Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S. Al-Hijr [15] : 9).
Untaian ayat tersebut tertulis di pintu masuk Museum Simpanan Al-Quran Lama Nusantara di Komplek Pondok Pesantren Madrasah Ahmadiah Islamiah lantai satu, Desa Sala Anak Ayam, Bacho, Provinsi Narathiwat, Thailand bagian selatan.
Kata ‘Ahmadiah’ pada nama pesantren tersebut tidak ada hubungannya dengan aliran Ahmadiah, melainkan diambil dari nama pendirinya yang bernama Ustadz Ahmad.
Baca Juga: Jenin Membara Bak Gaza, Bagaimana Respon Dunia?
Warga setempat menyebut pesantren yang kini dipimpin Ustaz Muhammad Lutfi Haji Samin, lulusan salah satu perguruan tinggi Islam di Yordania itu, dengan sebutan ‘Pondok Sala Anak Ayam’.
Ada sekitar 800 santri tingkat sekolah menengah yang sedang menempuh ilmu-ilmu keislaman di pesantren dengan bangunan tiga lantai itu.
Di pesantren seluas sekitar 15 hektar tersebut tersimpan Al-Quran tulisan tangan kuno dalam jumlah cukup banyak, yang berasal dari Andalusia (Spanyol), Arab, Thailand, dan Indonesia.
Baca Juga: Kumandang Surah Al-Isra’ dari Jakarta untuk Palestina
Jumlahnya ada 72 Al-Quran dan beberapa puluh kitab kuno lainnya dalam bahasa Arab-Melayu (Jawi), yang berusia mulai 200 tahunan hingga 700 tahunan.
“Ini menurut kami bagian dari lahafidzun, Allah menjaga Al-Quran,” ujar Ustadz Lutfi kepada Penulis.
Di antaranya terdapat Al-Quran berukuran 17 cm x 11 cm dengan tebal 2 cm. Mushaf ini ditulis oleh Ibnu Almarhum Al-Marfu Maula Muhammad Al-Bassari, tahun 987 Hijriyah. Berarti hingga tahun 2014, usia Al-Quran yang ditulis di atas kertas dan sampul dari kulit binatang telah berumur lebih dari 449 tahun.
Pada bingkai kaca lainnya, terdapat Mushaf Al-Quran tulisan tangan kuno berukuran lebih besar, 19 cm x 15 cm, dengan tebal 5 cm. Mushaf ini ditulis oleh Haji Muhammad Husin bin Abdul Latif bin Mu’min Zainul Abidin, tahun 1893 M. (usia 121 tahun).
Baca Juga: Tak Ada Tempat Bersembunyi: Kisah Penyandang Disabilitas Gaza di Tengah Genosida
Ada juga Tafsir Al-Jalalain, kitab masyhur di kalangan ulama. Kitab tulisan tangan dengan ukuran 30 cm x 22 cm dan tebal 5 cm ini, ditulis pada tahun 840 H./1436 M. (berusia sekitar 596 tahun dalam kalender Hijriyah).
Pada sudut ruangan yang tidak terlalu luas itu, hanya seukuran kelas belajar untuk 40 pelajar itu, Penulis juga melihat Mushaf Al-Quran kuno tulisan tangan yang ditulis oleh Imam Muhammad Arikularessy dari Nusantara Timur, tahun 1590 M. (berusia sekitar 424 tahun). Mushaf ini berukuran 32 cm x 20 cm, dengan ketebalan 5 cm. karya ini ditulis di atas kertas produk Eropa, tanpa hiasan tepi.
Terdapat juga Al-Quran kuno tahun 1251 H. (usia 185 tahun), ditulis oleh Syaikh Daud bin Abdullah bin Idris Al-Jawi Al-Fathoni. Al-Quran lama tulisan tangan ini dibingkai dengan sampul kain sutera berwarna hitam, dihiasi dengan ragam hias menggunakan bunga mawar dan mawar segala bunga. Ukurannya pun cukup besar: 19 cm x 24 cm, tebal : 7 cm.
Di samping mushaf Al-Quran, ada juga beberapa kitab klasik tentang kedokteran, astronomi, dan cerita dakwah melalui wayang.
Baca Juga: Pesona Kota Lama, Harmoni antara Agama dan Budaya
Sejarah Penulisan
Pemandu Museum Al-Quran, Ustadz Lutfi menjelaskan, sejarah penulisan Al-Quran kuno dimulai oleh Syaikh Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasan bin Muhammad Hamid Al-Raniry Al-Quraisy. Syaikh Nuruddin merupakan tokoh ulama yang termasyhur di tanah Melayu Nusantara pada Masa Kerajaan Islam Pasai di Semenanjung Timur Lautan Sumatera, era Sultan Malik Shalih.
Menurutnya, Syaikh Nuruddin waktu itu mendapat tugas sebagai Qadhi (hakim) dari Raja Malik Shalih, dan ia juga merupakan Mufti kepercayaan Sultan Iskandar II, Sultan Kerajaan Ajyah awal abad 16 Masehi.
Ia juga merupakan ulama terkemuka yang banyak menulis kitab dengan tulisan tangan dalam tiga bahasa: Arab, Melayu, dan India.
Baca Juga: Melihat Mona Lisa Di Musée Du Louvre Paris
“Karya Syaikh Nuruddin yang masyhur antara lain Bustanus Salathin, Taman Segala Raja, yang merupakan rujukan raja-raja di Tanah Melayu, serta Kitab Sirathal Mustaqim yang menjadi pedoman kalangan ahli tasawuf,” ujar Lutfi.
Syaikh Nuruddin wafat tahun 1658 M., dengan meninggalkan kitab-kitab karangannya sejumlah 29 buah.
Pada umumnya kitab-kitab klasik tulisan tangan itu ditulis menggunakan alat tulis bulu ayam atau bulu burung merak, lidi landak, buluh dan pohon batang kabung.
Sementara warna hiasan dilukis dari bahan buah-buahan dan bunga-bunga. Ada pun tinta antara lain terbuat dari campuran getah dama, getah terea, dan dawat India atau dawat Cina, serta dilebur dengan haram kayu dan teras kayu leban.
Baca Juga: Potret Ademnya Masjid Tuo Al-Khairiyah di Tapaktuan
Kertas yang digunakan para ulama untuk menulis ayat-ayat Al-Quran, berasal dari kertas produk Eropa, seperti dari Belanda, Inggris, dan Italia.
Para ulama generasi pewaris selanjutnya, terutama di wilayah Narathiwat dan daerah sekitarnya dalam kawasan Pattani, bagian Selatan Thailand, mulai mengabadikan dan mengamankan karya-karya Syaikh Nuruddin, ditambah mushaf dan kitab tulisan tangan lainnya, dikumpulkan dari berbagai sumbangan hibah warga ke Museum Simpanan Al-Quran Lama Nusantara di Komplek Pondok Pesantren Madrasah Ahmadiah Islamiah, Desa Sala Anak Ayam, Bacho, Provinsi Narathiwat, Thailand bagian selatan.
Penulis, dipandu Ustadz Dr. Abdulloh Abu Bakar, dari Majelis Agama Islam Wilayah Yala, Thailand, mencoba menelusuri karya-karya klasik yang fenomenal itu.
Tokoh ulama di Provinsi Narathiwat merasa terhormat dan sangat senang untuk pembangunan museum itu selanjutnya, sebagai salah satu upaya menyampaikan kepada seluruh dunia bahwa nilai-nilai Al-Qur’an tetap abadi serta bukti bahwa ajaran Islam telah lama berada di Nusantara, khususnya di kawasan Pattani, bagian selatan Thailand.
Baca Juga: Ketangguhan Pejuang Palestina dan Pesimisme Tentara Israel dalam Krisis Gaza
Provinsi Narathiwat, berbatasan dan berdekatan dengan dua provinsi lainnya di Thailand yang mayoritas berpenduduk Muslim, yaitu Provinsi Yala dan Provinsi Pattani.
Perawatan Fisik
Ustadz Lutfi, yang mengelola Museum Al-Quran, dibantu alat CCTV (Closed Circuit Television) untuk memantau pengunjung, mengatakan, mengenai perawatan Al-Quran klasik tersebut diperlukan anggaran tahunan sekitar 2,5 juta baht (sekitar Rp. 943.728.124,- atau hampir 1 miliar rupiah).
Di samping bantuan dari Departemen Seni Rupa Thailand, perawatan juga mendapat bantuan utama dari Perpustakaan Sulaiman Al-Qanuni di Istanbul, Turki.
Baca Juga: Kematian Kareem Badawi dalam Serangan New Orleans Hancurkan Hati Keluarga
Perpustakaan Sulaiman Turki, merupakan peninggalan Sultan Sulaiman, yang berkuasa pada Dinasti Turki Utsmai saat baru berusia 26 tahun, memerintah tahun 1520-1566 M. Sultan Sulaiman berjaya menyebarkan Islam sehingga ke rantau Balkan di Eropa meliputi Hungaria, Belgrade, Austria, Benua Afrika, dan Teluk Persia.
Bantuan dari Perpustakaan Sulaiman antara lain dalam pengecatan ulang, melapisi Al-Quran kuno dengan bahan-bahan kimiawi dan alami.
“Dalam satu tahun kita kirim per 10 mushaf Al-Quran ke Istanbul, dengan daya tahan untuk masa 200 tahun,” ujar Lutfi.
Para ulama dan pejabat setempat sedang merencanakan pembangunan sebuah museum yang lebih permanen untuk penyimpanan Al-Quran Nusantara tersebut.
Secara rutin, pengelola megadakan pameran terbuka setiap tiga bulan sekali dengan mengundang pejabat setempat dari dalam dan luar negeri, khususnya Malaysia, juga terbuka untuk pelancong lainnya. (P4/R05).
Baca Juga: Perjuangan Heroik Dr. Hussam Abu Safiya di Rumah Sakit Terakhir yang Masih Beroperasi di Gaza
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pengungsi Gaza Sambut Tahun Baru 2025 di Tengah Tenda yang Banjir