HALIMA Abu Dayya mengira hari terburuk dalam hidupnya adalah ketika ia diusir dari kampung halamannya pada tahun 1948, yang juga dikenal dengan “Nakba” atau sebuah malapetaka pembersihan etnis bangsa Palestina.
Saat itu, ia sedang hamil dan membawa tiga anaknya yang masih kecil ketika tentara Zionis mengusir mereka dari Desa Dayr Sunayd, sebuah desa di distrik Gaza, yang kemudian dihancurkan untuk membangun negara Israel.
Mereka dipaksa naik truk dengan todongan senjata dan diturunkan di dekat perbatasan Gaza, tinggal selama beberapa hari sebelum akhirnya dipindahkan ke wilayah Jalur Gaza. Ia menyebut hari itu sebagai hari terberat dalam hidupnya. Namun ternyata, itu hanyalah awal dari penderitaan panjang yang akan terus ia alami hingga akhir hayatnya.
Puluhan tahun berlalu, Halima tetap tinggal di Gaza. Usianya yang terus menua tidak membuat penderitaannya berakhir. Justru, saat usianya telah mencapai 91 tahun, agresi militer kembali memburunya. Perang kembali meletus. Rumah-rumah luluh lantak, orang-orang terpaksa mengungsi, dan makanan menjadi barang langka. Dalam tujuh bulan terakhir hidupnya, Halima terus berpindah-pindah tempat, lebih dari sepuluh kali diusir dari satu tempat ke tempat lainnya. Ke mana pun mereka pergi, serangan udara dan darat Israel terus mengintai.
Baca Juga: Meneladani Siti Hajar untuk Menjadi Muslimah Tangguh Masa Kini
Di usia senjanya, Halima sudah tak bisa berjalan. Ia hanya bisa duduk di kursi roda dan harus dibantu setiap kali mengungsi. Anak laki-lakinya yang kini berusia 76 tahun bergantian mendorong kursi roda itu bersama kedua cucunya, melewati puing-puing, jalan yang rusak, dan ancaman tembakan dan rudal.
Saat Ramadhan, mereka bahkan harus mengungsi dalam kondisi puasa, tanpa makanan, tanpa minuman, air bersih, atau tempat berlindung yang layak. Suatu hari, ketika mereka baru saja melintasi persimpangan, tembakan menghampiri mereka. Namun mereka selamat, meski kaki Halima terluka akibat reruntuhan.
Selama masa-masa sulit itu, Halima sering kali bingung. Alzheimer yang dideritanya membuatnya sulit membedakan waktu dan tempat. Ia kerap mengira anaknya adalah ayahnya sendiri. Tapi ada satu hal yang tak pernah ia lupakan, yaitu kampung halamannya.
Ia terus bertanya tentang rumah, kebun, dan pakaian-pakaiannya yang dulu ditinggalkan. Hampir setiap hari ia berkata, “Ayo pulang.” Setiap rumah yang mereka tempati, membuatnya gelisah. Baginya, tidak ada tempat yang benar-benar rumah selain kampung halamannya yang telah dihancurkan sejak 76 tahun lalu.
Baca Juga: Muslimah Inspiratif, Dari Hijrah hingga Menjadi Teladan
Kenangan tentang Nakba 1948 begitu lekat dalam pikirannya. Ia pernah menceritakan kepada anak dan cucunya tentang suara tembakan yang tak henti terdengar saat itu. Teror mencapai puncaknya ketika kabar tentang pembantaian Deir Yassin menyebar, lebih dari 100 warga Palestina dibunuh secara brutal oleh tentara Zionis, termasuk perempuan, anak-anak, dan orang tua. Halima yang saat itu sedang hamil ketakutan bukan main. Ia mendengar perempuan hamil di Deir Yassin dipaksa mengalami keguguran atau dibunuh. Rasa takut itu terus terbawa bahkan hingga di akhir hidupnya, terutama ketika ia kembali dipaksa mengungsi, kali ini dalam tubuh yang renta dan sakit.
Halima selalu percaya bahwa mereka akan kembali. Ia pernah bercerita bahwa saat meninggalkan rumahnya di Dayr Sunayd, mereka mengubur pakaian-pakaian di dalam tanah, berharap bisa kembali dalam hitungan hari. Tapi hari itu tak pernah datang.
Hingga akhirnya, kondisi tubuhnya benar-benar tak mampu bertahan. Di hari-hari terakhirnya, ia tinggal di rumah salah satu anaknya di Sheikh Radwan. Tidak ada buah, tidak ada sayur, bahkan susu atau yoghurt. Yang ada hanya roti keras dari pakan ternak, yang bahkan tak bisa ia telan. Bersama jutaan warga Gaza lainnya, Halima dikepung kelaparan akibat blokade. Badannya melemah, begitu juga anaknya. Tubuh-tubuh tua itu kehabisan daya karena usia, kelaparan, dan pengusiran tanpa henti.
Pada Minggu, 26 Mei, Halima meninggal dunia. Awalnya, keluarga hendak menguburkannya di stadion yang telah dijadikan pemakaman massal. Namun pada akhirnya, mereka berhasil memakamkannya dengan layak.
Baca Juga: Muslimah Penentu Arah Peradaban
Kisah Halima bukan hanya tentang seorang nenek yang meninggal dalam penderitaan. Ini adalah kisah tentang seorang perempuan yang menjadi saksi dua kali Nakba, dua kali terusir dari rumahnya. Namun dalam semua penderitaan itu, ada sesuatu yang tak pernah bisa diambil darinya, yaitu ingatannya. Ia mungkin lupa wajah anaknya, lupa nama cucunya, tapi ia tak pernah lupa kampung halamannya. Halima membawa serta kerinduan yang belum sempat tertuntaskan, yaitu, pulang.
Ia telah pergi, tapi kisahnya tetap hidup. Sebab Halima bukan satu-satunya. Jutaan warga Palestina lainnya hidup dengan cerita yang serupa: terusir, kehilangan, bertahan, dan tetap berharap. Nakba belum selesai. Dan selama tanah itu belum bebas, nama-nama seperti Halima akan terus mengingatkan kita bahwa Palestina belum merdeka. []
Sumber: MEE
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Panduan Membina Rumah Tangga Sakinah untuk Muslimah