Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bersama dalam Ketaatan: Urgensi Hidup Berjama’ah bagi Seorang Muslim

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 29 menit yang lalu

29 menit yang lalu

7 Views

Brigade Al-Qassam shalat berjama'ah. (Foto: Arsip)

PERNAHKAH Pernahkah kita merenung, mengapa shalat lima waktu yang menjadi tiang agama selalu dianjurkan untuk dilakukan secara berjama’ah? Mengapa Rasulullah ﷺ membangun masjid terlebih dahulu saat hijrah ke Madinah, bukan pasar atau bahkan rumahnya? Jawabannya sederhana tapi mendalam: Islam tidak diturunkan untuk individualis, tetapi untuk membentuk jama’ah—sebuah umat yang bersatu dalam iman, visi, dan aksi.

Sendiri itu lemah. Iman itu seperti bara api—jika dibiarkan sendiri, ia akan padam. Tapi jika digabungkan dengan bara lain dalam satu tungku, ia akan menyala besar. Maka, betapa pentingnya seorang Muslim untuk hidup dalam kebersamaan yang terikat oleh iman dan ketaatan kepada Allah. Bukan sekadar kumpul-kumpul, tapi berjama’ah dalam makna yang hakiki—berbaris dalam satu visi, taat dalam satu kepemimpinan, dan teguh dalam satu perjuangan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya serigala hanya memangsa kambing yang terpisah dari kelompoknya.” (HR. Abu Dawud)

Iblis tidak takut pada Muslim yang rajin shalat sendirian di rumah. Tapi dia takut pada Muslim yang istiqamah hadir dalam shalat berjama’ah di masjid, teguh dalam dakwah/">barisan dakwah, dan terikat dalam ukhuwah. Serigala mengincar mangsanya yang terpisah dari kawanan. Maka, siapa yang menjauh dari jama’ah, sejatinya sedang membuka celah untuk diterkam.

Baca Juga: Al-Jama’ah: Wadah Iman, Ladang Amal, dan Kunci Kejayaan Islam

Ayat-ayat Al-Qur’an penuh dengan seruan kebersamaan: “Berpeganglah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, seraya berjamaah dan jangan bercerai-berai…” (QS. Ali Imran: 103). Kita diperintahkan untuk bersama, bukan sendiri. Untuk bersatu, bukan menyendiri. Untuk berbaris, bukan bersembunyi dalam kenyamanan ibadah personal.

Hidup berjama’ah adalah cara Allah menjaga kita. Di dalam jama’ah, ada kekuatan moral dan spiritual yang tak tergantikan. Kita saling menasihati dalam kebaikan. Kita saling menyemangati dalam lelah. Kita saling menopang dalam ujian. Dan yang terpenting: kita saling menjaga dalam ketaatan.

Jangan Bangga Menjadi Muslim yang Sendirian

Di era individualisme seperti sekarang, banyak yang merasa cukup menjadi “Muslim mandiri.” Mengaji sendiri, berdakwah sendiri, merasa paling benar sendiri. Tapi apakah kita sadar? Beragama tanpa jama’ah adalah jalan halus menuju kesesatan.

Tanpa barisan, amal kita bisa tak terarah. Tanpa pemimpin, dakwah kita bisa membingungkan. Tanpa nasihat saudara seiman, kita mudah terjatuh dalam kesalahan yang tak terasa. Beragama itu bukan seperti mendaki gunung sendirian, tapi seperti berjama’ah dalam safar panjang menuju surga. Harus terorganisir, ada yang menuntun, dan saling menunggu.

Baca Juga: Hidup Bersama Al-Jama’ah: Kewajiban, Hikmah, dan Jalan Menuju Keutuhan Umat

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (kepada imam), niscaya ia akan berjumpa Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah.” (HR. Muslim)

Berjama’ah bukan hanya tentang kebersamaan, tapi juga tentang ketaatan kepada pemimpin yang adil dan bertakwa. Islam mengatur umat dalam sistem yang teratur. Tidak semua bisa jadi pemimpin, tapi semua wajib taat pada pemimpin yang lurus. Tanpa ketaatan, jama’ah akan bubar. Tanpa disiplin, perjuangan akan kacau.

Ada yang berkata, “Saya ingin bebas, tak mau terikat aturan jama’ah.” Tapi sadarkah kita, bahwa kebebasan tanpa arah hanyalah kehancuran? Di dalam jama’ah, memang ada aturan, ada tanggung jawab, ada disiplin. Tapi justru itulah bentuk cinta Allah agar kita tidak tersesat.

Jama’ah itu seperti tubuh. Ada yang menjadi otak, ada yang menjadi tangan, ada yang menjadi kaki. Tak semua harus di depan. Tapi semua berperan. Maka jangan merasa kecil dalam jama’ah. Bahkan diamnya kita dalam barisan bisa menjadi penjaga bagi yang di depan.

Baca Juga: Menetapi Al-Jama’ah: Pilar Keimanan dan Penjaga Kesatuan Umat Islam

Dan jangan lari saat ada konflik atau perbedaan. Jama’ah bukan tempat orang-orang yang tak pernah berselisih, tapi tempat mereka yang tetap bertahan meski ada perbedaan. Ujian dalam jama’ah bukan tanda kelemahan, tapi ladang pahala. Kita belajar sabar, ikhlas, saling memaafkan. Itulah ruh ukhuwah.

Ingatlah bahwa semua kemenangan Islam dalam sejarah selalu dimulai dari jama’ah. Dari Ashabul Kahfi, Sahabat Rasul, hingga pejuang kemerdekaan—semuanya bergerak dalam barisan. Umat Islam kuat ketika bersatu, dan lemah saat tercerai-berai.

Jika kita ingin melihat kebangkitan Islam, maka jangan hanya berharap. Gabunglah dengan barisan perjuangan! Jangan hanya menjadi pengagum para pejuang Islam. Jadilah bagian dari mereka. Jangan hanya tepuk tangan untuk dakwah. Ikutlah memikul beban dakwah.

Tanyakan pada diri sendiri: Apakah aku masih nyaman dalam ibadah pribadi yang sepi dari perjuangan? Apakah aku masih memilih menyendiri daripada tunduk dalam barisan? Apakah aku masih memprioritaskan kebebasan dibanding ketaatan?

Baca Juga: Museum Al-Qur’an Al-Akbar Palembang: Wisata Religi Ikonik di Sumatera Selatan

Hidup berjama’ah bukan tentang siapa paling hebat. Tapi siapa paling istiqamah dalam ketaatan bersama. Siapa yang bersedia taat meski tak selalu setuju. Siapa yang rela berkorban demi misi yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Inilah saatnya bangkit. Saatnya bergabung. Saatnya menjadi bagian dari jama’ah yang bergerak. Mari kita buka hati dan pikiran. Hidup bukan hanya tentang mencari pahala pribadi. Tapi membangun barisan yang kuat, rapi, dan saling menopang untuk menegakkan Islam. Karena di sanalah keberkahan, di sanalah pertolongan Allah turun, dan di sanalah kemenangan akan dilahirkan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ziarah ke Masjid Al-Aqsa, Kunjungan Spiritual dan Persaudaraan

Rekomendasi untuk Anda