Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berkah Masih Hidup di Tengah Kehancuran Gaza

Rudi Hendrik - Selasa, 2 April 2024 - 10:55 WIB

Selasa, 2 April 2024 - 10:55 WIB

20 Views

Oleh: Ahmad Sbaih, tinggal di kompleks Al-Rimal, Kota Gaza, Palestina.

Mayat adalah pemandangan umum di Gaza. Hampir setengah tahun perang di Gaza berkecamuk.

Saya masih berada di Gaza utara, di lingkungan al-Rimal di Kota Gaza. Saya tidak tahu bagaimana saya bisa bertahan selama ini dan tetap menjaga kewarasan sekecil apa pun, terutama setelah menyaksikan pembantaian tak termaafkan yang dilakukan oleh Israel.

Mereka sama sekali tidak menghargai kita sebagai manusia.

Baca Juga: Pilkada 2024 Ajang Merajut Persaudaraan

Setiap pagi, saya terbangun karena rasa lapar di perutku. Itu adalah pengingat harian bahwa saya masih hidup dan hari perjuangan baru telah dimulai.

Tidak ada yang sama sejak 7 Oktober. Israel menghancurkan sebagian besar wilayah al-Rimal hingga menjadi puing-puing pada bulan-bulan awal perangnya di Gaza. Namun, keluarga saya tetap tinggal di rumah kami.

Kebutuhan sehari-hari – listrik, makanan, air – kini menjadi barang mewah. Tidak ada malam di mana saya pergi tidur yang tidak mendengar pesawat tempur melayang di atas.

Setiap hari saya menyeret tong berukuran 500 liter sejauh satu kilometer untuk mengambil air dan kemudian kembali ke rumah.

Baca Juga: Amalan-Amalan di Bulan Rabiul Awal

Airnya tidak disaring dan terkontaminasi. Tapi kami harus minum sesuatu.

Kami menggunakan air yang sama untuk mandi, untuk menyiram toilet.

Limbah keluar dari pipa-pipa di sebelah rumah kami. Baunya tidak enak, tapi harus says akui saya sudah terbiasa sekarang.

Saya menghitung berkahku setiap hari karena saya masih hidup, bahwa saya mempunyai atap di atas kepalaku. Tepat di depan rumah kami terdapat sebuah sekolah dimana mereka yang rumahnya telah dihancurkan oleh Israel kini harus berlindung di sana.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Selama gencatan senjata tujuh hari pada akhir bulan November, saya berkata pada diri sendiri bahwa ini akan menjadi “sedikit istirahat.”

Pada hari pertama gencatan senjata, saya berjalan keliling kota untuk melihat apa yang tersisa. Saya telah mengantisipasi kehancuran bangunan dan mobil.

Saya tidak mengira saya akan melihat mayat di sepanjang jalan.

Melihat mayat kini menjadi hal yang lumrah. Kadang-kadang ditutupi dengan lembaran kain, dan di waktu lain terbuka dan membusuk.

Baca Juga: Doa Hari Jumat yang Diamalkan Rasulullah

Saya merasa mati rasa. Melihat begitu banyak manusia terbunuh, tubuh mereka terekspos dan membusuk. Hidup kehilangan makna bagi saya pada saat itu.

Tidak ada yang penting lagi.

Saya bahkan tidak bisa merasa sedih atas hancurnya gedung-gedung. Universitas saya, rumah teman-teman saya. Saya tidak menyadari betapa buruknya keadaan yang akan terjadi setelah gencatan senjata.

Seorang pria Gaza duduk di atas puing-puing meratapi kediamannya yang hancur dibom Israel. (Foto: The National)

Tidak ada lahan kosong

Baca Juga: Kepemimpinan Umat Islam dan Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Israel membunuh orang-orang yang mencoba mengakses mendapatkan tepung dan makanan kaleng.

Ada pasar di ujung jalan saya. Untuk sampai ke sana, saya bisa menempuh dua jalan.

Jalan pertama, yaitu jalan tempat saya tinggal, dipenuhi lubang-lubang raksasa akibat bom Israel. Tidak mungkin untuk pergi lewat jalan ini.

Jalan kedua dulunya lebar dan kosong. Namun pada bulan Februari, Israel mengebom sebuah gedung 10 lantai, dan puing-puingnya kini menghalangi jalan.

Baca Juga: Turkiye dari Eropanisasi, Stres, Hingga Reislamisasi

Diperkirakan 40 orang masih tertimbun reruntuhan.

Kami mencoba mencari jalan keluar dari reruntuhan, melalui lahan terbuka. Tapi ada masalah juga di sini.

Lahan kosong sudah tidak kosong lagi. Lahan itu sekarang penuh dengan kuburan para syuhada.

Kami tidak punya pilihan lain selain berjalan ke pasar yang sebagian besar kosong. Kami berjalan di antara kuburan dengan hati-hati.

Baca Juga: Demo Warga Israel atas Netanyahu yang Makin Meluas

Saya tidak melihat daging, buah atau sayuran selama lebih dari empat bulan. Saya bahkan lupa bagaimana rasanya roti.

Sekarang, kami membuat “roti” yang berbeda dari makanan ternak.

Mendapatkan bantuan sangatlah mematikan

Truk bantuan datang setiap hari ke Gaza dengan membawa tepung dan barang-barang lainnya yang mungkin bisa menyelamatkan kami dari kelaparan. Namun, itu tidak cukup bagi ribuan orang yang berada di Gaza utara.

Baca Juga: Damai di Palestina, Damai di Dunia

Dan sekarang kami bahkan takut untuk mendekati truk karena takut Israel akan menembaki kami.

Paman saya Hani, suatu hari pergi ke truk bantuan untuk mengambilkan makanan untuk kami. Dia dibunuh oleh tentara pendudukan yang mencoba mengambil tepung dari salah satu truk.

Dia ditinggalkan di tanah, mati, selama berjam-jam sebelum kami bisa mendapatkan jenazahnya.

Paman saya sudah seperti ayah bagi saya. Kami menguburkannya di samping kakek saya.

Baca Juga: Mencegah Degradasi Moral Remaja Akibat Media Sosial

Malam itu, saya banyak menangis. Saya mulai merasa pusing dan kaki saya lemas. Saya belum makan dalam 48 jam.

Saya tidak sanggup memakan apa yang tersedia sedikit.

Saya duduk di tanah, tak berdaya. (AT/RI-1/P2)

sumber: The Electronic Intifada

Baca Juga: Memperkukuh Persahabatan dan Kerja Sama antara Indonesia dengan Negara-Negara Afrika

Mi’raj News Agency (MINA)

Taggaza

Rekomendasi untuk Anda

Palestina
Palestina
Internasional
Palestina
Palestina
MINA Millenia
MINA Sport
MINA Health
Asia
Indonesia