DI TENGAH pusaran zaman yang kian bergerak cepat, kita melihat anak-anak tumbuh di antara arus informasi yang deras, media sosial yang membius, dan gaya hidup serba instan yang kadang mengikis makna kehidupan. Dunia berubah. Tapi apakah kita—para orang tua, guru, dan tokoh masyarakat—juga berubah dan tumbuh bersama mereka? Ataukah kita justru tertinggal dalam mendidik, membimbing, dan menjadi teladan bagi mereka?
Inilah saatnya kita bangkit. Inilah waktunya kita menaruh kesadaran mendalam bahwa generasi hari ini bukan sekadar pewaris dunia, tapi penjaga nilai, penyambung cita-cita, dan penerus amanah kehidupan. Mereka butuh lebih dari sekadar kecerdasan intelektual. Mereka butuh akhlak. Mereka butuh cinta. Mereka butuh kita—yang hadir bukan hanya dalam kata, tetapi dalam jiwa.
Anak-Anak Adalah Amanah
Allah Ta’ala mengingatkan dalam firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. At-Tahrim: 6)
Baca Juga: Kamu Pemuda atau Penonton Zaman?
Ayat ini bukan sekadar peringatan, melainkan seruan ilahi yang menyentuh inti tanggung jawab kita sebagai orang tua dan pendidik. Anak-anak adalah amanah, bukan beban. Mereka bukan milik kita, tetapi titipan Allah yang kelak akan ditanya: “Apa yang engkau lakukan untuk menjaga mereka?”
Sayangnya, dalam hiruk-pikuk kehidupan, kita seringkali terlalu sibuk mengejar dunia, hingga lupa menanamkan nilai pada jiwa mereka. Kita bangga saat anak juara kelas, tapi tidak peduli saat mereka mulai meninggalkan shalat. Kita senang saat anak pandai bahasa Inggris, tapi acuh saat mereka berbicara kasar kepada orang tua. Di sinilah tragedi itu bermula—kita hanya mencetak generasi cerdas, tapi kehilangan akhlak.
Sejarah membuktikan, betapa banyak orang cerdas yang akhirnya menjadi musuh peradaban. Mereka yang mampu membuat senjata nuklir, menyulut perang, dan menindas rakyat, bukan karena bodoh—tapi karena kehilangan akhlak. Kecerdasan tanpa akhlak ibarat pedang di tangan orang buta—tajam, berbahaya, dan menghancurkan.
Sebaliknya, orang yang berakhlak mulia meski sederhana, akan menjadi cahaya. Lihatlah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bukan hanya orang paling cerdas di muka bumi, tapi juga manusia paling mulia akhlaknya. Bahkan Allah memujinya dalam Al-Qur’an, “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam: 4)
Baca Juga: Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sebut Negara Hebat Dimulai dengan Pendidikannya
Inilah teladan kita. Inilah standar generasi yang harus kita tumbuhkan—cerdas dan berakhlak mulia.
Pendidikan akhlak tidak bisa ditunda. Ia harus dimulai dari rumah, sejak dini, bahkan sebelum anak lahir. Seorang ibu yang rajin membaca Al-Qur’an saat hamil, seorang ayah yang menegakkan shalat di rumah, akan menciptakan atmosfir ruhiyah yang menanamkan ketenangan dalam jiwa anak.
Mengajarkan anak berkata jujur, meminta maaf, mengucapkan terima kasih, menolong orang lain, menghormati orang tua, dan mencintai Allah serta Rasul-Nya—ini adalah investasi akhlak jangka panjang yang tidak akan pernah rugi. Jangan tunggu anak besar untuk menasihati, karena saat itu bisa jadi hati mereka sudah membatu.
Menjadi Teladan Nyata
Baca Juga: Tujuh Santri Al-Fatah Jambi Wakili Ponpes di Ajang MTQ Tingkat Kabupaten
Anak-anak tidak butuh banyak ceramah. Mereka butuh teladan nyata. Jika kita menyuruh mereka jujur tapi kita sendiri suka berbohong, maka semua petuah akan sia-sia. Jika kita memerintahkan mereka shalat, tapi kita sendiri malas ke masjid, maka mereka akan meniru malas kita, bukan kata-kata kita.
Anak adalah cermin. Mereka merekam, meniru, dan membentuk pola dari apa yang mereka lihat setiap hari. Maka mari kita periksa diri: apakah kita sudah menjadi sosok yang layak diteladani? Bukan sempurna, tapi sungguh-sungguh meneladani.
Selain keluarga, lingkungan juga punya andil besar. Sekolah, pesantren, komunitas, bahkan media yang mereka konsumsi. Sudahkah kita hadirkan lingkungan yang mendidik jiwa mereka? Ataukah kita biarkan mereka diasuh oleh algoritma media sosial?
Bersama kita bisa ciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Sekolah yang tidak hanya mengejar ranking, tapi juga membangun karakter. Guru-guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi. Komunitas yang tidak hanya ramai, tapi juga menebar nilai dan kasih sayang.
Baca Juga: Jangan Tunggu Tua Untuk Taat
Kadang kita merasa lelah. Sudah berusaha mendidik, tapi anak belum berubah. Sudah dinasihati, tapi tetap bandel. Ketahuilah, perubahan bukan soal instan. Ia adalah proses panjang. Tugas kita bukan mengubah mereka seketika, tapi terus menyirami jiwa mereka dengan cinta, keteladanan, dan doa.
Rasulullah ﷺ pun butuh 23 tahun untuk membina umat. Maka jangan pernah putus asa. Teruslah berjuang. Sebab tidak ada usaha yang sia-sia di sisi Allah. Bahkan setetes air mata dalam doa kita untuk anak-anak kita, bisa menjadi cahaya bagi mereka kelak.
Generasi Harapan Itu Akan Tumbuh
Bayangkan sepuluh atau dua puluh tahun lagi. Anak-anak yang hari ini kita didik dengan kesabaran, akan menjadi pemimpin yang jujur, pengusaha yang amanah, guru yang menginspirasi, dai yang menyejukkan, dan ilmuwan yang bermanfaat.
Baca Juga: Keluarga Tangguh Bebas Utang, Seruan Islam Untuk Hidup Berkah dan Terencana
Bayangkan dunia yang diisi oleh generasi seperti ini. Dunia yang dipenuhi cinta, keadilan, dan kemuliaan akhlak. Semua itu bermula dari langkah kecil kita hari ini—bersama menumbuhkan generasi cerdas dan berakhlak mulia.
Kita tidak bisa berjalan sendiri. Mendidik anak adalah tugas kolektif. Keluarga, sekolah, masyarakat, media, dan negara harus bergandengan tangan. Saling menguatkan, saling mengingatkan, saling mendoakan.
Mari kita jadikan hidup ini lebih bermakna. Bukan dengan membanggakan dunia yang kita raih, tapi dengan mempersembahkan generasi penerus yang kokoh iman, kuat akhlak, dan tinggi kecerdasannya.
Karena sejatinya, kejayaan umat bukan dibangun dari gedung-gedung tinggi atau teknologi mutakhir. Tapi dari generasi yang mencintai kebenaran dan hidup dengan kemuliaan.
Baca Juga: 5 Adab Penting yang Harus Diperhatikan Seorang Guru
Semoga kita semua menjadi bagian dari perjuangan itu. Aamiin.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: 61% Santri Al-Fatah Lampung Diterima di Perguruan Tinggi, Berbekal Jiwa Pesantren