DI ERA digital, media sosial menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Muslimah dari berbagai usia aktif di platform seperti Instagram, TikTok, Facebook, hingga X (Twitter). Berdasarkan laporan We Are Social 2024, pengguna internet perempuan di Indonesia mencapai 50,1% dari total 185 juta pengguna aktif, menunjukkan dominasi perempuan dalam ruang digital. Namun, aktivitas ini memunculkan tantangan etika dan identitas keislaman yang harus dijaga.
Etika adalah pedoman perilaku yang mengatur interaksi manusia, termasuk dalam dunia maya. Dalam Islam, etika bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.” (Qs. Al-Isra: 36). Ini menegaskan bahwa setiap unggahan, komentar, dan interaksi digital adalah amanah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam konteks media sosial, “lisan” terwujud dalam tulisan, gambar, atau suara. Muslimah wajib menjaga tutur kata digital dari ghibah, fitnah, dan ujaran kebencian.
Fenomena pamer foto diri (selfie) dengan pose dan gaya yang menarik perhatian marak di kalangan muslimah. Padahal, Allah Ta’ala memerintahkan, “…dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya…” (Qs. An-Nur: 31). Mengunggah foto dengan riasan, gaya busana ketat, atau ekspresi menggoda termasuk bentuk tabarruj yang dilarang.
Baca Juga: 15 Kesalahan Umum Muslimah dalam Berpakaian
Tabarruj adalah memperlihatkan perhiasan secara berlebihan. Di dunia maya, bentuknya bisa berupa gaya hidup mewah, penampilan glamor, atau upaya pencitraan. Ini bertentangan dengan semangat kesederhanaan yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan dapat memancing riya’, hasad, serta mengundang pandangan yang tidak halal.
Muslimah tidak hanya menjadi konsumen informasi tetapi juga penyebar. Dalam Islam, menyebarkan informasi tanpa tabayyun adalah dosa. Allah berfirman, “Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…” (Qs. Al-Hujurat: 6). Banyak muslimah terjebak menyebarkan konten hoaks kesehatan, agama, atau politik tanpa verifikasi.
Mengunggah aktivitas sehari-hari bersama keluarga, pasangan, atau bahkan anak, dapat melanggar prinsip privasi dalam Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat menjaga privasi rumah tangganya. Media sosial seharusnya tidak menjadi tempat mengumbar urusan rumah tangga atau perasaan yang seharusnya hanya dibagi dengan Allah.
Interaksi Non-Mahram di Dunia Maya
Baca Juga: Dahsyatnya Peran Seorang Wanita Dalam Keluarga
Banyak muslimah menjalin pertemanan bebas dengan lawan jenis di media sosial. Interaksi seperti chatting, comment flirting, hingga video call tanpa kebutuhan syar’i adalah pintu fitnah. Islam melarang khalwat, termasuk dalam bentuk digital, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali disertai mahramnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Banyak akun muslimah viral karena menyampaikan konten dakwah, tetapi tidak sedikit yang menyampaikan agama secara emosional, tidak ilmiah, bahkan menyesatkan. Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata…” (Qs. Yusuf: 108). Dakwah harus berlandaskan ilmu, bukan demi popularitas.
Platform seperti TikTok dan Instagram mendorong pengguna menciptakan ‘branding’ diri. Banyak muslimah menjadikan media sosial sebagai ladang komersialisasi tubuh dan kepribadian, meskipun berhijab. Islam menganjurkan untuk dikenal karena takwa, bukan karena ketenaran yang dangkal. Branding dalam Islam adalah akhlak, bukan hanya konten viral.
Laporan DataReportal 2024 mencatat rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 15 menit per hari di media sosial. Waktu ini, jika tidak digunakan untuk ibadah, belajar, atau berinteraksi bermakna, akan menjadi hisab berat di akhirat. Muslimah harus memiliki manajemen waktu dan kesadaran akan hak dirinya, keluarga, dan Tuhannya.
Baca Juga: 10 Tips Menjadi Muslimah yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya
Studi dari Pew Research Center menunjukkan bahwa media sosial sering kali menyebabkan kecemasan, perbandingan sosial, dan depresi, terutama pada perempuan muda. Dalam Islam, menjaga jiwa (hifzun nafs) adalah prinsip maqashid syariah. Maka, detoks digital, memilih konten yang menenangkan, dan beristighfar adalah langkah preventif muslimah bijak.
Muslimah adalah duta Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari). Di media sosial, akhlak tercermin dari komentar, konten, dan gaya interaksi. Muslimah dapat menjadi panutan dalam kesopanan, kepedulian sosial, hingga menyebarkan ilmu yang benar.
Setiap aktivitas di medsos hendaknya diniatkan lillah. Bahkan menyukai postingan, membuat caption, atau membagikan tautan ilmu bisa menjadi amal jika diniatkan karena Allah. Rasulullah bersabda Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari). Inilah filter utama sebelum klik tombol “post” atau “share.”
Menjadi muslimah bijak bermedsos bukan sekadar pilihan, tapi bagian dari tanggung jawab keimanan. Etika digital adalah perpanjangan dari etika Islam yang menyeluruh. Ketika dunia maya menjadi panggung yang tak kasat mata, keikhlasan, kesantunan, dan ilmu menjadi penuntun. Dengan itu, dunia maya bukan sekadar tempat eksistensi, tapi ladang pahala.[]
Baca Juga: Rahasia Muslimah Sukses dalam Mengelola Waktu
Mi’raj News Agency (MINA)