedang berziarah kepadaku ketika aku masih hidup.” (H.R. al-Baihaqi).
Maka, memang betul sekali, rasanya ketika kita berziarah ke makam beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti mengunjunginya saat beliau hidupnya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Sesaat setelah memasuki Masjid Nabawi dari Pintu Babus Salam, yang terletak di sebelah barat kanan masjid, dengan berhimpitan, berdesakan, namun tetap tertib da khusyu’. Jamaah perlahan-lahan berjalan lurus menuju makam Nabi.
Setelah shalat di Raudhah, jarak antara mimbar Nabi dan rumah beliau, yang sekarang menjadi makam beliau, maka pandangan jamaah tertuju ke makam Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Terbayang betapa bersahaja, anggun, berwibawa, tersenyum penuh kasih sayang, dan bercampur-baur segala perasaan kebaikan di dalam dada.
“Allahumma shalli ‘alaa Muhammad….. Allahumma shalli ‘alaa Muhammad…… Allahumma shalli ‘alaa Muhammad”, terdengar dari depan, belakangm, kakan dan kiri, bacaan shalawat kepada baginda Nabi.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Mata yang berkaca-kaca, butiran hangat air mata penuh dosa kepada Allah, sekaligus haru, bahagia bercampur malu menghadap Nabi-Nya yang amat mulia.
Begitu sekitar satu meter mendekati makam Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mengalir deraslah air mata ini, juga air mata para jamaah lainnya, seolah-olah berjumpa Nabi.
Lalu, secara umum jamaah pun mengucapkan salam kepada penghuni kubur denga ucapan antara lain :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Artinya : “Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”. (H.R. Muslim dari Buraydah Radhiyallahu ‘Anhu).
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Nah, begitu sampai makam Nabi, terlihat dari bilik-bilik kecil dari besi, tapi tidak dapat tersentuh tangan karena dibatasi pagar, dan dijaga oleh petugas keamanan (asykar), yang membatasi waktu untuk segera bergantian dengan antrian di belakangnya.
Jamaah pun, masih diiringi dengan tatapan mata yang berkaca-kaca, sambil terisak mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Artinya: “Selamat sejahtera atasmu wahai utusan Allah, semoga Allah melimpahkan rahmat dan keberkahan-Nya ke atasmu”….
Sejengkal dari makam Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kita pun berjupa dengan makam sahabatnya yang utama, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Terbayang bagaimana kebijaksanaanya sekaligus ketegasand an ketegarannya dalam hidup mendampingi Nabi. Terbayang bagaimana sosok dermawan yang telah menghabiskan seluruh tenaga, waktu, keluarga dan hartanya untuk berjihad di jalan-Nya.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
“Assalamu’alaika yaa Abu Bakar warahmatullahi wabarakatuh,” terdengar ucapan salam dari jamaah peziarah.
Sahabat utama, sekaligus mertua Nabi, yang teramat setia mendampingi Nabi saat hijrah dari Mekkah ke Madinah, sahabat yang rela dirinya digigit binatang buas di dalam Goa Tsur, demi menyelamatkan Nabinya yang amat dicintainya melebihi segala-galanya. Allahu akbar…..
Lalu, berjalan beberapa tapak kaki lagi, menemui kuburan Khalifah kedua, Umar bin Khattab. Masih dengan mata basah lembab akibat terlalu banyak air mata membasahinya.
“Assalamu’alaika yaa Umar ibnul Khattab warahmatullahi wabarakatuh,” terdengar lagi ucapan salam dari jamaah peziarah.
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Seolah tergambar pribadi yang gagah, tegas dalam keadilan, pemberani dalam kebenaran, namun suka menangis karena dosa. Sang pembeda (al-Faruq), yang tajam membedakan mana haq mana bathil, tanpa kompromi.
Sahabat besar yang awalnya seakan tidak percaya Nabinya tercintra wafat, kala itu. Sehingga ia menghunus pedang hendak memenggal orang-orang yang mengatatakan bahwa Nabinya telah wafat. Lalu diingatkan oleh sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq. Subhaanallaah…
“Ruuh…. Ruuh…”, artinya kira-kira, “Ayo keluar, keluar, cepat, bergantian…”, begitu petugas yang mengenakan jubah putih dan sorban khas, merah kotak-kotak putih.
Lalu, jamaah pun keluar melalui pintu Baab al-Baqi, yang mengarah ke kuburan para sahabat dan keluarga nabi, Makam Baqi’.
Baca Juga: RSIA Indonesia di Gaza, Mimpi Maemuna Center yang Perlahan Terwujud
Hikmah
Subhaanallah… sungguh sebuah perjalanan spiritual yang tak ternilai, bagi pencerahan jiwa dan penguatan iman, serta cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Teringat ucapan Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu yang berkata, “Tidaklah kami sangat bergembira setelah nikmat Islam kecuali setelah mendengar sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ”Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.” Lanjut Anas, ”Maka sungguh aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan Umar Radhiyallahu ‘Anhuma. Saya pun berharap bisa bersama mereka, walaupun amalanku tidaklah seperti mereka.” (H.R. Muslim).
Berziarah ke makam Nabi, sebuah bentuk cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (Mahabbatur Rasul), yang selanjutnya terwujud dalam bingkai “sami’na wa atha’na” (kami dengar dan kami tha’at) terhadap perintah Rasul, berendah hati, mendahulukan, melindungi dan kasih sayang kepada beliau.
Mahabatur Rasul bukan hanya terbatas pada salam dan Shalawat untuk beliau. Namun juga membentengi beliau dari marabahaya dan meneruskan sunnahnya dalam jihad membela Islam.
Mahabbatur Rasul muncul dari keikhlasan dan ketulusan, rasa cinta yang Allah tumbuhkan, yang tak dapat ditumbuhkan oleh manusia meski membelanjakan seluruh kekayaannya. Rasa cinta yang melebihi rasa cinta kepada bapak-bapak, anak-anak, saudara, isteri, kaum keluarga, harta, perniagaan, rumah-rumah yang disukai. Bahkan rasa cinta yang melebihi rasa cinta kepada diri sendiri.
Itulah Mahabbatur Rasul yang mewarnai hati sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘Anhu, yang membuatnya mendahulukan, melindungi dan tak membangunkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang tertidur di pangkuannya di dalam Goa Tsur. Walaupun harus menahan sakit kakinya karena tersengat kalajengking hingga mengucurkan darah.
Itulah Mahabbatur Rasul yang menyelimuti jiwa Umar bin Khattab yang siap menghunus pedang membela Nabinya dari serangan kaum Kuffar. Cinta yang menjadikannya selalu hadir di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada saat-saat genting, ia yang tak pernah membiarkan kata-kata tak pantas dikeluarkan musuh-musuh Islam di hadapan sang kekasihnya, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.”
Cinta yang Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam luruskan, ketika Umar berkata dengan jujur dan ikhlas, “Ya Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segalanya, kecuali dari diriku,”
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam pun merespon kecintaan sahabatnya itu, “Bukan demikian wahai Umar, demi jiwaku dalam genggaman-Nya, hingga engkau mencintai diriku melebihi cintamu kepada dirimu sendiri.”
Saat itu dan seketika itu pula, Umar langsung mengatakan, “Sekarang, demi Allah engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” “Itulah cinta yang benar wahai Umar,” kata Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Subhaanallaah…
“Ya, Allah berilah kesempatan kembali kepada kami, serta kepada saudara-saudara kami, untuk berziarah ke ke Nabi-Mu Shallalahu ‘Alaihi Wasallam, serta kedua sahabat utama Abu Bakar dan Umar, di Masjid Nabi-Mu”. Aamiin. (T/P4/P3)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)