Bermegahan yang Menghancurkan

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

Di dalam Al Quran, Ta’ala telah menjelaskan tentang hakikat kehidupan dunia. Penjelasan tersebut Allah ulang-ulang dalam beberapa ayat. Tujuannya agar manusia tahu, kemudian sadar, dan muncul keyakinan bahwa kehidupan dunia ini bukanlah kehidupan yang hakiki. Di antara kita, hanya sebatas tahu bahwa kehidupan dunia ini bukanlah kehidupan yang hakiki, tapi rasa sadar dan yakin belum masuk ke dalam hati kita.

Dari beberapa ayat yang Allah sebutkan tentang sifat kehidupan dunia, tidak satu pun ayat yang menyebutnya dengan bentuk pujian. Sebagaimana firman-Nya,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 20).

Di antara tipuan kehidupan dunia adalah seseorang suka saling bersaing dalam kemegahan dan kemewa-han hidup. Sebagaimana firman Allah dalam Alquran dalam surat At-Takatsur.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ. حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ. كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ. ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ. كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ. ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ´ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 1-8).

Surat ini adalah surat Makiyah, yakni surat yang Allah Ta’ala turunkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sebelum beliau hijrah ke Madinah.

Di awal ayat, Allah Ta’ala berfirman

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.” (QS. At-Takatsur: 1).

alhaakum” (Arab: أَلْهَاكُمُ) maknanya adalah telah membuat kalian lupa. Apa yang membuat manusia lupa? Yaitu “at-takaastur” (Arab: التَّكَاثُرُ) artinya bermegah-megahan dan saling memperbanyak.

Kita lihat kondisi pribadi kita pada saat ini dan orang-orang secara umum. Kita menampakkan siapa yang memiliki perhiasan terbaik, kendaraan paling bagus, rumah paling besar dan megah, gadget paling baru, dll. Untuk berlomba-lomba tersebut kita pun membutuhkan modal dan modal itu akan didapatkan dengan kerja keras dan mencurahkan waktu yang tidak sedikit. Sehingga waktu dan umur kita pun habis. Oleh karena itu, Allah berfirman tentang perlombaan ini,

حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ

“Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 2).

Dalam ayat yang kedua, Allah Ta’ala memilih kata “zurtum” (Arab: زُرْتُمُ) “kalian berziarah” untuk mengungkapkan kondisi mayat yang masuk ke dalam kubur. Allah umpamakan, masuknya jasad manusia ke dalam kubur sebagai ziarah atau kunjungan. Artinya kuburan hanyalah tempat singgah. Tidak selamanya manusia berada di alam kubur. Hal ini sebagai sanggahan kepada orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan atau mereka yang memiliki keyakinan re-inkarnasi.

Kemudian kata Allah,

كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

“Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” (QS. At-Takatsur: 3).

Manusia akan sadar dan teringat dari kelalaiannya ketika kematian datang menjemputnya. Barulah ia sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah kesia-siaan. Barulah ia paham, harta yang ia kumpulkan ia tinggal-kan untuk dibagi-bagi ahli warisnya. Barulah ia ingat bahwa dunia itu amatlah singkat dan perjalanan akhirat butuh perbekalan.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

يَقُولُ الْعَبْدُ مَالِى مَالِى إِنَّمَا لَهُ مِنْ مَالِهِ ثَلاَثٌ مَا أَكَلَ فَأَفْنَى أَوْ لَبِسَ فَأَبْلَى أَوْ أَعْطَى فَاقْتَنَى وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ ذَاهِبٌ وَتَارِكُهُ لِلنَّاسِ

“Seorang hamba berkata, “Harta-hartaku.” Bukankah hartanya itu hanyalah tiga: yang ia makan dan akan sirna, yang ia kenakan dan akan usang, yang ia beri yang sebenarnya harta yang ia kumpulkan. Harta selain itu akan sirna dan diberi pada orang-orang yang ia tinggalkan.” (HR. Muslim).

Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلاَثَةٌ ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ

“Yang akan mengiringi mayit (hingga ke kubur) ada tiga. Yang dua akan kembali, sedangkan yang satu akan menemaninya. Yang mengiringinya tadi adalah keluarga, harta dan amalnya. Keluarga dan hartanya akan kembali. Sedangkan yang tetap menemani hanyalah amalnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Di ayat berikutnya, Allah Ta’ala berfirman,

ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ

“dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” (QS. At-Takatsur: 4).

Manusia semakin sadar dan mengetahui, ketika ia telah masuk ke dalam kubur. Ia tidak lagi bisa kembali ke dunia yang ada hanyalah pertanggung-jawaban. Sementara yang ia kumpulkan di dunia sedang dibagi, dan ia akan mempertanggung-jawabkan hasil jerih payahnya. Yang halal akan dihisab dan dari yang haram akan mendapat adzab.

كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ

“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan  yang  yakin  (‘ilmu  al-yaqin).”   (QS. At-Takatsur: 5).

Di dalam kehidupan dunia ini, Allah ingatkan manusia. Dan ini adalah bentuk kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya. Allah ingatkan, janganlah kalian para hamba-Ku disibukkan dengan perlombaan seperti itu, jika kalian sudah mengetahui dan meyakini kematian itu pasti akan terjadi. Dan tidak ada seorang pun yang meragukan jika ia akan meninggal dunia.

لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ

“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim.” (QS. At-Takatsur: 6).

Jahim adalah nama dari nama-nama neraka. Ayat ini mempertegas firman Allah sebelumnya bahwa alam kubur bagaikan sebuah kunjungan saja. Manusia tidak kekal di sana. Mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat.

Dan saat dibangkitkan itulah pengetahuan manusia yang sebelumnya sebatas keyakinan (‘ilmu al-yaqin) berganti menjadi penginderaan (‘ainu al-yaqin).

ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ

“dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatn-ya dengan ´ainul yaqin.” (QS. At-Takatsur: 7).

Pengetahuan akan hari kebangkitan yang sebatas keyakinan di dalam hati semakin dibuktikan dengan indera penglihatan. Semakin menyesallah orang-orang yang menyesal dan selamatlah orang-orang yang berbekal.

Sebagaimana orang-orang pada hari ini yang belum pernah datang ke Masjid al-Haram. Pengetahuan mereka terhadap keberadaan Ka’bah hanya sebatas ilmu al-yaqin. Apabila mereka telah datang ke Masjid al-Haram, lalu melihat Ka’bah dengan mata kepala mereka, pengetahuan mereka berubah menjadi ‘ainu al-yaqin. Semakin yakinlah mereka bahwa Ka’bah itu benar-benar ada. Ketika mereka thawaf, kemudian memegang Ka’bah, maka bertambah lagi pengetahuan dan keyakinan tersebut menjadi haqqu al-yaqin.

Serupa dengan hal ini adalah perminataan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada Allah Ta’ala,

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku).” (QS. Al-Baqarah: 260).

Beliau ‘alaihisshalatu wa salam ingin agar ilmu al-yaqin yang beliau dapati berganti menjadi ‘ainu al-yaqin. Beliau tidak membantah dan ragu akan ketetapan Allah Ta’ala. Dan Allah pun tidak meragukan keimanan Nabi Ibrahim dengan mengabulkan permintaan beliau sebagai keutamaan yang Dia berikan kepada kekasih-Nya ini. Allah melanjutkan firman-Nya,

قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 260).

Beliau yang meminta agar ilmu beliau berpindah menjadi ainu al-yaqin tapi Allah berikan kepada beliau haqqu al-yaqin dengan cara terlibat mencincang-cincang burung tersebut.

Segala puji bagi Allah yang dengan hikmah-Nya membagi-bagi pengetahuan manusia sesuai dengan kadarnya. Dan segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah mengingatkan para hamba-Nya agar tidak dalam perlomabaan yang melelahkan dan sia-sia ini, wallahua’lam.(RS3/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.