Berkorban untuk Saudara Seiman

Ilustrasi. (Gambar: ACT)

Oleh: Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj News Agency (MINA)

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآٮِٕلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَـٰهَدُواْ‌ۖ وَٱلصَّـٰبِرِينَ فِى ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِ‌ۗ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ‌ۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ

Artinya, “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar [imannya]; dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 177)

Sahabat Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu menyusuri medan Bukit Uhud seusai perang berakhir. Mungkin masih ada para mujahid yang berguguran bisa diselamatkan atau masih hidup.

Saat sedang menyisir medan Uhud, Umar mendengar ada suara yang memanggil-manggil nama Allah  sambil meminta seteguk air.

“Allah…. Allah…. Haus… Haus….”

Ketika Umar menemukan sumber suara itu, ia melihat seorang prajurit muda Muslim sedang kritis dengan luka perang yang parah. Ia meminta minum.

Ketika Umar hendak memberi prajurit tersebut minum, tiba-tiba dari sisi lain terdengar pula rintihan seorang prajurit yang sama kondisinya sedang kritis. Ia pun merintih haus dan meminta air minum.

Mendengar rintihan temannya itu, prajurit pertama segera memberi isyarat kepada Umar untuk menunda pemberian airnya. Ia meminta Umar mendahulukan prajurit lainnya, karena mungkin prajurit kedua itu lebih membutuhkan air minum.

Umar membaringkan kembali prajurit pertama dan bergerak untuk memberi minum prajurit kedua. Ketika Umar menyodorkan tempat airnya kepada mulut prajurit tersebut, tiba-tiba terdengar kembali rintihan dari sisi yang lain.

“Allah…. Allah…. Haus… Haus….”

Mujahid kedua yang mendengar rintihan itu segera menggeleng, mencegah Umar memberinya minum.

“Berikan air ini kepada saudaraku itu. Mungkin ia lebih menderita daripada aku,” kata mujahid itu kepada Umar.

Maka Umar pun meninggalkan mujahid kedua dan bergerak ke seberang mendapati seorang mujahid yang sudah lanjut usia. Mujahid ketiga itu tergolek lemah tak berdaya. Umar cepat menghampiri pria tua itu.

Namun, mujahid ketiga tersebut lebih dulu menghembuskan napas terakhir, pergi menghadap Allah.

Umar sangat sedih. Ia segera tergopoh-gopoh pergi mendatangi tempat mujahid pertama untuk memberinya air. Namun, setibanya di sana, mujahid pertama itu juga lebih dulu wafat.

Umar kian sedih, tapi tidak berhenti. Segera ia pergi mendatangi mujahid kedua dengan penuh harapan kepada Allah agar mujahid terakhir itu bisa diselamatkan. Namun, mujahid kedua itu pun telah menyusul kedua saudaranya sebagai seorang syuhada.

Umar akhirnya berdiri terpaku mendapati peristiwa yang menyedihkan, tapi memberi pesan kecintaan yang begitu tinggi antara sesama Muslim yang bersaudara.

Ketiga mujahid itu adalah contoh karakter wahyu hasil pendidikan kenabian yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Tidak hanya di masa-masa kritis mereka menunjukkan tingginya rasa cinta dan rela berkorban untuk kepentingan saudaranya, di masa hidup lapang pun mereka menunjukkan tingginya rasa cinta itu.

Kembali memuncaknya penderitaan saudara-saudara seiman kita di Myanmar seiring tibanya perayaan Hari Raya atau Idul Adha, rasa itu sudah seharusnya muncul di diri setiap Muslim.

Muslim yang menjadi minoritas di Myanmar, akhir bulan Agustus ini mendapat serangan dari militer Buddha. Desa-desa dan rumah-rumah mereka dibakar. Para tentara menembaki tanpa pandang bulu, bahkan bayi pun tidak segan ditembak.

Kondisi itu memaksa puluhan ribu warga Muslim lari menyelamatkan diri menyeberangi sungai Naf untuk masuk ke Bangladesh.

Sekitar 20.000 pengungsi telah masuk ke Bangladesh, sementara ribuan lainnya masih terperangkap di perbatasan. Hal yang sangat mereka butuhkan adalah makanan, layanan kesehatan, dan tempat berlindung.

Di hari berkurban inilah, waktu yang tepat untuk menunjukkan rasa berkurban untuk sesama saudaramu.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (Shahih Bukhari). (A/RI-1/RS1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.