Oleh: Abu Muslim, Koresponden Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Jalur Gaza
Dibalik berbagai kemelut, penderitaan, rasa pilu dan krisis kemanusiaan dan berbagai cobaan hidup lainnya di daerah terkepung Gaza, Palestina, ternyata kota yang dijuluki ‘penjara terbesar di dunia’ itu masih memiliki cerita menarik. Cerita yang diharapkan mampu mengembalikan harapan untuk menggantikan rasa sedih dan putus asa bagi siapa yang iba terhadap saudara-saudara mereka di Jalur Gaza.
Jujur saya merasa lelah ketika harus terus-menerus menulis berbagai kisah sedih dan penderitaan yang melanda Jalur Gaza tiada henti. Sebagaimana rasa lelah yang dirasakan para pembaca akibat pilu tak berujung. Seandainya para jurnalis lelah hanya karena menulis berbagai kisah pilu warga Gaza, dan para pembaca pun letih karena setiap hari disuguhi penderitaan mereka lantas kelelahan dan keletihan macam apa yang dirasakan oleh anak-anak yatim yang ditinggal syahid oleh sang ayah? para janda yang di belum sempat melakukan salam perpisahan kepada suami-suami mereka yang gugur di bawah rudal-rudal yang menjatuhi rumah?
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Akhirnya, sore itu saya putuskan untuk mencari suasana baru yang mungkin bisa menghibur hati yang lelah ini. Saya mencari sebuah tempat yang masih menyisakan keceriaan anak-anak Gaza. Saya ingin mendengar kembali tawa canda mereka. Melihat senyum mereka berkembang.
Sebuah ironi ketika ternyata kisah saya hari itu berakhir di sebuah pelabuhan. Satu satunya pelabuhan yang dimiliki Jalur Gaza yang letaknya tepat di sebelah barat kota Gaza. Kenapa saya katakan ironi, karena dari pada harus dinamakan sebagai pelabuhan dalam arti sebenarnya, yaitu area tempat kapal kapal laut besar berlabuh, tempat ini lebih pantas dikatakan sebagai pelabuhan warga Gaza di mana puluhan ribu warga Jalur Gaza dari timur hinga selatan berlabuh mencari secercah keceriaan dan asa.
Di pelabuhan ini kita tidak bisa temukan satupun kapal laut berukuran besar yang biasanya wajib mengisi sebuah area yang manamakan dirinya “pelabuhan”. Hanya perahu kecil milik segelintir nelayan yang tinggal tidak jauh dari area pantai. Namun, ketidaaan kapal kapal laut itu tidak berarti tidak ada pengunjung. Seperti yang saya tulis di atas bahwa tiap harinya ribuan warga Gaza tumpah ruah mengisi setiap sudut pelabuhan yang menjadi salah satu objek wisata andalan yang mereka punya di tengah blokade saat ini.
Ada bangku panjang yang disediakan untuk pengunjung sesak diduduki oleh sepasang suami istri dengan anak anak mereka. Sebagian lagi diisi oleh sejumlah pemuda yang asik “ngobrol” dengan diselingi gelak tawa. Semua bangku panjang tersebut di desain mengarah kelaut lepas karena panorama sore pantai Gaza memang satu-satunya tayangan yang disuguhi untuk seluruh pengunjung pelabuhan tersebut.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Setiap orang yang datang ke pelabuhan akan masuk melalui sebuah pintu gerbang berupa tiang portal yang dijaga oleh kepolisian pelabuhan bersenjata lengkap. Setelah menelusuri jalan menurun, para pengunjung langsung disambut oleh monumen Mavi Marmara yang tegak angkuh menantang langit. Sebuah monumen yang dibangun dalam rangka mengenang para aktivis kemanusiaan asal Turki yang meninggal diberondong oleh serangan tentara Israel di atas kapal laut Mavi Marmara di perairan internasional pada 2010 silam.
Di pucuk monumen itu tampak sebuah bola dunia berukuran besar dan di badan monumennya tersemat delapan nama syuhada asal Turki yang merupakan korban saat itu.
Di ujung pelabuhan terdapat sebuah tanjung (daratan yang menjorok ke laut) yang dipenuhi tumpukan batu-batu besar menyerupai tembok. Tangan-tangan kreatif para pemuda Gaza berhasil menyulap tumpukan tembok batu tersebut menjadi pemandangan penuh ceria dengan cat warna-warni menutupi permukaan bebatuan tersebut.
Hal unik lainnya adalah monumen di tengah-tengah pelabuhan yang dibangun dari sebuah baling-baling kapal laut besar yang saya tidak tahu dari mana mereka menemukannya. Berbagai hal sederhana yang ada di pelabuhan itu tampak menghibur para pemuda dan pemudi, orang tua dan anak-anak yang asik berfoto ria dengan kamera handphone mereka.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Para Enterpreneur Cilik Gaza
Di tengah keceriaan dan tawa bocah-bocah itu, sejumlah anak-anak kecil tampak berjalan penuh lelah berpeluh keringat. Diantara mereka ada yang sedang menjajakan asongan, ada juga yang seorang bocah mengenakan baju bertuliskan “Messi” di punggungnya sedang mengenggam beberapa butir balon gas sambil menawarkannya ke sana dan kemari, ada yang berdiri bersama ayahnya menjaga gerobak dipenuhi dengan gelas, bungkus kopi dan teh, dan sebagian lain tampak mendorong mobil mainan berhias kertas warna-warni dan diingringi musik anak-anak yang dikendarai oleh seorang penumpang balita yang lucu dan tampak tenggelam dalam keceriaan.
Pemandangan para pengusaha cilik itu membuat saya takjub. Perasaan haru campur bangga menghinggapi hati saya. Seorang bocah pendorong mobil mainan bernama Muhammad Abu Hamad. Setelah saya hampiri dan bincang bincang dengan sang bocah, akhirnya saya tahu bahwa anak berumur 11 tahun itu datang dari wilayah Syeikh Ridwan yang berada di perbatasan Jalur Gaza selatan dengan kota Gaza. Jarak yang cukup jauh untuk ditempuh oleh seorang anak kecil. Mobil mainan plastik berkapasitas satu penumpang kecil itu milik bosnya. Untuk satu putaran, seorang anak balita yang menggunakan jasa “taxi mini” nya harus membayar 1 shekel (Rp 3200). Sementara 50 persen total hasil dari ongkos yang dikumpulkan oleh Muhammad akan masuk ke kantong nya, sementara 50 persen lagi milik sang bos.
Dari Muhammad si enterpreneur cilik, mata saya beralih ke pemandangan unik lainnya. Sesosok tubuh mungil itu terlihat asik bermain akrobatik sambil disoraki tawa sang ibunda yang duduk di bangku panjang. Tidak hanya mungil, ternyata si kecil bernama Anwar itu juga tampan. Si ibu mengatakan kepada saya bahwa anak nya itu baru berusia enam tahun. Atas instruksi dari si Ibu, dengan mudahnya Anwar mengangkat kedua kakinya ke udara dan mulai berdiri di atas dua telapak tangan mungilnya. Lucu dan menggemaskan.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Semua Pemandangan yang saya lihat sore itu benar-benar membuat lega dan bersyukur hati ini. Saya melihat adanya harapan, ketegaran, kesabaran, semangat dan keceriaan pada diri masyarakat yang selama ini hidup dibawah bayang-bayang penderitaan.
Bertasbih di Depan Samudera Kekuasaan-Nya
Saya sangat menikmati pemandangan “manusia-manusia kecil” itu. Setiap melihat senyuman mereka, setiap itu juga harapan tampak semakin nyata. Sampai akhirnya pandangan saya tertuju pada seorang kakek yang dalam kesendiriannya tampak khusuk tertegun menghadap pantai. Dia duduk di atas bangku panjang yang terbuat dari batu yang didisain untuk diduduki tiga orang. Tampak asyik dengan kesendiriannya, mulut sang kakek tampak komat kamit melafalkan sesuatu yang saya sakini ada hubungannya dengan tasbih yang mengantung di kedua tangan keriputnya.
Benar saja, ternyata dia sedang bertasbih sambil memandangi keagungan Allah bernama lautan. Sang kakek tampak senang ketika mendapati seorang pemuda warga negara asing seperti saya ikut duduk dan berbincang-bincang dengannya.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Hari ini saya datang ke pelabuhan untuk memandangi keagungan Allah sambil bertasbih” jelas sang kakek yang bernama Abu Isham Al Kahlut itu.
Tinggal delapan hari lagi sang kakek akan menginjak usianya yang ke-66. Ia bercerita tentang bagaimana sulitnya hidup di bawah kekuasaan penjajah Israel sejak 1948 hingga 1956. Kampung halaman sang kakek adalah kota Ashkelon yang saat ini diduduki para pemukim ilegal Israel. Dirinya dan keluarganya dipaksa hengkang dan mengungsi ke Jalur Gaza. Meskipun demikian Abu Isham yang memiliki delapan anak ini bahagia karena pernah dua kali menginjakkan kaki dan sholat di masjid Al-Aqsha di kota Al Quds.
Abu Isham tidak tiap hari datang ke pelabuhan. Ia mengaku bahwa di hari tuanya dirinya membutuhkan hiburan semacam ini, apalagi umurnya yang sudah sepuh mengharuskan dia untuk pensiun dari bekerja sebagai supir taksi.
Perbincangan saya dengan sang kakek terasa sejuk dan hangat. Saya senang untuk melanjutkannya, namun malam semakin dekat dan saya harus kembali ke kantor untuk tugas selanjutnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Senyum ceria malaikat syurgawi Abdurrahman dan Kareem pun menyuguhkan saya jepretan terakhir kamera sekaligus menutup hari ini dengan kepuasan batin. Berkaca di atas blokade dan bersyukur atas segalanya. Alhamdulillah. (L/K02/R04)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel